Arsip Kategori: Bhagavad Gita

Bhagavad Gita Bab VIII

Bhagavat Gita Bab VIII

Jalan penerangan

Sloka 1.
Apakah Brahman itu (Yang Abadi)? Apakah itu Adhyatman? Dan apakah itu karma (aksi), oh Krishna? Apakah itu yang disebut Adhibhuta yang dikatakan sebagai inti semua elemen? Dan apakah Adhidaiva yang disebut sebagai inti dari para dewa?

Sloka 2.
Siapakah yang mendasari pengorbanan (adhiyagna) di dalam raga ini dan bagaimanakah caranya, oh Krishna? Dan dengan cara apa Dikau dapat dikenali oleh seseorang yang penuh kendali di saat kematian?

Bersabdalah Yang Maha Pengasih:

Sloka 3.
Yang Tak Dapat Dihancurkan, Yang Maha Agung disebut Sang Brahman. Svabhava (Sang Jati Diri atau Sang Atman yang bersemayam dalam jiwa kita) disebut Adhyatman. Tenaga (atau kekuatan) kreatif yang menciptakan semua mahluk dan benda disebut Kama.

Sloka 4.
Yang menjadi inti dari semua benda dan mahluk (yaitu Adhibhuta) sifatnya dapat binasa. Yang menjadi inti para dewa adalah Jiwa Kosmos. Dan Arjuna, di dalam raga ini, Aku Sendiri (sebagai Saksi di dalam) adalah Adhiyagna.

Penjelasan :
Pada bab tujuh yang baru lalu, diterangkan tentang para kaum bijaksana (gnam) yang mengenal Sang Krishna sebagai Yang Maha tuh. Mereka ini telah berhasil mengalahkan kematian dan mendapatkan kebijaksanaan (gnana) atau ilmu pengetahuan sejati. Mereka-mereka ini tahu dan kenal apa itu: (1) Sang Brahman. (2) Adhyatman, (3) Adhiyagna, (4) Karma, (5) Adhibhuta. (6) Adhidaiva dan () Abhyasa Yoga. Dan sekarang ketujuh istilah ini diterangkan Sang Maha Pengasih, Sang Krishna. Berikut adalah penerangan dari istilah-istilah ini:

Brahman : Adalah Yang Maha Agung dan Suci, Yang Tak Terbinasakan, atau Tuhan Yang Maha Esa dan Abadi. Yang Maha Esa berada di atas semua veda-veda suci dan sifat-sifat alami (Prakriti). Ia berada di atas semua benda, mahluk dan obyek-obyek duniawi (alam semesta).

Adhyatman : Di manakah seseorang dapat menemui Brahman? Temuilah Sang Brahman di dalam dirimu sendiri, di dalam relung jiwamu yang disebut Atman atau Adhiyatman, Sang Inti Jiwa yang berada di dalam jiwa kita scndiri, dengan kata lain, dapat disebut Sang Jati Diri. (Perhatikanlah bahwa Sang Atman sebenarnya adalah Jiwa di dalam jiwa kita sendiri, Sang Inti Jiwa).

Karma : Bagaimanakah Sang Adhyatman dapat masuk dan bersemayam di dalam diri kita ini? Prosesnya disebut Visarga, yaitu energi murni yang dipancarkan oleh Yang Maha Esa, inilah yang disebut karma yang murni dan sejati, pancaran yang penuh dengan pengorbanan, kasih-sayang dan pemberian dariNya (tyaga) untuk kita semuanya. Yang Maha Esa memberikan (mcngorbankan) DiriNya melalui Sankalpa, yaitu dengan berkehendak “Aku menjadi banyak!” Dan terjadilah proses, dan dariNya bermulalah semua bentuk benda dan kehidupan-kehidupan ini. Yang Maha Esa lah sumber dari semua ini, dan inilah yang dimaksud dengan karma yang sejati,yaitu asal-mula sesuatu benda atau mahluk, sebuah proses kehidupan dengan segala pola-pola yang beraneka-ragam tanpa ada habis-habisnya dan juga reinkamasi. Dan karma ini menjadi suatu

peraturan atau tata-cara dalam kehidupan di alam semesta ini. Karma adalah suatu peraturan alami yang tegas: “Apa yang kita tabur itu juga yang akan kita tuai,” dan peraturan ini berlaku untuk semua tindak-tanduk dan proses kehidupan kita di mana saja dan kapan saja.

Karma adalah energi dari evolusi, dan karma inilah yang melahirkan mahluk-mahluk (bhura) dan evolusi kehidupan mereka selanjutnya lagi. Karma menciptakan suatu proses kemajuan yang berkesinambungan melalui penderitaan. Kemajuan ini adalah salah satu anak tangga manifestasi untuk menemukan Jati Diri kita sendiri. Begitulah seseorang dituntun langkah demi langkah ke arah kesempurnaan. Dan kesempurnaan itu dicapai melalui penderitaan dulu, dengan kata lain melalui suatu pengorbanan dalam arti yang. amat luas (yagna).

Salah satu rahasia dalam sejarah atau evolusi kehidupan ini adalah pcngorbanan, dan Sang Pemberi Inspirasi atau PemulaNya adalah Yang Maha Esa yang disebut dengan nama Adhiyagna Korbankanlah jiwamu demi mendapatkan jiwa yang baru, begitulah inti dari ajaran-ajaran para nabi (orang suci) di aman dahulu.

Adhiyagna : Adhiyagna berarti Pemula atau Asal-sul dari semua tindakan pengorbanan di dunia ini. RagaNya adalah Pengorbanan Kosmos

dan dari pengorbanan ini bermula dan hiduplah semua mahluk di alam semesta ini, dan Ia hadir dalam semuanya dalam bentuk yang tak terlihat oleh mata, sebagai saksi dan penuntun kita semuanya, Ia Abadi, Suci, Agung dan selalu penuh dengan pengorbanan yang didasari oleh cinta-kasih, dan kalau dipikirkan dengan baik maka sebenarnya semua raga ini adalah “kuil-kuil yang suci” yang di dalamnya terdapat pelita yang hidup oleh apiNya, api Yang Maha Kuasa.

Adhibhuta : Adalah Adhipati, yaitu Yang Maha Esa, yaitu inti dan dasar dari segala mahluk, unsur, benda yang dapat binasa, lshavasyam idam sarvam sebut kitab suci Ishopanishad yang berarti semua ini adalah baju atau pakaian Yang Maha Esa. Alam semesta beserta seluruh isinya sebenarnya adalah suci dan adalah kuil kita untuk mencapai Yang Maha Esa, Sang Maha Pencipta. Dunia ini adalah ajang kita untuk kembali lagi kepadaNya.

Adhidaiva : adalah Adhipati, yaitu kekuatan Ilahi yang bersinar dalam dewa-dewa dan merupakan inti dari dewa-dewa ini. Ia jugalah Purushanya para dewa. Ia juga Prathama Purusha yang bercahaya di dalam diri mereka. Ia Tuhannya para dewa, Ia disebut juga iranyagarbha Purusha (yaitu, Purusha Emas nya) para dewa. Ia juga Prajapati yang Suci, Ia juga Sutra-Atma, yaitu Nafas AgungNya para dewa (Prana-Purusha)! Para dewa adalah “organ” tubuhNya, Ialah Kekuatan Kreatif, Ialah Jiwa Yang Maha Suci Ialah semuanya yang bercahaya di alam semesta ini dari ujung ke ujung tanpa ada habis-habisnya.

Kecnam pertanyaan Arjuna di atas telah terjawab oleh Sang Krishna, dan sekarang Sang Krishna masuk ke pertanyaan yang ke tujuh, yaitu apakah Yoga itu yang dilakukan oleh seseorang pada saat antakala (saat kematian menjelang tiba), dan bagaimana mencapai Yang Maha Esa?

Sloka 5
. Seseorang pada saat meninggalkan raganya. maju terus, bermeditasi terpusat kepadaKu semata ; pada saat kematian, ia akan mencapai TempatKu Bersemayam (Madbhavam). Jangan kau ragukan itu!

Sloka 6.
Barangsiapa, oh Arjuna, sewaktu meninggalkan raganya, memikirkan sesuatu benda (bhavam) tertentu. maka ia akan pergi ke benda itu. terserap selalu dalam pikiran itu!

Penjelasan : Inilah hukum atau peraturan kosmos (atau Yang Maha Esa) yang berlaku di dalam agama indu, yang sekali lagi ditegaskan oleh Sang Krishna. Yaitu, barangsiapa pada saat-saat akhir ajalnya memikirkan Yang Maha Esa semata maka kepadaNya ia akan pergi dan bersatu denganNya. Barangsiapa mcmikirkan benda benda atau unsur-unsru lainnya yang bersifat duniawi atau sorgawi maka ke sanalah ia akan pergi. Apapun yang terpikirkan pada saat-saat kematian itulah yang akan dicapainya pada kelahiran yang berikutnya.

Misalnya seseorang pada saat-saat kematiannya, pikirannya terikat pada bentuk duniawi seperti ayah, ibu, saudara, teman, istri, harta-benda, kemashuran, laba dan lain sebagainya, maka ia akan kembali lagi ke dunia ini untuk menyelesaikan karma karmanya yang berhubungan dengan yang dipikirkannya itu.

Misalnya ia berpikir akan sorga dan segala kenikmatan-kenikmatan yang ada di sana, pada saat menjelang ajalnya, maka ia akan ke sorga untuk menjalani karmanya di sana. Misalnya pada saat akhir kematiannya, ia berpikir dan terpusat seluruh pikirannya dengan tulus ke pada Yang Maha Esa, maka ke Ia juga ia akan pergi selama-lamanya.

lnilah hukumnya: bhava (atau pikrannya) yang mendominasi pada saat akhir akan menjadi tujuan terakhir orang yang meninggal dunia ini. Seandainya setiap hari atau setiap saat dalam hidup, kita selalu memusatkan tindak-tanduk dan pikiran kita ke arahNya dan demi Ia semata, maka pada saat akhir pun semua pikiran secara otomatis akan terpusat kepadaNya, dan denganNya kita pasti akan bersatu.

Sloka 7.

 Maka seyogyanyalah. setiap saat, berpikirlah tentang Aku dan berperanglah! Kalau pikiran dan pengertianmu terpusat kepadaKu. dikau pasti akan datang kepadaKu.

Penjelasan : Karena sudah hukumnya begitu; bahwa seorang yang pada akhir hayatnya berpikir akan suatu obyek duniawi maka akan pergi ke situ juga setelah habis kehidupannya, maka di sloka di atas ini Sang Krishna bersabda pada Arj una sebagai berikut: (1) “Setiap saat (senantiasa) berpikirlah tentang Aku” dan (2) “Berpikirlah tentang Aku dan berperanglah!” Diuraikan sebagai berikut:

1). Setiap saat berpikirlah tentang Aku berarti dunia ini atau kehidupan ini bagi manusia sifatnya sebenamrnya tidak langgeng, dan kita tak pernah tahu bila kita akan mati dan kalau saat-saat kematian tiba-tiba datang, dan seandainya kita sudah bersiap-siap dengan selalu memikirkan Yang Maha Esa, maka kita pun akan segera pergi ke arahNya dengan lurus. Dan sebaliknya kalau sehari-hari yang menjadi pikiran hanya obyek-obyek duniawi dengan segala kesenangan dan penderitaan saja, maka kita pun akan pergi ke obyek-obyek duniawi ini, saat sang kala tiba-tiba datang meyergap tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

2). Berpikirlah tentang Aku dan berperanglah! -pada Sang Arjuna, Sang Krishna menganjurkan untuk berperang! Mengapa? Karena Arjuna adalah seorang Kesatria yang berkewajiban untuk berperang demi nusa bangsanya, dan demi tegaknya kebenaran. Dan cara berperang itu harus berdasarkan dedikasinya kepada Yang Maha Esa (“Berpikirlah tentang Aku”). Itulah tugas atau dharma atau svadharma kita semua, berjuang sesuai dengan tugas dan status kita di dunia agar tercapai pembersihan batin kita. Seorang guru bekerja semestinya sebagai guru dan seorang pedagang sebagai pedagang dan tidak mencampur adukkan status dan kewajibannya, sesuai panggilan nuraninya.

Yang paling penting untuk diperhatikan adalah bahwa kita harus dan selalu berpikir akan la dan bekerja sesuai dengan kewajiban kita; mengingkari kewajiban atau lari dari kewajiban seberapa kecilpun berarti dosa. Sedangkan tidak berpikir akan Yang Maha Esa akibatnya adalah kerugian yang maha besar bagi kita juga, karena lingkaran karma akan membelit kita terus-menerus.

Sloka 8.

Seseorang yang pikirannya tidak mengembara (kesana-kemari), yang selalu bermeditasi, jalan pikirannya selaras dengan usahanya yang terus-menerus, ‘Ia. oh Arjuna pergi ke Paraman Pususham Divyam, yaitu Ia Yang Maha Agung dan Maha Suci.

Sloka 9.
Ia memujaNya sebagai Yang Maha Mengetahui, sebagai Yang Selalu Hadir Semenjak Masa Yang Amat Silam, sebagai Yang Maha Penguasa, sebagai Yang Maha Tercepat. sebagai Yang Maha Memelihara kita semua. sebagai Yang BentukNya Tak Dapat Dimengerti oleh manusia dan mahluk mahluk Lainnya. tetapi la Terang Benderang bagaikan Sang Surya dan jauh dari semua kegelapan.

Sloka 10.
Pada saat kematiannya dengan tekad dan pengabdian yang kuat. dengan tenaga yoganya. ia menahan nafas kehidupan pada spasi diantara kedua alis matanya. dan ia mencapai Yang Maha Agung dan Yang Maha Suci.

Penjelasan : Cara mencapai Yang Maha Esa (Saguna Avyakta Divyarupa) diterangkan sebagai berikut : Sang Yogi harus selalu mengendalikan jalan pikirannya, dan memusatkannya kepada

Yang Maha Esa, dengan senatiasa berbuat ini, maka secara konstan ia akan mengenal yang Maha Esa dan merasakan kehadiranNya senantiasa dalam suka dan duka. dan akibatnya tidak akan pergi ke dewa-dewa atau obyek-obyek lainnya.

Disebutkan bahwa seseorang yang senantiasa terpusat kepada Yang Maha Esa, maka pada waktu ajalnya dapat dilihat dari wajahnya yang diibaratkan seperti cermin dan’ Yang Maha Esa. Dikatakan bahwa orang semacam ini telah terserap jiwa-raganya ke dalam Yang Maha Esa.

Yang Maha Kuasa (Paramam Purusham Divyam) disebut juga Svarupa, yaitu Yang memiliki berbagai nama (ada 1.000 nama untuk Yang Maha Esa di dalam agama Hindu). Misalnya Ia disebut Kavi (Yang Maha Bijaksana), Sarvagna (Yang Maha Mengetahui), Yang Maha Hadir, “Tuhan dari para resi dan penyanyi lagu-lagu suci. Ia disebut juga Pranam (Yang Mula), Ia disebut juga Sarva Shaktivan (Yang Maha Pengatur Segala-galanya). Ia lah Yang Terlembut diantara yang terlembut, Ia lah Yang Terkecil diantara yang terkccil. Ia Iah Maha Penunjang, Pemelihara, Yang Menjadi Tempat kita tinggal, Yang Menjaga kita semua. Ia lah Bentuk Yang Tak Dapat Digambarkan (Achintatyarupam), Yang tak dapat dibayangkan oleh seorang pun, sebuah Bentuk diluar pikiran dan daya intelektual manusia, tetapi Ia juga yang bersinar sepcrti mentari yang paling terang diantara jajaran mentari-mentari lainnya. Ia bersemayam jauh dari segala kegelapan baik kegelapan dalam bentuk duniawi maupun dalam bentuk spiritual.

Pada saat kematian sang yogi ini, maka ia dengan penuh ketulusan dan iman yang tanpa dibuat-buat memusatkan nafas kehidupannya diantara kedua alis matanya. Yogi semacam ini akan meninggal dunia dengan amat tenang dan dalam ketenangan ini ia menuju ke Yang Maha Suci. Ia tak akan kembali ke dalam lingkaran hidup dan mati lagi, kecuali memang ia sendiri yang menghendakinya untuk tujuan-tujuan kemanusiaaan tenentu yang diingininya. “

 Sloka 11.
AkanKu beritahukan kepadamu sesuatu dengan jelas yaitu sesuatu yang oleh para pengenal Veda disebut Aksharam (Tak Terbinasakan), sesuatu yang dituju oleh para pengendali nafsu (atau yang telah bebas dari nafsu), sesuatu yang diperjuangkan dan dituju oleh para bramacharin (yang tidak menikah).

Sloka 12.
Menutup semua pintu-pintu raga (lubang-lubang indra), memusatkan pikiran di dalam hati, nafas dipusatkan di kepala, bertindak teguh dalam konsentrasi yoga.

Sloka 13.
Menyebut satu kata OM Sang Brahman Yang Abadi hidup di dalamKU (dalam aspekKu yang sempurna. yaitu aspek Sang Brahman), maka ia yang pergi meninggalkan raganya. pergi ke Tujuan Yang Tertinggi.

Penjelasan :
Diterangkan di sini cara-cara mencapai Yang Maha Esa (Nirguna Para Brahman) pada saat-saat kematian seseorang. Para ahli Veda menyebut Yang Maha Esa scbagai Yang Tak Terbinasakan, dan ke dalamNya menujulah para resi dan orang-orang suci dan orang-orang yang mengendalikan nafsunya. Semuanya menuju arah yang sama untuk mencapaiNya.

Para yogi ini pada saat-saat kematian mereka menutup pintu-pintu indra mereka (yaitu lima gnana-indra dan lima karma-indra), dan jalan pikiran dipusatkan ke dalamNya, dan inilah yang disebut praryahara. Mereka mengunci pikiran dan nafsu mereka di dalam hati mereka yang disebut hridaya kamala (di antara nabhi dan kamha). Para yogi ini juga memusatkan nafas kehidupan di kcpala dan ini disebut dharana.

Dengan konsentrasi yoga yang penuh mereka ini menyebut dan memuja secara mental satu patah kata 0M yang menjadi simbol dari Yang Maha Esa (Para Brahman). Mereka ini memuja Sang

Krishna sebagai manifestasi dari Sang Brahman, dan melepaskan raga mereka dengan tenang. Para yogi yang meninggal dunia ini menuju ke Brahma-Nirvana, dan bersatu denganNya.

Sloka 14.
Arjuna, seseorang yang senantiasa berpikir tentang Aku dengan pikiran yang tak tertuju kepada yang lain ia, sang yogi ini yang disebut nitya-yuktah (selalu harmonis dan terserap di dalam Ku) akan mudah mencapaiKu.

Sloka 15.
Orang-orang yang sempurna ini jiwa-jiwa yang agung, para mahatma ini sekali mencapaiKu. tak akan lahir kembali, ke tempat duka, yang tak abadi. Mereka ini telah mencapai Karunia Yang Tertinggi (Kesempurnaan Yang Tertinggi).

Sloka 16.
Arjuna. semua loka ini, sampai ke Brahmaloka muncul dan hilang; loka loka ini datang dan pergi. Tetapi seseorang yang datang kepadaKu, ia tak akan mengenal kelahiran lagi.

Penjelasan : Apakah yoga-yoga di atas oleh para pembaca dianggap sukar? Apakah yoga atau cara mencapai Yang Maha Esa (Nirguna Para Brahman atau Saguna Parameshvaram, banyak nama untukNya, tetapi Ia Maha Tunggal) ini sukar untuk dicernakan? Maka ambillah jalan yang paling mudah seperti yang diajarkanNya. yaitu, “Berpikir tentang Aku tanpa memikirkan dewa-dewa atau tuhan lainnya. Lihatlah Aku penuh dengan iman dan kasih. Terseraplah selalu di dalam DiriKu.”

Dan barangsiapa sekali mencapaiNya maka tak akan ia lahir kembali ke dunia fana ini, yang pcnuh penderitaan dan tak abadi ini. Ia yang pergi kepadaNya akan mcncapai kesempurnaan yang abadi dan penuh dengan karuniaNya.

Barangsiapa memuja para dewa mereka akan pergi kc loka-loka para dewa ini, tetapi loka yang tertinggi seperti Brahmaloka saja tak lepas dari karma, dapat timbul dan dapat tenggelam (hilang) karena ada masa-masanya. Tetapi Yang Maha Esa tak terpengaruh oleh waktu dan karma, maka barangsiapa mencapaiNya maka akan bersatulah ia denganNya dan tak lahir dan hidup kembali ke dunia yang penuh dengan derita ini.

Sloka 17.
Mereka-mereka yang tahu (dari kesadaran) bahwa satu hari Brahma sama dengan seribu yuga. dan satu malam Brahma sama dengan seribu yuga lainnya hanya mereka saja yang tahu akan hari dan malam (maksudnya, hanya mereka yang tahu akan kebenaran waktu).

Sloka 18.
Pada harinya Brahma. semua yang nyata ini mengalir keluar dari tubuh halus Sang Brahma yang tidak nyata. Dan menjelang malamnya Sang Brahma semua ini kembali menyerap ke tubuh halus Sang Brahma yang tidak nyata (tubuh Sang Brahma yang sama juga).

Sloka 19.
Arjuna. mahluk-mahluk yang melimpah-ruah ini pergi secara terus-menerus (lahir dan lahir lagi). dan tanpa daya terserap lagi menjelang tibanya malam (Sang Brahma). Dan lagi pada pagi harinya mahluk-mahluk yang melimpah ruah ini mengalir keluar lagi.

Penjelasan :
Semua loka-loka termasuk loka-loka para dewa, dan bahkan loka yang tertinggi Sang Brahma terbatas pada hukum ada dan tidak ada, yaitu hukum karma. Semua loka ini terikat pada tahap-tahap tertentu yang berkaitan dengan hukum kosmos (alam semesta). diantaranya adalah tahap atau waktu tertinggi, yaitu waktunya Sang Brahma yang dikatakan dalam agama indu sebagai berikut: satu hari atau satu malam waktu di Brahmaloka sama dengan seribu yuga, dan satu yuga sendiri adalah suatu kurun waktu yang amat luas jika dibandingkan dengan waktu di bumi ini; suatu kurun waktu yang seakan-akan tidak ada batasnya, mungkin bermilyar-milyar tahun atau berjuta-juta tahun. Toh kurun waktu ini (Brahmaloka) masih saja berada dalam lingkupan karma, jadi masih dapat datang dan pergi atau dengan kata lain masih dapat mati dan hidup lagi. Barangsiapa menyadari fakta ini, betu-betul akan menghayati kehadiran Yang Maha Esa secara sejati.

Yang dimaksud dengan datang dan pergi dari tubuh Sang Brahma ini adalah: dunia ini beserta isi dan mahluknya yang terbcntuk pada pagi harinya Sang Brahma, yang adalah dewa pencipta dunia ini beserta segala isinya, dan kemudian kembalinya para mahluk ke dalam diri dewa ini disebut pralaya, yaitu hari kiamat. Jadi dengan kata lain dari penciptaan dunia sampai ke akhimya dunia ini memakan waktu satu hari dan satu malamnya Sang Brahma. ntuk ukuran bumi, hanya Yang Maha Esa yang tahu sebenamya betapa luasnya kurun waktu tersebut. Dan bcgitulah seterusnya, setelah pralalaya maka diciptakan lagi dunia yang baru beserta segala isinya pada hari berikut Sang Brahma, dan ini berulang-ulang sesuai dengan kehendak Yang Maha Esa.

Dikatakan juga bahwa di dunia inisemua mahluk hidup dan mati lagi secara berulang-ulang (reinkamasi), dan dengan begitu sebenarnya tak ada kreasi kehidupan yang baru, yang ada hanyalah daur-ulang saja dari elemen yang sama, yang itu-itu juga, sesuai dengan karma mahluk-mahluk ini, sampai suatu saat mereka lepas dari lingkaran karma dan mencapai Yang Maha Esa, di mana tak akan ada kehidupan dan kematian lagi. Dan selama belum mencapai Yang Maha Esa, maka semua mahluk ini akan selalu berada dalam lingkaran Sang Prakriti dan akan selalu mengalami suka dan duka yang diakibatkan oleh guna (sifat-sifat alami), dan masa karma ini bisa berlangsung amat lama.

Sloka 20
. Sebenarnya lebih tinggi dari yang tidak nyata (Sang Brahma) ini ada lagi Yang Tidak Nyata, yaitu Yang Maha Suci dan Abadi, Yang tak dapat hancur sewaktu yang lain-kainnya dihancurkan.

Sloka  21.
Yang Tidak Nyata ini disebut Yang Tak Terbinasakan, la lah yang disebut sebagai Tujuan Yang Tertinggi. Mereka yang mencapaiNya tak akan pernah kembali. Itulah tempatKu bersemayam nan agung.

Sloka 22.
Ia, Purusha Yang Teninggi (Jiwa), oh Arjuna. hanya dapat dicapai dengan dedikasi yang tak tergoyahkan. Di dalamNya semua mahluk-mahluk ini berdiam dan olehNya semua ini (alam semesta beserta isinya) terpelihara.

Penjelasan :
Sang Brahma Disebut sebagai yang tidak nyata, tetapi ia pun masih berada dibawah pengaruh prakriti. Di atas Sang Brahma ini hadir Yang Tidak Nyata, yaitu yang sifatNya lebih tinggi dari Sang Brahma dan tidak terpengaruh oleh prakriti. Ia lah Yang Maha Esa, Sang Pencipta dari prakriti itu sendiri, Yang mencipta seluruh alam semesta ini beserta segala isinya, Yang Maha Abadi, yang Maha Kuasa. Ia lah tujuan terakahir kita semuanya, yang mempunyai bermacam-macam nama tetapi Tunggal dalam penghayatan. Yang Maha Esa ini mudah dicapai hanya dengan inta kasih dan dedikasi yang tulus yang tcrpancar dari sanubari kita senantiasa tanpa henti hentinya.

Sloka 23.
Sekarang akan Kusabdakan kepadamu. oh Arjuna, waktu-waktu di mana para yogi yang meninggal dunia dan tak kembali lagi, dan waktu-waktu para yogi yang meninggal dunia hanya untuk kembali lagi.

Sloka 24.
Api. cahaya. siang-hari. dua minggu yang terang, enam bulan di kala mentari bergerak ke tara meninggalkan (raga) pada saat-saat ini, mereka yang kenal pada Yang Maha Abadi (Brahman) pergi ke Yang Maha Abadi.

Sloka 25.
Asap, malam-hari, begitu juga dua minggu yang gelap, enam bulan sewaktu mentari bergerak ke arah Selatan meninggalkan (raga) pada saat-saat ini para yogi ini akan mencapai cahaya sang rembulan dan kembali lagi.

Sloka 26.
Terang dan kegelapan kedua ini adalah jalan-jalan dunia ini yang abadi. Melalui jalur yang satu seseorang pergi untuk tidak kembali, dan melalui jalur yang lain seseorang pergi untuk kembali.

Sloka 27.
Seorang yogi kenal akan kedua jalan ini, dan ia tak akan kebingungan. Seyogyanyalah. oh Arjuna, teguhlah selalu dalam yoga.

Sloka 28.
Seorang yogi yang mengetahui semua hal ini, maka jasanya dianggap melampaui semua jasa yang didapatkannya dari mempelajari Veda-Veda, dari pengorbanan (yagna), dari bertapa, dan dana (pemberian atau amal), dan ia akan pergi ke Yang Maha Agung Dan Abadi (pergi ke alam yang penuh dengan karunia dan kedamaian).

Penjelasan :
Ada dua jalan yang diterangkan di sini: (l) jalan yang pertama ini adalah jalan yang terang dan sekaligus merupakan jalan kebebasan dari dunia ini, dan (2) jalan keterikatan dan ini berarti kembali lagi ke kehidupan duniawi ini. Jalan yang pertama discbut parama-dharma (yaitu tempat kediaman yang utama, tempat bersemayam Sang Brahman, atau Sang Krishna. Sekali mencapai ini seseorang tak kembali lagi ke dunia. Banyak sekali sebenarnya nama untuk loka yang satu ini, tetapi yang terpcnting di loka Sang Brahman ini, seorang yogi yang mencapainya akan bersatu denganNya dan akan abadi bersamaNya.

Jalan yang lainnya adalah jalan kegelapan, di mana sesorang yang masih terikat pada karmanya akan menjalani jalan ini dan setelah menyebcrangi pitri-loka (loka

para leluhur) maka ia akan sampai ke chandra-loka dan setelah mendapatkan inti kesucian Sang

handra (disebut sari soma), orang ini akan memasuki sorga. Di sorga-loka ini ia menikmati buah dari perbuatannya yang baik dan lalu kembali lagi ia ke dunia ini setelah masanya selesai. Seorang yogi yang sadar akan arti kedua jalan ini, tak akan kebingungan memilih jalan kehidupannya. la tak akan terikat pada moha (kasih-duniawi). Maka seyogyanyalah kita semua tidak terikat pada moha dan tidak terikat pada hasil atau buah dari semua perbuatan baik kita juga. Lakukanlah semuanya demi Yang Maha Esa semata dan tanpa pamrih, sebagai kewajiban kita kepadaNya. Semua tindakan baik atau positif seperti pengorbanan, sesajen, doa yagna, dana, dan rapa, dan lain sebagainya akan menghasilkan buah, tetapi persembahkan kembali buah ini kepadaNya tanpa pamrih dan selalulah bertindak tanpa keinginan agar jalan yang kita tuju kelak tidak menyimpang dari tujuan kita, yaitu Brahman-loka (ingat, bukan Brahma-loka). Semua Veda memang mengajarkan hal-hal yang baik, tetapi kebijaksanaan akan Yang Maha Esa adalah lebih tinggi nilainya dari semua yang tertulis dan yang diajarkan Veda-Veda. Kebijaksanaan ini lebih tinggi sifatnya dari semua dana,yagna, tapa dan lain sebagainya. Karena kebijaksanaan yang benar akan membwa kita kepada Sang Brahman, Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan kebijaksanaan yang salah (perbuatan baik demi tujuan-tujuan tertentu, demi pamrih) akan mengantar kita kembalik ke dunia ini. Bertindaklah senantiasa secara benar dan tanpa pamrih, tanpa henti hentinya.

Dalam panishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan Yang Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Krishna dan Arjuna, maka karya ini adalah bab ke delapan yang disebut:

Aksharabrahman Yoga atau Yoga Sang Maha Nyata Yang Tak Terbinasakan

Bhagavad Gita Bab VII

Bhagavat Gita Bab VII
Lingkaran manifestasi
|
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
Sloka 1.
Dengarkanlah olehmu, oh Arjuna, bagaimana mempelajari yoga dengan pikiran yang selalu terpusat kepadaKu, dan Aku sebagai tempat dikau berlindung, dengan demikian tanpa ragu-ragu lagi engkau mengenalKu secara utuh.
Sloka 2.
Seutuhhya akan Kuajarkan (Kubukakan) kepadamu apakah itu kebijaksanaan (gnana) dan apakah itu pengetahuan (vignana), yang setelah dipelajari, tak ada lagi hal-hal lainnya perlu untuk dipelajari Iagi.
Penjelasan : Bab ketujuh ini disebut yoga gnana dan vignana. Lalu apakah perbedaan antara gnana dan vignana ini? Mempelajari inti-sari dari Yang Maha Esa (Nirguna Nivakara Paramatman) adalah gnana; untuk mempelajari atau mengetahui “keajaiban” atau “permainan”-Nya adalah vignana.
Di dalam bab ketujuh ini akan kita pelajari tentang Yang Maha Esa (Para Brahman) dan tentang aspek-aspek manifestasiNya dalam bentuk manusia (Bhagavan), contoh: Sang Krishna dan Sang Rama; Pengetahuan tentang Brahman adalah gnana, dan pengetahuan tentang manifestasiNya, kekuatanNya, dan keajaibanNya disebut vignana. Dalam Bhagavat Gita Yang Maha Esa memanifestasikan DiriNya sebagai Sang Krishna dan langsung mengajarkan manusia ilmu pengetahuan (yoga) ini yang setelah dipelajari seseorang tak perlu lagi ia mempelajari ajaran-ajaran Bhagavat Gita dan meresapinya dengan benar akan lepas dari lingkaran dan alur-alur karmanya. Sayang sekali kalau kita mengabaikan ajaran ini dan tetap terikat pada hal-hal yang bersifat duniawi.
Sloka 3.
Diantara beribu-ribu manusia, belum tentu seorangpun berjuang untuk kesempurnaan, dan di antara yang berjuang dan sukses belum tentu seorangpun mengenalKu secara benar.
Penjelasan :
Seseorang yang benar-benar berdedikasi kepadaNya secara lahir dan batin atau secara total itu dapat dihitung jumlahnya dengan jari. Karena biasanya manusia itu lupa mengapa ia dilahirkan di dunia ini, yang mcnjadi ajangnya untuk mencapai Yang Maha Kuasa. Manusia kemudian tenggelam dalam ilusi Sang Maya, dan begitu ia sadar maka terasa perjuangannya ke arah Yang Maha Kuasa menjadi sulit, tetapi secara perlahan dan pasti kalau ia penuh iman, maka betapapun terjalnya perjalanan ia akan dituntunNya dengan baik dan suatu saat pasti sampai ke Tujuan yang abadi ini. Bahkan para dewa-dewa pun ingin menjadi manusia, karena hanya dengan mengalahkan raga beserta seluruh indra-indranya sajalah seseorang dapat mcncapaiNya. Sedangkan dewa-dewa itu tidak mcmiliki raga. Manusia yang memiliki raga malahan menyalah-gunakan raga ini dan melupakan nilai-nilai Iuhur yang sesungguhnya dari kehidupan yang dikaruniakan olehNya kepada kita semua. Seyogyanyalah kita memuja dan berdedikasi kepadaNya dan menjauhi nafsu-nafsu duniawi ini yang makin lama makin menjerumuskan seseorang ke dalam lembah yang tak ada ujungnya.
Sloka 4.
Bumi, air, api. udara. ether, pikiran, pengertian dan rasa “aku” adalah delapan bagian dari sifatKu.
Pejesan : Sang Krishna sekarang sedang menerangkan tentang DiriNya seperti apa adaNya.
Sifat-sifat (atau prakriti) Sang Krishna sebenarnya terdiri dari dua bagian, yaitu sifat luar dan sifat dalam, di ajaran ini dikatakan terdiri dari dua sifat, yaitu sifat bagian bawah (rendah) dan sifat bagian atas (tinggi). Sifat atau prakriti yang rendah terdiri dari benda (apara-prakriti) yang terbagi dalam delapan unsur; yaitu tanah, air, api ether dan udara, dan tiga lagi, yaitu pikiran (mana), pengertian (buddhi) dan ego (ahankara). Kedelapan unsur ini semuanya dapat binasa, dan semua unsur unsur ini terdapat juga sebagai unsur-unsur inti dalam diri manusia, yang dengan kata lain dapat binasa juga.
Sloka 5.
lnilah sifatKu yang di bawah (rendah). Dan ketahuilah sifatKu yang lain, yang bersifat lebih tinggi kehidupan atau jiwa, dengan apa dunia ini ditunjang. oh Arjuna!
Penjelasan : SifatNya yang tinggi atau yang superior adalah yang disebut para-prakriti. yaitu Jiwa, yang jadi inti atau kekuatan atau penunjang hidup ini, yang terdapat dalam semua mahluk-mahluk ciptaanNya, yang menyatukan dunia ini; tanpa Sang Jiwa ini dunia ini tak akan ada. Sang Jiwa inilah sebenamya nafas dari kehidupan atau inti atau asal-mula dari semua mahluk di alam semesta ini (yonini bhutani).
Sloka 6.
Ketahuilah bahwa ini (Sang Jiwa) adalah asal-mula semua mahluk Aku adalah asal-mula seluruh alam semesta dan juga pemusnahnya.
Penjelasan : Semua benda dan mahluk dalam alam semesta ini datang dari Yang Maha Esa, tanpa Yang Maha pencipta ini tak akan ada apapun di dunia ini; Sang Maya adalah “Ibu” dan Sang Krishna adalah sebagai “Ayah” dari semua manifestasiNya ini. (“Akulah Sang Ayah yang meletakkan benih!”)
Ibarat cahaya Sang Surya yang datang dari Sang Surya tetap merupakan bagian dari Sang Surya, begitupun semua mahluk dan benda-benda di dunia ini adalah berasal dari Yang Maha Esa dan tetap merupakan bagian dariNya, merupakan sebagian dari cahayaNya. Setiap jiwa adalah sebagian cahaya dari Yang Maha Esa dan Yang Maha Esa adalah sumber atau inti dari setiap jiwa ini.
Alam semesta ini bergerak terus dalam gerakan melingkar atau memutar. Ada lingkaran manifestasi dan ada juga lingkaran kemusnahan kehidupan, dan semua itu terserah kepadaNya untuk mengaturnya sesuai dengan kehendakNya, ibarat awan yang lahir atau tercipta di angkasa, bergerak atau tinggal di angkasa, maka begitupun semua mahluk dan benda di alam semesta ini datang, tinggal dan kembali kepadaNya lagi. Dengan kata lain Yang Maha Esa itu Satu untuk semuanya dan hadir di dalam semuanya.
Sesuatu manifestasi bermula kalau Yang Satu ini menjadi dua, yaitu benda dan kehidupan (raga dan jiwa yang menyatu). Raga atau benda adalah bentuk fisik, sedangkan kehidupan adalah jiwa, dan semua mahluk yang ada dalam manifestasi akan bergerak dan hidup karena ada motornya, yaitu Sang Jiwa. Di mana ada permulaan kehidupan di situ kemusnahan akan kehidupan ini pun pasti akan datang, itu sudah hukumnya. Dan tahap-tahapnya adalah melalui tahap kanak-kanak, kemudian meningkat ke masa muda, masa tua dan masa di mana seseorang atau sesuatu harus binasa. Selama menjalani kehidupan maka hidup ini ibarat terisi oleh musim semi, musim kemarau, musim rontok dan musim dingin. Di musim dingin bekulah semua nilai-nilai moral dan keyakinan dan lain sebagainya terhadap yang Maha Esa, dan di musim dingin inilah Yang Maha Esa kembali meluruskan dan mencairkan yang beku ini keasalnya lagi dan mulailah lagi nilai-nilai luhur yang baru di musim semi yang kemudian datang menyusul.
Maka disebutlah bahwa alam semesta ini memiliki “pagi” dan “malam.” Di kala pagi bangkitlahkehidupan dengan segala aspek-aSpeknya seperti peradaban, kebudayaan, seni, ilmu pengetahuan, kerajaan, sejarah, dan lain-lainnya. Dan setelah pagi maka akan timbul malam yang berarti kehancuran dan kemusnahan dari segala sesuatu ini, di mana semua benda dan mahluk musnah kecuali mereka-mereka yang telah mengabdi kepadaNya tanpa pamrih. Mereka-mereka ini dibebaskan dari hidup dan mati, dan tak akan menyatu dengan manifestasi lagi atau bahkan dengan kebinasaan, mereka menyatu denganNya, Yang Maha Abadi. Dan begitulah cara PermainanNya (lila).

Sloka .7
Tak ada sesuatupun yang lebih tinggi dariKu, oh Arjuna! Semua yang ada di sini tertali padaKu. ibarat permata-mata yang teruntai disehelai benang.
. Sloka 8.
Aku adalah rasa segar di dalam air, oh Arjuna, dan cahaya dalam sang handra dan sang surya. Aku adalah Satu Kata Pemuja (M) di dalam semua Veda. Aku adalah suara di dalam ether dan benih kekuatan dalam diri manusia.
. Sloka 9.
Aku adalah wewangian yang sejati di dalam bumi dan warna merah di dalam bara api. Akulah kehidupan di dalam segala yang hidup dan disiplin yang amat keras di dalam kehidupan para pertapa.
Sloka 10.
Kenalilah Aku, oh Arjuna sebagai inti yang abadi dari semua mahluk. Aku adalah kebijaksanaan mereka yang bijaksana. Aku adalah kemegahan dalam setiap hal yang bersifat megah.
Sloka 11.
Aku adalah kekuatan dari yang kuat, bebas dari nafsu dan keinginan. Tetapi Aku adalah keinginan yang benar yang tak bertentangan dengan dharma, oh Arjuna.
Sloka 12.
Dan ketahuilah bahwa ketiga guna (sifat-sifat prakriti), ketiga tahap (sifat) setiap mahluk kesucian (sattvika), nafsu (rajasa) dan kemalasan (tamasa) adalah dariKu semata. Kupegang mereka semua, bukan mereka yang memegangKu.
Penjelasan : Yang Maha Kuasa adalah motor dari sifat-sifat alami ini (guna), tetapi Ia berada di atas sifat-sifat ini dan tak terpengaruh oleh mereka (sifat-sifat ini).
Sloka 13.
Seisi dunia ini terpengaruh oleh ketiga guna ini, dan tak mengenalKu yang berada di atas semuanya itu dan yang tak dapat berganti-ganti sifat.
Sloka 14.
Sukar benar, untuk menembus ilusi MayaKu yang agung ini. yng tercipta akibat sifat-sifat prakriti. Tetapi mereka-mereka yang mempunyai iman kepadaKu semata. akan berhasil menembus ilusi ini.
Penjelasan :
Manusia kebanyakan tertipu oleh ilusi Sang maya yang juga adalah ciptaan Yang Maha Esa, sehingga manusia lebih mementingkan obyek-obyek duniawi dan dunia ini sendiri. Bagi kebanyakan manusia maka harta-benda, kekasih, keluarga dan milik maupun kehormatan dianggap nyata dan seakan-akan sudah menjadi milik mereka secara abadi yang tidak dapat diganggu-gugat atau dipisahkan lagi dari sisi mereka. Lupalah kita bahwa dengan berpendapat seperti itu maka makin lama kita makin jauh dariNya, Yang Maha Nyata dan Maha Abadi. Terikatlah kita makin lama dengan isi dunia ini, tetapi Yang Maha Kuasa selalu memberikan berkahNya, karena di dunia ini masih saja ada manusia-manusia yang beriman kepadaNya, dan manusia-manusia semacam ini dapat berhasil menembus tirai ilusi dan bersatu denganNya.
Sloka 15.
Mereka yang (gemar) berbuat dosa, yang telah tersesat, tenggelam ke bawah dalam evolusi manusia ini, mereka yang pikiran-pikirannya telah terbawa jauh oleh kegelapan, dan telah memeluk sifat-sifat iblis -mereka tidak datang kepadaKu.
Penjelasan :
Mereka yang telah bertekuk-lutut dihadapan ilusi Sang Maya, akan makin jauh
diseret dari Yang Maha Kuasa, dan makin lama makin rengganglah jarak antara mereka ini dengan Yang Maha Esa. Sedangkan mereka yang ingin ke jalanNya harus secara total menyerahkan semua milik mereka dalam ilusi ini secara tulus kepadaNya. Dan ini berarti menyerahkan dengan mental yang tulus semua milik duniawi seperti anak-anak, istri, kekasih yang tercinta, harta-benda, raga, pikiran, ketenaran, kemashyuran, dan lain sebagainya, dan menjadikan semua itu ibarat sesajen atau pengorbanan untukNya, tanpa pamrih. Pemuja seperti inilah yang akan dibimbing untuk keluar dari ilusi dan kegelapan Sang Maya, Ilusi yang diciptakanNya sendiri untuk mcnyeleksi “bibit-bibit unggul ciptaanNya juga.”
Sloka 16.
Ada empat golongan manusia beriman yang memuja Ku: manusia yang menderita, manusia yang ingin mempelajari ilmu pengetahuan. manusia yang menginginkan harta-benda dan manusia yang bijaksana, oh Arjuna!
Penjelasan :
Yang Maha Kuasa (Sang Krishna) membagi pemuja-pemujaNya dalam empat
kategori acau golongan, dan mereka semua ini dianggap bersifat baik atau beriman.
Mereka-mereka ini tcrdiri dari para bhakti (pemuja) scpert berikut ini:
a. Para artha-bhakta -mereka yang hidupnya menderita dan memohon perlindungan kepadaNya.
b. Parajignasu-bhakta -mereka-mereka yang memujaNya agar mendapatkan kesadaran dan pcnerangan Ilahi. Parajignasu ini tidak memerlukan harta-benda atau kenikmatan duniawi, bagi mereka yang panting adalah penerangan Ilahi.
idup mereka ini amat sederhana dan selalu mencari guru yang dapat mengajarkan mereka ilmu pengetahuan tentang Yang Maha Esa. idup mereka adalah pemujaan tanpa henti-hentinya kepada Yang Maha Esa.
.Para arrhaarthi-bhakta yaitu mereka-mereka yang memujaNya demi suatu sukses dalam hidup mereka seperti sukses dalam pekerjaan, atau untuk mendapatkan harta-benda, kedudukan dan kebahagiaan duniawi yang beranekaragam sifatnya, bahkan demi untuk mendapat kebahagiaan sorga-loka setelah kematian mereka. Tetapi mereka-mereka ini bukan tipe manusia perusak mahluk sesamanya. Mereka memujaNya tanpa henti demi kesuksesan duniawi belaka, tetapi juga memujaNya dengan penuh kepercayaan.
D. Pafa gnani-bhakra -mereka yang bijaksana dalam segala-galanya. Dalam setiap mahluk, bangsa, negara, suku dan agama, dalam diri nabi-nabi dan orang suci, maka terdapatlah kaum bijaksana yang sudah melupakan ego duniawinya, dan yang mereka miliki hanyalah Ia dan Ia semata, dan Ia hadir dalam segalagalanya tanpa kecuali. Bhakta semacam ini telah meresap ke dalam Yang Maha Esa dan bertindak sesuai dengan kehendakNya semata. Bagi seorang yang bijaksana dunia ini adalah manifestasi dari Yang Maha Esa dalam bentuk alam scmesta beserta segala isinya. rang-orang yang bijaksana ini merasakanNya dalam rasa air yang mereka minum. MelihatNya sebagai cahaya abadi dalam rembulan dan matahari, melihatnya sebagai ajaran agung dan suci di dalam Veda-Veda. MelihatNya sebagai kata inti “M” dalam setiap pustaka suci. Ialah inti dari ether, kejantanan dalam diri laki-laki yang perkasa. Di juga yang menjadi inti dan wewangian yang sejati atau asli di dalam bumi (bumi ini dianggap keramat dan suci oleh orang indu). Ia juga menjadi inti dari api, dan segala galanya yang hidup dan bergerak. Ia juga sifat disiplin yang ketat dan keras para pertapa dan para resi. Ia juga akal sehat dan buddhi
dari orang-orang yang bijaksana. Pokoknya tidak ada sesuatupun yang lepas dari Yang Maha Esa, Ialah sumber dan segala-galanya di alam semesta ini, Ia juga Yang Maha Kuasa, Yang Maha Pengasih dan Pecinta semua mahluk ciptaanNya ini. (rang-orang indu mempunyai seribu nama untuk Tuhan Yang Maha Esa).
Sloka 17.
Di antara mereka ini, ia yang bijaksana (gnani), yang hidup dalam suatu kesatuan yang konstan dengan Yang Maha Suci, yang dedikasinya terpusat ke satu arah, adalah yang terbaik. Aku paling dikasihinya dan Aku pun paling mengasihiNya.
Penjelasan : Di antara keempat tipe pemuja, Sang Krishna hanya mengutamakan salah satu saja sebagai yang terbaik, karena ketiga lainnya lagi memujaNya dengan motif motif dan keinginan-keinginan tertentu. Mereka ini sebenarnya terbius oleh obyek obyek duniawi dan terlelap dalam ilusi Sang Maya. Sebaliknya seorang gnani(yang bijaksana) mengasihi dan bekerja untukNya tanpa pamrih.
Kebijaksanaan atau gnana ini adalah pencetusan atau emansipasi yang amat khusus sifatnya. Bagi seseorang yang telah mencapai gnana atau kebijaksanaan ini, maka akan terlihat beberapa sifat-sifat khususnya seperti :
a. Lepasnya orang ini dari berbagai rasa sensasi.
b). Orang bijaksana ini tindak-tanduknya dan pikirannya berada jauh di atas hal hal duniawi pada umumnya seperti logika, mekanisme yang berlaku secara umum, bentuk, intelek, dan,
c). Orang ini langsung memasuki cara hidup yang tinggi, yaitu suatu situasi yang penuh denngan kesatuan dengan Yang Maha Esa, tenang dan damai. Baginya tak nampak sesuatu apapun selain Yang Maha Esa, Inti dari segala-galanya di alam semesta ini beserta seluruh aspek-aspekNya. Ia pun sadar bahwa semua mahluk dan benda bergerak dan bertindak sesuai dengan ketiga sifat alam (Prakriti), dan Yang Maha Esa adalah Inti dari semua itu, tetapi Ia tetap di atas semua itu. Semuanya datang dan pergi tetapi Yang Maha Esa abadi dan tetap ada selama-lamanya. ‘
Sloka 18.
Semua (pemuja) ini agung, tetapi Kutegaskan bahwa pemuja yang bijaksana adalah sebenarnya DiriKu Sendiri. Karena setelah harmonis secara sempuma, ia memandangKu sebagai Tujuan Nan Agung.
Sloka 19.
Pada akhir berbagai kelahiran, seseorang tumbuh menjadi bijaksana dan datang kepadaKu, mengetahui bahwa Tuhan (Vasudeva) adalah semuanya ini. Mahatma (jiwa yang besar) semacam ini sukar didapatkan (di dunia ini).
Penjelasan :
Sang Krishna dengan rendah hati tetap memandang pemuja-pemujaNya yang lain sebagai agung, tetapi sekaligus menegaskan bahwa pemuja yang bijaksana adalah ibarat DiriNya Sendiri. Kedua-duanya, yaitu sang pemuja yang bijaksana dan Yang Maha Esa adalah yuktaatma (yaitu, kembar tetapi satu). Yang Maha Esa mencintainya dan ia pun mencintai Yang Maha Esa.
Orang bijaksana (gnani) semacam ini disebut seorang tatva-gnani atau mahatma, Yaitu seorang yang berjiwa sangat agung (besar). dan adalah amat sukar untuk mendapatkan seorang mahatma di dunia ini. Seorang mahatma adalah produk dari evolusi yang panjang. Ia adalah ibarat buah matang akibat kelahiran yang berulang ulang, jatuh-bangun dalam berjalan (yatra) sucinya ke arah Yang Maha Esa. Dan Sambil membersihkan antah-karannya ia melanjutkan dedikasinya kepada Yang Maha Esa. Pada suatu
saat Ia dengan karuniaNya akan berubah menjadi seorang mahatma.
Sloka 20.
Tetapi mereka yang kebijaksanaannya telah terbawa oleh keinginan-keinginan (nafsu-nafsu) berpaling pada dewa-dewa yang lain, mengikuti berbagai upacara (dan peraturan). yang terpusat pada sifat-sifat mereka sendiri.
Sloka 21.
Apapun bentuk yang ingin dipuja oleh seseorang pemuja dengan kepercayaannya – maka kepercayaan tersebut akan Kuteguhkan tanpa ragu ragu.
Sloka 22.
Dengan dasar kepercayaan itu, ia kemudiaan mencari dan memuja bentuk tersebut, dan dan’nya Ia mendapatkan apa yang diingininya, tetapi manfaatnya hanya Aku yang menentukan
Sloka 23.
Tetapi orang-orang yang berpikiran pendek ini hanya mendapatkan hasil yang bersifat sementara saja. Mereka ini, pemuja para dewa akan pergi ke dewa dewa. Tetapi yang memujaKu pemuja-pemujaKu akan datang kepadaKu.
Penjelasan :
Sang Krishna sendiri mengakui bahwa ketiga tipe pemuja yang memujaNya dalam bentuk dewa-dewa dan dengan tujuan pribadi tertentu bukan berarti orang yang tidak baik. BagiNya itu hanyalah suatu proses saja, setelah beberapa kelahiran maka pemuja-pemuja ini pada suatu saat akan langsung memujaNya juga pada waktunya nanti. Memuja para dewa sebenamya adalah pemujaan terhadapNyajuga tetapi secara tidak langsung dan salah, karena berdasarkan pada motif-motif pribadi. Seharusnya diketahui bahwa dunia para dewa ini terbatas masanya, dan para dewa dewa itu juga terbatas mandatnya dari Yang Maha Esa.
Maka para pemuja dewa-dewa hanya mendapatkan hasil yang sementara saja sifatnya, tetapi para pemuja ini karena sering memuja dewa-dewa, maka setelah beberapa kehidupan mereka pun langsung meningkatkan pemujaannya ke arah Yang Maha Esa, dan pemujaan semacam ini hasilnya abadi dan tidak sementara. lnilah pesan yang harus dihayati. Yang memujaNya tanpa pamrih langsung menuju kepadaNya, Yang memujaNya dengan pamrih secara tidak Iangsung akan dituntunNya juga, tetapi melalui jalan yang berliku-liku dan lebih panjang, penuh dengan berbagai kelahiran dan kematian.
Sloka 24.
Mereka yang kurang pengertiannya (buddhl) mengenalKu -yang tak berbentuk ini sebagai berbentuk. Mereka tak kenal SifatKu Yang Maha Suci Yang Tak Dapat Binasa dan Teramat Agung.
Penjelasan :
Sang Krishna manifestasi dari Yang Maha Kuasa tak dapat dikenal oleh orang orang yang berpikiran cupat dan sempit, yang memandangNya sebagai seorang dewa atau manusia super yang dapat menghasilkan harta-benda duniawi dan keajaiban keajaiban. Mereka tidak melihatNya sebagai manifestasi Yang Maha Esa Yang Sebenarnya, Tanpa Bentuk Dan Tak Terbinasakan. Memang bagi yang memiliki nafsu dan keinginan duniawi Sang Krishna tak akan terlihat dalam ujud asliNya, karena mereka ini telah terbius oleh ilusi Sang Maya.
Sloka 25.
Terselimut oleh yoga-maya. Aku tak terlihat oleh semuanya. Dunia yang kacau ini tak mengenalKu, Yang Tak Pernah Dilahirkan, Yang Tak Terbinasakan.
Sloka 26.
Aku mengetahui. oh Arjuna, akan mahluk-mahluk yang telah lalu, yang terdapat sekarang ini, dan yang masih akan datang. Tetapi tak seorangpun mengetahui tentang Aku.
Sloka 27.
Setiap manusia dilahirkan dalam ilusi, oh Arjuna, terpengaruh oleh sifat dualisme yang bertentangan yang lahir dari keterpikatan (pada obyek-obyek) dan tidak terpikatan (pada obyek-obyek).
Penjelasan :
Dunia tidak mengenal Sang Krishna secara sejati, tetapi Sang Krishna, Yang Maha Esa, sesungguhnya mengetahui akan setiap hal, setiap mahluk yang ada pada masa silam, sekarang, dan yang akan datang. Bukankah semuanya datang dariNya juga? Bukankah Ia juga yang tak nampak tetapi bersemayam di dalam diri kita semuanya ini, dalam setiap mahluk ciptaanNya. Tetapi banyak yang tak sadar akan hal ini, karena telah terpengaruh sehari-hari oleh rasa dualisme, yaitu suka dan tak suka, punyaku dan bukan punyaku, panas dan dingin, untung dan rugi, dan lain segainya yang semuanya ini di atas disebut sebagai keterpikatan dan tak-keterpikatan akan obyek-obyek duniawi, yang semuanya sebenamya adalah ilusi Sang Maya.
Sloka 28.
Tetapi mereka yang bertindak secara murni. di mana di dalam diri mereka dosa-dosa telah berakhir. Lepas dari kegelapan sifat dualisme. memujaKu teguh dengan tekad mereka.
Sloka 29.
Mereka yang memintaKu jadi tempat-tempat mereka berlindung. berjuang demi kebebasan dan‘ usia tua dan kematian mereka mengenal Sang Brahman (Yang Abadi), mereka mengenal Sang Adhyatman (Sang Atman, Sang Jati Diri), dan mereka juga mengenal semua tentang karma (tindakan atau aksi).
Sloka 30.
Mereka yang mengenalKu sebagai Yang Esa ‘dalam setiap elemen (Adhibhuta), dalam setiap dewa (Adhidaiva) dan dalam semua pengorbanan atau persembahan (Adhiyagna) mereka ini yang telah harmonis pikirannya mengenalKu bahkan pada saat-saat kematian (mereka).
Penjelasan : Yang mengenalNya, yang mengenal Sang Krishna secara murni itu di dunia ini jumlahnya hanya sedikit. Mereka ini adalah orang-orang yang murni tindak tanduknya, bersih dari segala dosa dan telah lepas dari pengaruh dvandvas, yaitu rasa dualisme yang bertentangan. Mereka-mereka ini kenal dan tahu (1) Sang Brahman yang Maha Abadi, (2) Sang Atman (Adhyatman) dan (3) semua karma (tindakan dan akibatnya). Mereka pun mengenalNya sebagai Yang Hadir dalam setiap benda atau elemen (Adhibhuta), Yang Hadir dalam setiap dewa (Adhidaiva)
dan Yang Hadir dalam setiap upacara atau tindakan pengorbanan, sesajen, atau persembahan (Adhiyagna). Orang-orang yang betul-betul telah sadar akan ke EsaanNya Kemaha-TunggalanNya ini dalam setiap elemen atau unsur di alam semesta ini, betul-betul secara sejati memujaNya, tanpa pamrih!
Dalam Upanisad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan Yang Abadi, Karya Sastra Yoga. dialog antara Sang Krishna dan Arjuna, maka Karya ini adalah bab ke tujuh yang disebut:
Gnana Vignana Yoga atau Yoga tentang ilmu pengetahuan mengenai Nirguna Brahman dan Saguna Brahman

Bhagavad Gita Bab III

Bab III

Jalan aksi atau tindakan

Berkatalah Arjuna
3.1
Arjuna uvāca
jyāyasī cet karmaṇas te
matā buddhir janārdana
tat kiḿ karmaṇi ghore māḿ
niyojayasi keśava

Sekiranya Engkau berpikir, oh Krishna bahwa kesadaran (atau pengetahuan) itu lebih baik dari pada suatu tindakan (aksi). lalu mengapa pula Dikau menyarankan aku untuk berperang?

Penjelasan : Di sini terlihat bahwa Arjuna telah salah menafsirkan ajaran Sang Krishna, pertanyaan Arjuna ini mungkin tidak berbeda dengan pikiran yang ada di benak kita sendiri karena setelah membaca dua bab permulaan ini biasanya timbul pikiran mengapa ajaran Sang Krishna ini nampak berkontradiksi. Arjuna berpikir bahwa kcsadaran yang dicapai seseorang akan Sang Brahman adalah lebih baik daripada suatu tindakan yang bersifat destruktif seperti peperangan. Arjuna Iupa dan tidak sadar akan pesan-pesan Sang Krishna akan dharma-bhakti sctiap orang kepadaNya dan masyarakat pada umumnya.

3.2

vyāmiśreṇeva vākyena
buddhiḿ mohayasīva me
tad ekaḿ vada niścitya
yena śreyo ‘ham āpnuyām

 Dengan kata-kata yang saling bertentangan ini, Dikau mengacaukan pengertianku. Beritahukanlah kepadaku akan suatu jalan yang jelas, dengan apa aku dapat mencapai yang terbaik.

Penjelasan:  Menjawab pertanyaan di atas ini Sang Krishna pun lalu mengajar ajaranNya mengenai jalan dari aksi atau tindakan, sebagai berikut:

3.3

śrī-bhagavān uvāca
loke ‘smin dvi-vidhā niṣṭhā
purā proktā mayānagha
jñāna-yogena sāńkhyānāḿ
karma-yogena yoginām

 Di dunia ini ada dua ajaran yang telah Kuajarkan semenjak masa yang amat siiam. oh Arjuna! Yang pertama adalah ajaran tentang ilmu pengetahuan (gnana-yoga) yang disebut ajaran Sankhya, untuk mereka-mereka yang penuh dengan ketekunan untuk mempelajarinya; dan yang kedua adalah ajaran mengenai tindakan (aksi perbuatan pekerjaan, atau karma-yoga). jalannya para yogi, yaitu yang hidupnya harus bekerja dan selalu penuh dengan aksi.

Penjelasan:
Skripsi-skripsi kuno Hindu mengajarkan tentang ajaran Sankhya dan ajaran Yoga. Sankhya adalah ilmu pengetahuan tentang Ilahi, sedangkan Yoga adalah ajaran tentang perbuatan, pekerjaan atau yang disebut aksi. Banyak orang membeda-bedakan kedua ajaran ini seperti halnya Arjuna, tetapi sebenamya inti-sari atau tujuan dari keduanya adalah satu, yaitu Yang Maha Esa. Jadi sebenarnya sama saja, tergantung pemakainya saja.

llmu pengetahuan (gnana) dan karma-yoga sebenarnya selaras, tidak ada konflik atau perbedaannya. Yang ada hanyalah masalah disiplin. Yang satu disiplinnya condong ke arah gnana dan yang satu lagi condong ke arah karma. Mereka yang menganut gnana disebut penganut Sankhya atau Sankhya Yogi dan mereka yang jalan di nishkama-karma (tindakan bukan untuk diri pribadi) disebut Karma-yogi.

Gnana yoga disebut juga sanyasa yoga (yoga-disiplin), karena ilmu pengetahuan yang sejati ‘sebenarnya mengarah ke sanyasa. Sri Shankar Acharya, scorang filsuf Hindu yang besar pernah berkata tentang Bhagavat Gita sebagai bcrikut: “Seorang penganut ilmu pengetahuan yang sejati (gnani) seharusnya juga adalah seorang sanyasi sekaligus,” tetapi menjadi seorang sanyasi tidak berarti lalu kita semua harus mcnanggalkan kewajiban duniawi kita, kewajiban kita kepada masyarakat di sekeliling kita dan mengembara atau bertapa di hutan seorang diri tanpa acuh lagi kepada orang hidupnya sebagai seorang sanyasi dalam dirinya sendiri, dalam tindak-tanduknya sehari-hari. Yang dimaksud adalah kendalikan nafsu-nafsu indra kita, dan itu hanya bisa dilakukan sambil melakukan kewajiban kita sesuai dengan pekerjaan dan status kita dalam masyarakat. Seperti misalnya Raja Janaka, yang adalah seorang MahaRaja yang amat kaya-raya dan berkuasa, tetapi dalam hidupnya sehari-hari ia tak pernah merasa memiliki apapun juga. la bertindak sebagai raja karena sudah merupakan kewajibannya pada Yang Maha Esa dan masyarakatnya; Raja Janaka di dalam epik Hindu dikenal sebagai seorang gnani yang mempraktekkan sanyasa, yaitu tidak keterikatan pada hal hal yang bersifat duniawi, atau dengan kata lain menjauhi hal hal yang bersifat duniawi.

Dengan kata lain, Gnana-yoga, Sanyasa-yoga dan Sankhya-yoga adalah sininimus, atau sama saja artinya.

Menurut para guru agama Hindu, gnana tidak berarti ilmu pengetahuan yang didapatkan dari buku-buku. Seorang gnani bukanlah seorang kutu-buku, karena seseorang boleh saja membaca banyak buku bahkan mcngutip dari buku-buku suci, tetapi belum tcntu ia menghayati isi buku-buku ini dan berubah langsung menjadi seorang gnani. Gnana atau ilmu pengetahuan yang sejati didapatkan secara langsung. bukan dari buku-buku. Seorang gnani sejati adalah seorang “pertapa,”seorang yang dapat melihat kebenaran. Ia bukan seorang penyair atau pengarang yang berbicara atau menulis dari apa yang ia dengar atau lihat. Ia berbicara atau menulis karena ia merasakan dan melihat kebcnaran itu secara langsung dan sendiri. Ia memiliki sakshatkara, yaitu persepsi atau intuisi langsung. .

Tidak ada kebijaksanaan yang dapat kita ambil dari buku-buku begitu saja, tetapi harus melalui proses di dalam hidup kita ini. Gnana berarti menyadari diri kita sendiri, Hargailah ketenangan dan keheningan, karena kesadaran atau kebijaksanaan biasanya datang pada waktu waktu yang hening. Makin banyak ketenangan dan keheningan di dalam diri kita, makin banyak timbul kesadaran dan kebijaksanaan

3.4

na karmaṇām anārambhān
naiṣkarmyaḿ puruṣo ‘śnute
na ca sannyāsanād eva
siddhiḿ samadhigacchati


Seseorang tidak akan mendapatkan kebebasan dengan menelantarkan pekerjaannya, juga seseorang tidak akan mendapatkan kesempumaan dengan hanya berpasrah diri.

Penjelasan:
Idealnya seorang yang berjalan di jalannya karma-yoga adalah bekerja sesuai dengan tugasnya tanpa terpengaruh oleh tugas itu secara duniawi. Dan kondisi semacam ini tidak dapat dicapai dengan tidak mengacuhkan atau menelantarkan pekerjaan itu sendiri. Aktiflah, sabda Bhagavat Gita, tetapi tanpa pamrih atau mengharapkan suatu imbalan sekecil apapun juga‘. Yang penting bukan tidak acuh pada pekerjaan, tetapi tidak acuh pada nafsu-nafsu indra kita yang serakah dan tidak terkendali.

Bekerjalah, berproduktiflah dalam setiap hal, tetapi janganlah kita menciptakan kekacauan atau hal-hal yang buruk atau negatif. Ciptakanlah sesuatu yang indah, yang positif untuk dirimu dan semua di sekitarmu dan semua perbuatanmu selama tidak dilakukan dengan nafsu egois, dan selama tidak bemotifkan pamrih akan indah dan berguna untuk semuanya.

Siddhi adalah kesempurnaan, dan kesempurnaan biasanya tercapai dari suatu ketenangan atau keheningan. Dan ciri-ciri khas seorang yang penuh dengan siddhi ini adalah: . .
1. Ia memiliki disiplin yang kuat sekali dalam mengendalikan keinginan keinginan indra-indranya, bahkan sampai ke hal hal yang terkecil sekali pun.
2. Ia telah belajar dan sadar bahwa “egonya harus dibunuh, apapun bentuk ego itu.’ ’Ada dua jalan ke arah siddhi ini:
3. tidak mengikuti jalan pikiran yang duniawi, dan
4. tidak mementingkan hal-hal yang bersifat duniawi.

Agar pikiran kita selalu tenang dah tak tergoyahkan maka perlu sekali untuk mengesampingkan semua unsur-unsur duniawi yang ada di sekitar kita. Seseorang yang tekun bermeditasi harus selalu mengatakan pada dirinya: uang, rumah, ‘ keluarga, istri, anak, harta milik, kekuasaan, rasa hormat dan lain sebagainya adalah milik Sang Maya, dan bersifat tidak abadi, hanya Sang Atman yang abadi! Dan pikiran semacam ini harus betul betul dihayati dan tertanam di dalam benak kita sehari-hari.

Seseorang yang stabil meditasinya tak akan terganggu oleh berbagai pikiran yang keluar masuk dalam kepalanya. Semua itu dipikirkannya secara santai dan tenang dan tidak secara serius. Meditasi yang benar akan menghasilkan seseorang yang selalu gembira. Bercahaya roman-mukanya, penuh dengan enersi dan dinamik tindak tanduknya Pikiran pikiran yang negatif tak akan membantunya sama sekali tapi berpikir secara positif dan mengesampingkan kepentingan pribadi dan tidak terpengaruh oleh semua unsur-unsur duniawi akan menghasilkan energi yang positif bagi seorang yang gemar bermeditasi.

Bagi seorang yang ingin mencapai ketenangan, maka dianjurkan untuk belajar bermeditasi pada seorang guru yang telah mencapai suatu kesempurnaan, karena dari diri sang guru ini akan terpancar keluar getaran yang amat positif bagi sang murid. Tanda-tanda seorang spiritual yang telah mencapai ketenangan jiwa ini, adalah selain jiwanya betul -betul telah tenang tak tergoyahkan, juga ia tak akan pernah terpengaruh oleh semua kejadian-kejadian di dunia ini.

3.11

devān bhāvayatānena
te devā bhāvayantu vaḥ
parasparaḿ bhāvayantaḥ
śreyaḥ param avāpsyātha


Dengan yagna. atau pengorbanan, berikanlah kepada para dewa, dan para dewa akan memberikannya kembali kepadamu yang kau pinta.

3.12

iṣṭān bhogān hi vo devā
dāsyante yajña-bhāvitāḥ
tair dattān apradāyaibhyo
yo bhuńkte stena eva saḥ


Dengan saling memberikan kepada mereka ini dikau akan mencapai Kebaikan Yang Utama. Dengan mendapatkan pengorbanan. para dewa akan memberkahimu dengan yang kau pinta. Dan barangsiapa yang menerima berkah dari para dewa tanpa berkorban kembaIi kepada mereka . . . adalah betul betul seorang pencuri.

Penjelasan: Di salah satu kitab suci Hindu Kuno yang disebut Vishnu Purana, dapat kita baca suatu kisah di mana para dewa menurunkan hujan kepada manusia yang melakukan upacara korban kepada dewa-dewa ini. Hal yang sama masih kita lakukan juga pada waktu-waktu tertentu dewasa ini di mana ada kepercayaan agama Hindu. Para dewa ini sebenamya diciptakan Yang Maha Esa untuk menjadi pelindung atau partner dari manusia, dan sebaliknya manusia yang memuja dewa dewa ini dengan tujuan tertentu diharuskan untuk berkorban kepada dewa-dewa ini. Dengan ini akan tercapai kerja-sama yang baik antara dewa-dewa dan manusia demi langgengnya kehidupan dunia ini dengan segala kesibukannya. Para dewa tidak saja dapat memberikan harta-benda duniawi, tetapi ‘juga dapat dipanggil melalui mantra-mantra tertentu baik untuk penyembuhan atau untuk meminta melawan perbuatan jahat. Tetapi ingat dari dewa untuk dewa, dari Yang Maha Esa untuk Yang Maha Esa, dan setiap tindakan untuk Yang Maha Esa berarti lebih dekat lagi denganNya.

Juga terdapat makna lain dari pengorbanan ini yaitu, agar apa yang kita lakukan itu hasilnya dapat kita bagi juga untuk yang lainnya dan tidak hanya untuk diri sendiri. Di Manava Dharma Shastra tertulis: “Seseorang hanya memakan dosa, sekiranya ia memasak untuk dirinya sendiri!”

Sekiranya sewaktu kita makan, alangkah baiknya kalau dimulai dulu dengan doa dan kita serahkan dulu yang kita makan kepadaNya dan kemudian kita bagi juga bagi sesama mahluk lain, misalnya dengan membuang sedikit nasi yang kita makan untuk semut-semut dilhalaman rumah, atau untuk anjing dan kucing piaraan di rumah, dan lebih dari itu kalau ada kelebihan dibagi kepada fakir miskin atau orang lain yang membutuhkannya. Memberikan sesuatu yang berlebihan di rumah kita adalah pekerjaan sosial yang dianjurkan setiap agama, karena merupakan titipan dariNya juga untuk orang-orang lain yang membutuhkannya. Dan ingatlah setiap orang yang kikir selalu kehilangan sebagian dari harta bendanya atau kebahagiannya karena hukum alam akan berlaku atas orang yang berlebih lebihan miliknya baik itu dalam bentuk materi atau yang bersifat abstrak seperti pikiran atau rasa.

3.13
yajña-śiṣṭāśinaḥ santo
mucyante sarva-kilbiṣaiḥ
bhuñjate te tv aghaḿ pāpā
ye pacanty ātma-kāraṇāt

 Mereka yang baik, adalah yang memakan sisa-sisa dari yang telah dikorbankannya, dan mereka-mereka ini akan lepas dari dosa-dosa. Tetapi yang tak beriman hanya memikirkan diri mereka sendiri yang mereka makan hanyalah dosa.

Penjelasan:  Dengan membagi makan atau kelebihan harta-benda kita kepada sesamanya yang membutuhkannya, dan menyerahkan setiap tindakan dan posesi kita kepadaNya, maka lambat-laun akan terjadi proses pembersihan dan pemurnihan diri kita pribadi.

3.14

annād bhavānti bhūtāni
parjanyād anna-sambhavaḥ
yajñād bhavati parjanyo
yajñaḥ karma-samudbhavaḥ

Dari makanan terbentuklah mahluk-mahluk, dari hujan terbentuklah makanan hujan terbentuk dari yagna atau pengorbanan dan pengorbanan lahir dari aksi (karma).

Penjelasan: Di sini terlihat bahwa roda kosmik berputar secara sistimatis berdasarkan yagna atau pengorbanan. Dengan ini’kita seharusnya sadar bahwa bctapa besamya sebenarnya nilai dari suatu yagna atau amal yang tulus, yang demi Ia semata-mata tanpa mengaharapkan pahala atau pamrih.

3.15
karma brahmodbhavaḿ viddhi
brahmākṣara-samudbhavam
tasmāt sarva-gataḿ brahma
nityaḿ yajñe pratiṣṭhitam

 Ketahuilah oleh dikau bahwa karma (aksi) timbul dan‘ Sang Brahma, dan Sang Brahma datang dari Yang Maha Esa (Yang Tak Terbinasakan). Jadi Sang Brahma yang selalu ada selalu hadir pada setiap pengorbanan.

Penjelasan:
Dunia diciptakan oleh Sang Purusha Tunggal (Sang Brahma) dengan penuh pengorbanan besar yaitu dirinya sendirii Tangan-tangan kaki-kakinya tersebar ke seluruh dunia (di alam semesta). Berkat pengorbanan inilah dunia diciptakan dan berkat pengorbanan-pengorbanan dari berbagai dewa-dewa, para pahlawan-pahlawan, manusia-manusia suci sepanjang masa, maka dunia ini sampai sekarang masih bisa bertahan. Lihatlah di sekitar kita, kalau ada yang berbuatjahat maka pasti ada individu lain yang berbuat baik untuk menetralisir keadaan ini. Ini berarti sebenarnya tanpa kita sadari setiap pengorbanan yang mengorbankan dirinya sendiri sedang atau sudah berusaha menstabilkan alam dan unsur-unsur yang ada di alam ini sendiri.

3.16
evaḿ pravartitaḿ cakraḿ
nānuvartayatīha yaḥ
aghāyur indriyārāmo
moghaḿ pārtha sa jīvati

 Seseorang yang hidup di dunia ini tanpa mau menggerakkan roda-roda pengorbanan, adalah seorang yang penuh dengan dosa dan nafsu-nafsu duniawi. Orang semacam ini. oh Arjuna, hidup secara sia-sia.

Penjelasan: Seorang yang hidupnya adalah untuk diri-pribadinya sendiri, sebenarnya kehilangan nilai-nilai kehidupan yang berarti. Yang rugi sebenarnya adalah dirinya sendiri.

3.17
yas tv ātma-ratir eva syād
ātma-tṛptaś ca mānavaḥ
ātmany eva ca santuṣṭas
tasya kāryaḿ na vidyāte

Tetapi seseorang yang bahagia di dalam Sang Atmannya sendiri, yang merasa cukup dengan Dirinya, dan selalu puas oleh Dirinya . . . untuk orang semacam ini sebenarnya tidak ada pekerjaan yang harus diselesaikan.

Penjelasan:
Seseorang yang telah menemukan kebahagian dan kedamaian di dalam Sang Atman (Jati Dirinya sendiri), yang bcrsemayam di dalam dirinya scndiri, tidak perlu menyelcsaikan pekerjaannya, ujar Sang Krishna penuh makna. Maksudnya di sini bukan lalu orang semacam ini lalu bermalas-malasan tanpa kerja. Tctapi semua aktivitias baginya bahkan merupakan pekerjaan yang membahagiakan dan menimbulkan rasa damai baginya, karena ia berpikir sebagai alat ia dipakai oleh Yang Maha Kuasa, dan setiap pekerjaan atau problema bukanlah jadi beban lagi

Tetapi kewajban yang ditunggu-tunggu olehnya. Secara mental ini berarti sama saja tidak ada ‘pekerjaan’ untuknya Semata. Bukankah Yang Maha Esa sendiri mengorbankan DiriNya sendiri untuk menjadi seorang manusia, yaitu Sang Krishna’ agar dapat secara langsung dan pribadi mengajarkan Bhagavat Gita kepada kita semuanya. Tidak ada suatu bentuk pekerjaan yang kotor bagi yang telah mcnemukan Jati Dirinya, karena Ia selalu akan dituntun oleh Sang Atman sesuai dengan kehendakNya.

3.18
naiva tasya kṛtenārtho
nākṛteneha kaścana
na cāsya sarva-bhūteṣu
kaścid artha-vyapāśrayaḥ

Ia tidak punya kepentingan pribadi di dunia ini baik ia melakukan sesuatu maupun ia tidak melakukan sesuatu. la tidak bersandar kepada siapapun untuk mencapai (atau mendapatkan) sesuatu dalam hidupnya.

Penjelasan:
Orang yang telah mencapai taraf kéjiwaan ini benar-benar adalah seorang manusia yang amat bebas hidupnya. Baik ia melakukan sesuatu maupun tidak ia tidak pemah merasa rugi atau untung karena tindakan itu, benar-benar alat sifat dan, statusnya, karena semua tindakan tidak disangkut-pautkan dengan pribadinya. Ia bebas dari segala beban duniawi dan tidak bersandar pada siapapun maupun pada suatu keadaan atau benda-benda dan sekelilingnya, ia hanya bersandar pada Yang Maha Easa semata. Baginya sehari-hari apa saja yang dimakan atau disandangnya walau hanya sedikit sudah terasa amat cukup. Hidupnya sudah menyatu dengan ‘ Yang Maha Kuasa, dan segala kejadian-kejadian duniawi seperti huru-hara, peperangan, musibah dan lain sebagainya, walaupun di perhatikannya secara manusiawi sekali sebenarya tidak lagi berpengaruh terhadapnya. Tanpa disadarinya maupun tidak disadarinya lepas sudah kewajiban-kewajiban duniawi dari dirinya, yang ada hanya kewajibannya terhadap Yang Maha Kuasa. Bekerja atau tidak sama saja baginya. tetapi ia akan selalu bekerja terus tanpa henti dan tanpa pamrih, karena setelah mengenal Sang Atman, ia akan sadar bahwa semua adalah satu. dan apapun yang dilakukannya atau dikorbankannya adalah dari Dia, oleh Dia dan untuk Dia scmata.

3.19
tasmād asaktaḥ satataḿ
kāryaḿ karma samācara
asakto hy ācaran karma
param āpnoti pūruṣaḥ

Seyogyanyalah dikau selalu mengerjakan kewajibanmu tanpa rasa keterikatan. Karena dengan bekerja tanpa pamrih seseorang akan mencapai Parama Yang tertinggi.

Penjelasan:
Bekerjalah selalu tanpa pamrih, inilah pesan inti dari Bhagavat Gita yang tidak bosan-bosannya diulang-ulang oleh Sang Krishna bagi kita semua. Dengan dedikasi yang bcrkesinambungan, yang secara konstan dilakukan oleh seseorang terhadapnya. maka suatu saat pasti orang atau pcmuja ini akan mencapai Kebenaran Yang Sejati. Yang Tertinggi sifatnya. Janganlah ragu dan bimbang akan hasil pekerjaan itu, maka yang bekcrja secara murni untuk Yang Maha Kuasa tidak akan gentar dengan segala hasil yang diperolehnya. Orang semacam ini tidak akan memaksakan suatu pekerjaan tertentu tetapi akan srlaku bekerja sesuai dengan kehendakNya. Dan bekerja tanpq keterikatanbakqnbsukses atau tidaknya, bqhkqn tanpa pamrih. Dan bekerja tanpa pqmrih ini akan melepaskqn kita dari ikatan ikatan duniawi ini. Dan bebaslah kita sesungguh sungguhnya bebas.

3.20
karmaṇaiva hi saḿsiddhim
āsthitā janakādayaḥ
oka-sańgraham evāpi
sampaśyan kartum arhasi

 Janaka dan juga yang lain-lainnya benar-benar mencapai kesempurnaan dengan bekerja. Dan dikau pun seharusnya bekerja dengan dasar kesejahteraan dunia ini.

Penjelasan:
Raja Janaka Dari Mithila, adalah seorang raja yang amat kaya-raya dan agung sifatnya. Ia juga adalah seorang karma-yogi yang ideal, karena ia memerintah kerajaannya demi Yang Maha Kuasa tanpa sedikit pun ambisi pribadi atau merasa semua itu miliknya pribadi. Ia berhasil menguasai egonya dan pernah berkata, “Seandainya kerajaan Mithila ini terbakar tidak ada sesuatu pun punyaku yang hilang.” Raja Janaka berkuasa dikerajaannya sampai akhir hayatnya karena ia merasa bekerja demi yang lainnya dan menjadi contoh atau model untuk raja-raja yang lainya agar bekerja demi Yang Maha Kuasa semata. Suatu saat kemudian Sang Raja ini mencapa kesempurnannya dengan bekerja terus-menurus, tanpa pamrih demi Yang Maha Kuasa. Boethius seorang filsuf Barat pernah berkata: “Seseorang tak akan pernah pergi ke sorga kalau hanya ia sendiri yang ingin ke sana.”

3.21
yad yad ācarati śreṣṭhas
tat tad evetaro janaḥ
sa yat pramāṇaḿ kurute
lokas tad anuvartate

Apapun yang dilakukan oleh seorang pemimpin, maka masyarakat akan mengikutinya. Masyarakat akan meniru sama kaidah-kaidah yang dilaksanankan oleh pimpinan itu.

Penjelasan: Masyarakat selalu cenderung untuk meniru tingkah-laku dan kehidupan seorang pemimpin bangsa. Seandainya seorang pemimpin atau pemuka masyarakat bertindak religius, bijaksana, rendah-hati, hidup sederhana dan tidak serakah pada kekuasaannya, maka masyarakat akan menghormatinya dan bertindak sama dalam kéhidupan mereka sehari-hari. Tetapi seandainya seorang pemimpin mulai bertindak serakah, menyalah-gunakan kekuasaannya, memerintah dengan angkara-murka. dan korupsi, maka jajaran menteri-menteri dan para bawahan-bawahan menteri sampai ’ke pamong-praja dan masyarakat akhimya, akan bertindak sama. karena itulah pola atau kaidah-kaidah yang telah diterapkan oleh sang pemimpin, yang lambat-laun menjalar ke semuanya dan terasa biasa oleh para pelaku-pelakunya.

3.22
na me pārthāsti kartavyaḿ
triṣu lokeṣu kiñcana
nānavāptam avāptavyaḿ
varta eva ca karmaṇi


Tidak ada sesuatu apapun di ketiga loka ini yang Kukerjakan oh Arjuna atau pun ingin mencapai sesuatu yang belum tercapai, tetapi Aku selalu aktif bekerja.

Penjelasan: Yang Maha Kuasa sebenarnya tidak perlu bekerja untuk menunjang alam semesta ini beserta seluruh isinya, tetapi Ia memberikan contoh yang baik dengan menitis menjadi Sang Krishna dan mengajarkan Bhagavat Gita kepada manusia agar jalan lurus ke arahNya.

3.23
yadi hy ahaḿ na varteyaḿ
jātu karmaṇy atandritaḥ
mama vartmānuvartante
manuṣyāḥ pārtha sarvaśaḥ


Karena, kaiau Aku tidak aktif. maka mereka-mereka yang aktif dan penuh pengorbanan tidak akan mencontoh Diriku, oh Arjuna!

Penjelasan: Sekali lagi Yang Maha Kuasa memberikan keteladanan yang amat agung, agar mereka-mercka yang bekerja demi dan untukNya semata makin aktif saja untuk bekerja demi sesamanya dan demi Yang Maha Kuasa. Di sini terlihat bahwa Bhagavat Gita tidak mcnganjurkan siapa saja untuk berdiam diri tanpa berbuat sesuatu karena merasa semua sudah diatur Yang Maha Kuasa. Tetapi sebaliknya setiap insan dianjurkan untuk selalu bekerja, tetapi harus tanpa pamrih.

3.24
utsīdeyur ime lokā
na kuryāḿ karma ced aham
sańkarasya ca kartā syām
upahanyām imāḥ prajāḥ


Seandainya Aku berhenti bekerja maka dunia ini akan runtuh, dan Aku jadi penyebab kekacauan, dan semua manusia-manusia ini akan binasa.

3.25
saktāḥ karmaṇy avidvāḿso
yathā kurvanti bhārata
kuryād vidvāḿs tathāsaktaś
cikīrṣur loka-sańgraham


Ibarat seorang bodoh yang bekerja demi hasilnya, oh Arjuna, maka seyogyanyalah seorang yang bijaksana juga bekerja, tetapi tanpa pamrih, dan dengan tujuan untuk kelangsungan hidup di dunia ini.

Penjelasan: Kontradiksi antara yang bodoh (jurang pengetahuannya) dan yang bijaksana jelas sekali di sloka atas ini. Yang pertama bekerja demi suatu motif dan untuk kepentingan dirinya sendiri, sedangkan yang bijaksana bekerja tanpa pamrih dan  untuk sesamanya. Pekerjaannya sama, motif dan tujuannya lain.

3.26
na buddhi-bhedaḿ janayed
ajñānāḿ karma-sańginām
joṣayet sarva-karmaṇi
vidvān yuktaḥ samācaran


Janganlah seorang vidvan (bijaksana) mencegah pikiran mereka-mereka yang terikat kepada pekerjaan mereka. Tetapi bertindaklah berdasarkan ilmu pengetahuan ini. .sesuai dengan kehendakKu. dengan begitu memberikan inspirasi (atau mengajarkan) mereka untuk bertindak yang betul.

Penjelasan: Jangan mengusik atau mengritik mereka mereka yang terikat pada kehidupan dan pekerjaan mereka, karena kesadaran yang sejati harus datang dari hati-nurani mereka sendiri. Kewajiban seorang yang bijaksana adalah memberikan contoh contoh kepada orang-orang semacam ini, dengan begitu menimbulkan kesadaran atau inspirasi kepada mereka, bahwa bekerja atau hidup ini sebenarnya untuk Yang Maha Esa semata dan bukan untuk kepentingan diri pribadi sendiri. Dengan bertindak begitu seorang yang bijaksana akan bertindak sesuai dengan kemauan atau kehendak Yang Maha Kuasa Yang tak pernah memaksakan kehendak atau keinginanNya untuk diikuti seseorang. Setiap orang bebas untuk memuja atau tidak memujaNya, untuk berperilaku baik atau buruk.

Jangan sekalikali kita meremehkan kepercayaan orang-orang lain, apapun kepercayaan dan keyakinan mereka, bahkan seharusnya kita harus menghormatinya dan kemudian membantunya untuk lebih mengenal Yang Maha Esa dan bertugas demi Yang Maha Esa. Setiap simbol yang dipuja atau tindakan atau kepercayaan seseorang sebenamya merupakan suatu proses atau tindakan atau anak-tangga dari setiap individu untuk ke Yang Maha Esa juga, tetapi karena “kebodohan” seseorang maka ia berjalan atas konsep atau pengertian yang salah, pada hal yang ditujunya adalah Kekuatan Yang Abadi juga. Dan setiap individu ini suatu saat secara perlahan tetapi pasti akan menuju ke Yang Maha Esa juga. Jadi sebaiknya seorang yang bijaksana memperbaiki dam membantu mengarahkan orang=orang ini ke jalan yang benar, dan tidak sekali-kali memaksa atau menertawakan kepercayaan orang lain.

3.27
prakṛteḥ kriyamāṇāni
guṇaiḥ karmaṇi sarvaśaḥ
ahańkāra-vimūḍhātmā
kartāham iti manyate


Sebenarnya semua tindakan (aktifitas) dilakukan berdasarkan sifat-sifat alam (ketiga guna), tetapi seseorang yang penuh dengan rasa egois (ahankara) akan berpikir: Akulah yang melakukannya.”

3.28
tattva-vit tu mahā-bāho
guṇa-karma-vibhāgayoḥ
guṇā guṇeṣu vartanta
iti matvā na sajjate


Tetapi seseorang. oh Arjuna, yang sadar benar akan perbedaan antara Sang Jiwa dan sifat-sifat alam serta cara kerja sifat-sifat alam ini, tak akan terikat pada pekerjaannya, karena ia sadar bahwa yang bekerja sebenarnya adalah sifat-sifat alam ini.

Penjelasan: Seseorang yang bijaksana sadar bahwa Sang Atman (yang bersemayam di dalam diri kita), tak akan tercemar oleh pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan orang tersebut. Seperti juga halnya Sang Atman ini tidak dapat dibakar, dibunuh atau dihancurkan. Orang bijaksana ini pun sadar bahwa yang bertindak dengan aktif sebenarnya bukan Sang Atman tetapi adalah ketiga sifat alam yang disebut guna. dari Sang Prakriti. Scdangkan seseorang yang tidak bijaksana atau yang kurang pengetahuannya merasa semua tindakan yang dilakukannya berasal dari dirinya semata.

Secara sadar seorang yang bijaksana mengorbankan segala tindakannya kepada Yang Maha Esa, dan secara otomatis ia akan selalu bekerja melawan segala dosa dan cobaan agar dirinya makin bersih dan dapat lepas dari segala kegelapan. Penderitaan dan kekotoran duniawi ini. Jalan ini menuju ke jalan “tanpa pamrih.” Karena seseorang yang bijaksana sadar bahwa yang bekerja sebenarnya bukan Sang Atman tetapi sifat-sifat prakriti yang menimbulkan berbagai raga”aktivitas atau tindakan. Sifat berinteraksi dengan sifat; dan benda berinteraksi dengan benda. Sang Atman sendiri selalu teguh sebagai saksi.

3.29
prakṛter guṇa-sammūḍhāḥ
sajjante  guṇa-karmasu
tān akṛtsna-vido mandān
kṛtsna-vin na vicālayet


Mereka-mereka yang di dalam kegelapan akibat sifat-sifat alam ini terikat pada pekerjaan-pekerjaan yang ditimbulkan oleh sifat-sifat Ini. Seorang yang sadar semuanya itu tak akan menggoyahkan pikiran seseorang Iain yang hanya mengerti sebagian kecil.

Penjelasan:
Seseorang yang bijaksana akan membantu tanpa pamrih kepercayaan atau. tindakan positif orang lain yang kurang mengerti ini, dan tidak sekali-kali menimbulkan kekacauan dalam hati orang yang ditolongnya ini. Dengan memberikan contoh-contoh yang baik seseorang yang bijaksana akan membantu orang yang lain scsuai pengabdiannya kcpada Yang Maha Esa.

3.30
mayi sarvāṇi karmaṇi
sannyasyādhyātma-cetasā
nirāśīr nirmamo bhūtvā
yudhyasva vigata-jvaraḥ


Serahkan semua tindakan-tindakanmu kepadaKu, dengan pikiran-pikiranmu bersandar pada Yang Maha Esa. lepas dari segala kemauan dan egoisme, sadarlah dari penyakit(mental)mu, berperanglah dikau, oh Arjuna!

Penjelasan: Dengan menyerahkan semua imbalan atau pamrih dari segala tindakan tindakan kita kepada Yang Maha Esa maka seyogyanyalah seseorang berdoa kepadaNya agar ‘Ia memberkahi alam semesta beserta segala isinya ini dengan segala karuniaNya. Jangan mencari kebahagian pribadi, tetapi berkorbanlah selalu demi sesamamu dan semuanya, demi Yang Maha Esa pada hakikatnya. Serahkanlah semua milikmu kepadaNya, serahkan semua itu dengan jiwa yang penuh dedikasi dan suatu waktu kelak kita pun dapat merasakan datangnya karunia llahi Yang Sejati (Brahmananda). Serahkan semua yang menjadi milikmu, apapun bentuknya, baik secara mental maupun hana duniawi dan sadarlah bahwa la juga yang hadir di setiap benda dan mahluk dialam semesta ini, dan Yang Maha Esa pun akan turun kepada diri kita dan lengkaplah lalu diri kita ini. Dalam setiap tindakan selalulah berdoa. ‘Terjadilah KehendakMu, Yang Maha Kuasa.”

3.31
ye me matam idaḿ nityam
anutiṣṭhanti mānavāḥ
śraddhāvanto ‘nasūyanto
mucyante te ‘pi karmabhiḥ

 Barang siapa menjalankan ajaran ajaranKu ini penuh dengan kepercayaan dan lepas dari mencari cari kesalahan (ajaran ini) maka mereka juga akan lepas dari keterikatan kerja.

3.32
ye tv etad abhyasūyanto
nānutiṣṭhanti me matam
sarva-jñāna-vimūḍhāḿs tān
viddhi naṣṭān acetasāḥ


Tetapi mereka yang mencari-carl kesalahan dalam ajaranKu ini dan tidak bertindak seharusnya ketahuilah mereka-mereka ini buta tentang kebijaksanaan. sesat dan tak berpikiran sehat.

Penjelasan: Bhagavat Gita mengharuskan kita untuk menjalankan ajaran-ajaran Sang Krishna ini dengan konsekwen dan penuh kesadaran, bukan dengan mencari-cari kesalahan dalam ajaran ini. Bukan juga dengan menyalah-gunakan ajaran ini untuk maksud-maksud duniawi tertentu. Mengetahui saja ajaran-ajaran ini tidak cukup, tetapi harus dihayati, dipraktekkan dan dipelajari secara tekun dan berulang-ulang karena selalu merupakan sumber inSpirasi yang tak ada habis-habisnya bagi diri ~ kita, dan kemudian selalu diamalkan untuk sesamanya. Tidak berjalan sesuai dengan ajaran-ajaran ini lambat laun malahan akan menyesatkan seseorang yang menganut agama Hindu atau ajaran Sang Krishna ini.

3.33
sadṛśaḿ ceṣṭate svasyāḥ
prakṛter jñānavān api
prakṛtiḿ yānti bhūtāni
nigrahaḥ kiḿ kariṣyati

Seorang yang penuh dengan ilmu pun bertindak sesuai dengan sifat prakritinya. Setiap mahluk mengikuti sifat-sifatnya masing-masing. Menentang sifat-sifat ini-ini tidak akan berarti apa-apa!

3.34
ndriyasyendriyasyārthe
rāga-dveṣau vyavasthitau
tayor na vaśam āgacchet
tau hy asya paripanthinau

 Keterikatan dan rasa-dualistik yang bertentangan pada obyek-obyek selalu hadir di setiap hal. Janganlah seseorang terbius oleh kedua hal ini. Karena kedua-duanya adalah musuh dan hambatan-hambatan dalam perjalanannya.

Penjelasan: adalah kenyataan bahwa kita dilahirkan dengan sifat-sifat tertentu yang dominan. Tetapi sifat-sifat ini menjadi amat kuat kalau selalu dikaitkan dengan keterikatan duniawi dan rasa dualistik kita, sehingga sering misalnya kita menyukai hal-hal yang terlarang dan tidak menyukai kewajiban-kewajiban tertentu karena tetasa tidak menyenangkan untuk dikerjakan. Semua ini dapat di atasi secara lambat-laun kalau mau kita mendisiplinkan dan belajar secara bersama dengan orang-orang lain tentang hal-hal yang spiritual dan dengan penuh dedikasi bcrtindak dan melihat kedalam diri kita sendiri.

Prakriti itu sendiri bukanlah sesuatu kekuatan yang dinamik. Memang betul dalam kehidupan ini prakriti memainkan peranan yang amat penting dan kuat Pengaruhnya pada kita semua, tetapi selama kita mau menceburkan diri di dalamnya dan mau terseret oleh arusnya, maka selama itu juga kita akan terbenam di dalam Prakriti ini. Tetapi sekali kita menentangnya maka akan timbul kesadaran untuk mengatasinya. Mengatasinya tidak dengan berperang dengan prakriti ini, karena Sukar untuk mengalahkannya, tetapi dengan merubah diri kita yang terbenam ini menjadi ibarat sebuah perahu yang melayarinya. Jadi masih dengan prakriti juga karena memang tidak bisa lepas darinya selama kita masih hidup, tetapi sudah tidak berseret lagi tetapi malahan berlayar dengannya sampai ketujuan. Sekali sudah menyeberang maka selamatlah kita, beginilah orang-orang Hindu mengibaratkan prakriti, sebagai sebuah sungai yang amat kuat arusnya, yang tak perlu ditentang tetapi sebaliknya dilayari saja untuk sampai ke tujuan kita, yaitu Yang Maha Esa.

Keterikatan dan rasa dualistik adalah musuh-musuh kita yang harus dikalahkan. Caranya adalah dengan karma-yoga, kuasailah rasa dualikstik seperti suka dan tak suka. Organ-organ sensual atau indra-indra kita dapat dikalahkan oleh tekad yang kuat. Tetapi jangan menelantarkan atau menjadikan indra-indra kita ini lapar. Tanpa terganggu oleh rasa dualistik ini, yang hadir dalam berbagai bentuk apapun juga, lakukanlah kewajiban-kewajibanmu. Kita

bukanlah boneka-boneka ditangan sang prakriti; prakriti hanya bisa menghambat kebebasan kita tetapi tidak mungkin bisa merampas kebebasan kita kecuali itu mau kita sendiri. Setiap orang memang hanya bisa mengikuti alur-alur sifat-sifatnya belaka, tetapi seyogyanyalah seseorang meneliti dirinya sendiri, melihat sifat-sifat apa saja yang dimilikinya, karena setiap manusia sebenarnya bersifat balans, ada segi negatif dan positifnya. Kembangkanlah yang positif dan kurangilah yang negatif. Sia-sia saja melawan semua itu, sebaiknya menyesuaikan diri dulu, kemudian merubahnya secara perlahan tetapi pasti.

3.35
śreyān sva-dharmo viguṇaḥ
para-dharmāt sv-anuṣṭhitāt
sva-dharme nidhanaḿ śreyaḥ
para-dharmo bhayāvahaḥ


Lebih baik mengerjakan kewajiban atau pekerjaan (svadharma) seseorang, walaupun mengerjakannya kurang sempuna, daripada melakukan kewajiban orang lain, walaupun pelaksanaannya sempurna. Lebih baik mati dalam mengerjakan kewajiban sendiri. Mengerjakan kewajiban orang lain itu penuh dengan mara-bahaya.

Penjelasan: Adalah lebih baik kalau kita mengerjakan pekerjaan yang sudah jadi kewajiban kita walaupun dalam mengerjakannya mungkin saja tidak sempuma, daripada melakukan kewajiban orang lain, walaupun dalam pelaksanaannya mungkin sangat sempurna. Mati dalam melakukan kewajiban kita adalah sesuatu hal yang agung dan sebaliknya dharma yang seharusnya menjadi hak orang lain malahan akan menimbulkan bahaya spiritual bagi kita, seandainya kita memaksakannya juga. Jadi seorang yang bersifat brahmana tidak perlu melakukan pekerjaan seorang waishya. dan begitupun sebaliknya.

Tidak ada masalah bagi Yang Maha Esa mengenai tinggi-rendahnya nilai suatu pekerjaan atau kewajiban, semuanya bagi Yang Maha Esa sama saja sifatnya. Tetapi mengerjakan kewajiban kita masing-masing secara baik dan penuh dedikasi nilainya lebih baik untuk kepuasan batin kita sendiri, dan secara spiritual berkatnya ditentukan olehNya sesuai dengan kehendakNya juga. Seorang tukang sepatu membuat sepatu yang baik, seorang pendeta mengarahkan umatnya dengan penuh dedikasi dan iman, dan seorang raja memerintah dengan bijaksana; jika semua orang bekerja dengan baik sesuai dengan kewajiban dan sifatnya yang asli tanpa menyerobot usaha atau pekerjaan orang lain dengan alasan apapun juga, maka semuanya akan stabil dan harmonis dalam kehidupan ini.

Berkatalah Arjuna.
3.36
Arjuna uvāca
atha kena prayukto ‘yaḿ
pāpaḿ carati pūruṣaḥ
anicchann api vārṣṇeya
balād iva niyojitaḥ

 Oleh sebab apakah seseorang tertarik untuk berbuat dosa pada hal itu bertentangan dengan pikirannya, oh Krishna, seakan-akan dihela oleh daya yang amat kuat?

Penjelasan: Arjuna bertanya seperti juga yang sering kita tanyakan pada diri-sendiri maupun kepada guru guru kita, mengapa seseorang harus berbuat dosa padahal di dalam hatinya mungkin sekali ia tidak ingin melakukan dosa tersebut? Apa yang ada dibalik semua rahasia ini? Seakan-akan ada sesuatu kekuatan yang dahsyat yang menarik manusia untuk terjerumus ke dalam dosa. Apakah manusianya yang lemah, ataukah memang ada semacam musuh manusia yang tidak terlihat oleh mata, dan apakah musuh ini dapat dihilangkan atau dikalahkan? .

Dalam jawabannya di sloka-sloka mendatang, Sang Krishna menunjuk bahwa manusia ini sebenamya bukan mesin-otomatis. Dharma atau kewajiban seseorang telah digariskan berdasarkan kehidupan atau karmanya semasa lampau. Seseorang bisa saja lahir untuk menjadi seorang guru, polisi, pedagang, tukang-kayu, pendeta, pegawai negeri, atau mengabdi kepada fakir-miskin, dan sebagainya. Kewajiban itu sudah digariskan, kita harus menemukannya sendiri sesuai dengan bisikan hati nurani kita. Sedangkan kesucian atau perbuatan dosa seseorang . . kedua hal ini tidak digariskan, jadi terserah kepada orang atau individu yang bersangkutan untuk memilihnya sendiri,’mau berbuat dosa atau hal yang baik-baik saja. Memang karma dan kehidupan sebelumnya akan cenderung untuk menentukan jalan yang kita pilih, tetapi Yang Maha Kuasa pun memberikan kita kekuatan batin, tekad, dan ratio, dan semua ini dapat menentukan jalan apa yang harus kita ambil. Kalau seseorang maunya tersandung terus yah lama kelamaan ia harus jatuh juga, tetapi kalau tekadnya kuat untuk berjalan lurus yah ia tak akan pernah jatuh, atau kalau jatuh ia akan lebih berhati-hati selanjutnya.

Arjuna bertanya, “mcngapa seseorang berbuat dosa padahal belum tentu ia mau melakukannya.” Sebenarnya hal tersebut tidak benar, setiap orang yang berbuat dosa sebenamya di dalam hatinya sudah kalah lebih dahulu dengan cobaan-cobaan yang dihadapinya, baru kemudian ia terjerumus ke dosa itu. Sescorang yang dasamya memang terikat erat pada benda benda dan nafsu nafsu duniawi. Ini akan mudah jatuh setiap ada cobaan. Sebaliknya jika ia penuh tekad untuk bertindak suci dan jauh dari keterikatan duniawi, maka ia akan menang. Dengan kata lain semuanya itu, sebenarnya kembali ke disiplin manusia itu sendiri.

 

Bersabdalah Yang Maha Pengasih:

3.37
śrī-bhagavān uvāca
kāma eṣa krodha eṣa
rajo-guṇa-samudbhavaḥ
mahāśano mahā-pāpmā
viddhy enam iha vairiṇam


Keinginan (kama), kemarahan (krodha), yang lahir dari rajoguna (berbagai ragam nafsu dan keinginan), semua ini serba penuh dengan keserakahan dan penuh dengan pencemaran. lnilah musuh kita di bumi ini.

Penjelasan: Ada dua musuh manusia yang utama di dunia ini, yaitu: kama atau nafsu dan keinginan, dan yang kedua kemarahan (krodha). Kedua-duanya ini adalah dua wajah dari sang rajoguna, dan kedua-duanya adalah musuh yang mematikan bagi manusia. Berhati-hatilah terhadap mereka!

Kita sebaliknya tidak memusatkan pikiran kita pada hal-hal yang duniawi yang kelihatannya menyenangkan. Sekiranya pikiran selalu terpusat kearah suatu obyek yang menyenangkan. Sekiranya pikiran selalu terpusat ke arah suatu obyek yang menyenangkan ini, maka akan timbul suatu pengalaman atau kejadian yang akan membangkitkan nafsu atau keinginan kita, kemudian timbul hasrat untuk mendapatkan obyek tcrsebut dan, menguasainya secara total, dan_ jatuhlah kita ke dalam cengkraman sang Maya. Dan seandainya sebaliknya keinginan tersebut tidak tercapai atau kita tidak puas akan hasil yang tercapai, maka akan timbul rasa amarah, dan rasa amarah ini kalau tidak terkendali dapat menghancurkan segala-galanya. Cara yang terbaik untuk keluar dari cobaan kama ini adalah dengan mengembangkan tckad kita ke jalan yang penuh disiplin dan dedikasi kepada Yang Maha Esa. Bekerja aktif sesuai kcwajiban kita kepada Yang Maha Esa akan banyak menolong kita membentuk tekad itu sendiri, dan tekad ini akan tumbuh terus dengan tegar di dalam diri kita.

3.38
dhūmenāvriyate vahnir
yathādarśo malena ca
yatholbenāvṛto garbhas
tathā tenedam āvṛtam

 Seperti bara-api yang terbungkus oleh asap, seperti cermin yang terlapis oleh debu dan ibarat embrio (janin bayi) yang terbungkus oleh kulit perut -begitu juga ini terbungkus oleh itu.

Penjelasan:
Asap selalu melingkup bara-api, debu selalu menutupi permukaan kaca atau cermin, dan sang jabang bayi selalu berbungkus oleh kulit perut ibunya semasa ia masih belum dilahirkan, begitu pun nafsu ini membungkus Sang Atman kita sehingga tak nampak cahayaNya dari luar

3.39
āvṛtaḿ jñānam etena
jñānino nitya-vairiṇā
kāma-rūpeṇa kaunteya
duṣpūreṇānalena ca


Kebijaksanaan oh Arjuna juga terbungkus oleh api nafsu yang tak terpuaskan ini yang jadi musuh tetap orang-orang yang bijaksana

Penjelasan: Nafsu atau karma yang lapar dapat menjadi musuh dari mereka-mereka yang bijaksana, karena sering sekali nafsu ini dapat menutupi sinar Sang Atman yang bersemayam di hati seseorang yang tidak kuat imannya.

Salah satu ucapan Sang Manu (manusia pertama) yang terkenal adalah: “Nafsu ‘tak perah puas oleh obyek-obyek sensual yang didapatkannya. Semakin banyak yang dicapainya semakin besar ia tumbuh bagaikan bara-api yang tersiram minyak.”

3.40
indriyāṇi mano buddhir
asyādhiṣṭhānam ucyate
etair vimohayaty eṣa
jñānam āvṛtya dehinam 

 Indra-indra, pikiran dan intelegensia (buddhl) adalah tempat-tempat nafsu ini bersemayam. Mencegah kebijaksanaan dengan ini, nafsu menggelapkan sang jiwa yang ada di dalam tubuh.

Penjelasan: Apa saja yang dilakukan oleh kama? Kama atau nafsu ini mencegat selalu di pintu-gerbang indra-indra kita, kemudian kama ini meruntuhkan benteng pikiran kita, dan kemudian masuk kc daerah buddhi (intelegensia) dan menghancurkan kekuatan batin dan tekad kita. Seorang yang bijaksana akan selalu menjaga baik baik gerbang-gerbang indranya dari segala cobaan. Sctiap kenikmatan indra kita baik itu dan mulut, mata, sex dan sebagainya walaupun sedikit sebaiknya menjadi lampu-merah dan peringatan akan bahaya, atau sang musuh yang akan menyalip masuk di saat-saat kita lengah. Begitu kama menguasai segala indra-indra kita, pikiran kita dan ratio kita, maka seseorang akan menuju ke arah kehancuran dirinya. Itulah nafsu yang telah menghancurkan banyak pahlawan-pahlawan besar, orang-orang bijaksanh yang tercatat dalam sejarah baik di Asia, Eropa maupun di mana saja di dunia ini.

3.41
tasmāt tvām indriyāṇy ādau
niyamya Bhārata rṣabha
pāpmānaḿ prajāḥi hy enaḿ
jñāna-vijñāna-nāśanam


Seyogyanyalah, Oh Arjuna, kendalikan indra-indramu dan bantailah nafsu berdosa ini yang menghancurkan gnana dan vignana.

Penjelasan: Gnana dan vignana telah dijelaskan artinya dalam bab-bab yang Ialu dengan berbagai arti. Disini yang penting adalah bahwa jalan pikiran kita harus bersih dan  murni dalam setiap tindakan yang kita ambil. Jalan pikiran atau buddhi kita harus dikendalikan dengan baik atau sang nafsu keinginan akan segera menghancurkan Pcngetahuan dan kebijaksanaan (gnana dan vignana) yang telah kita bina scdikit demi sedikit.

3.42
indriyāṇi parāṇy āhur
indriyebhyaḥ paraḿ manaḥ
manasās tu parā buddhir
yo buddheḥ paratas tu saḥ

 Indra-indra kita itu besar kadarnya. Tetapi pikiran itu lebih besar kadarnya dibandingkan dengan indra-indra itu. Lebih besar lagi kadar buddhi. Tetapi yang lebih besar lagi kadarnya adalah Ia (Sang Atman, Sang lnti Jiwa kita).

Penjelasan: Jadi bagaimana jalan keluar dari dosa? Serahkan saja yang lebih ringan kadarnya kepada yang paling berat. Lepaskan semua itu dan berpalinglah kepada yang paling Inti, dan jalanlah seperti yang selalu dianjurkan Bhagavat Gita sccara berulang-ulang yaitu: Jangan sekali-kali jatuh pada keinginan atau rasa dualisme yang saling bertentangan seperti suka-duka, senang-susah, dsb. Dan bertindaklah selalu dalam setiap hal karena rasa kewajibanmu kepada Yang Maha Esa semata. Bergeraklah dalam kesadaran mulai dari tangga yang pertama yaitu indra-indra kita dulu, lalu kc pikiran kita, dan lambat-laun dari buddhi ke Sang Atman dan suatu saat kelak ke Yang Maha Esa. Sekali kita tak terikat lagi pada nafsu-nafsu duniawi dan telah bersih dari segala kekotoran duniawi, dan sekali kita berubah Jernih maka akan terjadi peleburan diri kita ke Sang Atman dan tahap selanjutnya diantar untuk menyatu dengan Yang Maha Pencipta’.“

3.42
evaḿ buddheḥ paraḿ buddhvā
saḿstabhyātmānam ātmanā
jahi śatruḿ mahā-bāho
kāma-rūpaḿ durāsadam

 Dengan mengetahui Dirinya (Sang Atman) lebih agung dari buddhi, maka kuasailah dirimu (strata yang lebih rendah) dengan Dirimu (Sang Atman, yang lebih tinggi), dan bunuhlan musuhmu yang bernama nafsu ini, musuh yang sukar untuk dikalahkan.

Penjelasan: Musuh dalam bentuk nafsu ini tidak harus dikalahkan saja, tetapi juga harus dihancurkan. Kalau tidak ia akan kembali sewaktu ia kuat lagi untuk menyerang kita. Maka jangan sckali-kali lengah begitu anda mengira bahwa anda sudah kuat, karena musuh yang satu ini sukar untuk dikalahkan. Pasrahkan dan serahkan dirimu kepadaNya dan bertindaklah selalu tanpa pamrih tanpa suatu usaha atau tindakan yang positif maka hidup ini akan gagal. Yang harus diperhatikan dari sabda-sabda Sang Krishna ini adalah bahwa sang musuh ini selalu hadir sebagai musuh dalam selimut dan akan mcnyerang kita di saat kita lengah atau merasa kuat. Bersatulah dengan Sang Atman, dan bertekadlah untuk membantai musuh nomor wahid ini. dan Ia akan menuntunmu ke jalan yang benar.

Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan yang Abadi. Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Krishna dan Arjuna, maka karya ini adalah Bab ketiga yang disebut: KARMA YOGA

Bhagavad Gita Bab VI

Bab VI

Jalan Meditasi

Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
6.1

śrī-bhagavān uvāca

anāśritaḥ karma-phalaḿ

kāryaḿ karma karoti yaḥ

sa sannyāsī ca yogī ca

na niragnir na cākriyaḥ


Seseorang yang mengerjakan kewajiban yang harus dilakukannya, tetapi tanpa menuntut keuntungan, tanpa pamrih, maka orang itu adalah seorang sanyasi dan seorang yogi bukan ia yang tak mau menyalakan api pengorbanan dan tak mau melakukan upacara apapun.

Penjelasan: Sang Krishna mengulang lagi sebuah fakta kebenaran bahwa seorang sanyasi yang sejati adalah seorang yogi sekaligus karena telah mempersembahkan (mengorbankan) semua pekerjaan dan hasil-hasil dari pekerjaannya kepada Yang Maha Esa. Sanyasa sendiri juga berarti tidak terikat atau tidak berkeinginan. Seseorang yang hidupnya selalu berkeinginan tanpa habis-habisnya dan selalu terikat pada obyek-obyek duniawi dianggap tidak pernah berkorban untuk Yang Maha Esa (tidak melakukan api pengorbanan) atau berbuat suatu apapun demi Yang Maha Esa.

6.2
yaḿ sannyāsam iti prāhur
yogaḿ taḿ viddhi pāṇḍava
na hy asannyasta-sańkalpo
yogī bhavati kaścana

 Sebenarnya, Sanyasa yang sejati (penyerahan total) itu adalah Yoga, oh Arjuna! Dan seseorang bukanlah yogi yang sejati kalau belum mengesampingkan sankalpa-sankalpanya (keinginan-keinginannya yang bermotifkan sesuatu atau suatu tekad untuk mendapatkan sesuatu yang bersifat duniawi di masa depan).

Penjelasan: Segi-segi panting dari sanyasa juga terdapat di dalam karma-yoga. Seorang sanyasi yang sejati sama halnya dengan seorang yogi yang sejati tidak akan terganggu oleh nafsu. Seorang karma-yogi yang sejati tak akan terusik oleh imbalan apapun untuk setiap perbuatan atau tindakannya.

Sankalpa harus dikesampingkan. Semua rencana yang bermotifkan keserakahan pribadi, rencana yang penuh dengan nafsu-nafsu egoisme harus dikesampingkan, karena rencana-rencana semacam ini timbul dari avidya (kekurang-pengetahuan), lahir dari suatu perasaan bahwa “akulah” pelakunya. Seorang karma-yogi yang sejati akan melenyapkan rasa “akunya” (egoisme dan ahankara) dari dirinya.

Yang dimaksudkan Sang Krishna di atas bukannya mengesampingkan pekerjaan seseorang, tetapi sebaliknya bekerja dengan mengesampingkan tekad-tekad atau rencana dan itikad yang punya motif atau tujuan yang tertentu untuk kepentingan diri atau egonya biasanya setiap pekerjaan kita selalu disertai dengan pengharapan akan suatu hasil dan imbalan, bukan saja dari Yang Maha Esa, dari dewa-dewa tetapi dari orang-orang lain, maupun dari pekerjaan itu sendiri. Seyogyanyalah semua pekerjaan dilakukan dengan tekad untuk Yang Maha Esa semata, itu berarti kesatuan dengan Sang Atman dalam segala tindak-tanduk kita sehari-hari dan dalam hidup kita ini. Seorang yogi yang sejati tidak akan berjalan seirama dengan sankalpasankalpanya, tetapi selalu bekerja tanpa pamrih selama hidupnya dan meditasi (atau dhyana) baginya adalah suatu faktor penunjang yang amat membantunya.

6.3
ārurukṣor muner yogaḿ
karma kāraṇam ucyate
yogārūḍhasya tasyaiva
śamaḥ kāraṇam ucyate

 Untuk seorang suci yang ingin mencapai yoga, maka jalannya adalah dengan bertindak. untuk orang suci yang sama ini sekali ia telah mencapai yoga, maka ketenangan adalah jalannya.

Penjelasan: Untuk mencapai yoga, maka seseorang yogi yang sejati harus bekerja selalu tanpa pamrih, dan setelah ia berhasil menyatu denganNya, maka tindakan sudah tidak penting baginya karena yang bertindak kemudian adalah kehendak Ilahi, dan ia hanyalah alatNya saja. Orang semacam ini akan bekerja dengan dan dalam segala ketenangan dan bagi kesejahteraan semua mahluk. Ia tak akan mempunyai sankalpa atau rencana-rencana formatif untuk dirinya. Semua pekerjaan atau tindakannya akan selalu sinkron atau sesuai dengan dhyana (meditasiNya), dengan kehendak Sang Atman yang bersemayam di dalam dirinya, dan ini bukan suatu hal yang tiktif atau penuh dengan imajinasi, tetapi betu-betul akan terjadi pada seorang yogi semacam ini dalam kehidupan ini sebenarnya. 0m Tat Sat.

6.4
yadā hi nendriyārtheṣu
na karmasv anuṣajjate
sarva-sańkalpa-sannyāsī
yogārūḍhas tadocyate

 Seseorang yang sudah lepas dari obyek-obyek sensualnya atau dari tindakan tindakan dan telah mengesampingkan semua sankapa-sankalpanya, maka orang ini dianggap telah bersemayam dalam yoga (yogarudha).

Penjelasan: Sankalpa adalah dasar dari semua aktivitas yang penuh dengan rencana-rencana egoistik, dalam Bab IV/ 10 Sang Krishna bersabda: “Seseorang yang pekerjaannya bebas dari nafsu dan sankalpa disebut seorang suci.” Maka seyogyanyalah seorang yogi yang baik mengesampingkan semua sankalpanya dan tetap bckerja demi kewajibannya yang benar, tanpa nafsu, tanpa rasa egoisme, dan tanpa rasa keterikatan pada dua rasa atau sifat yang berlawanan. Bekerjalah dan terimalah apa saja yang dihasilkan oleh pekerjaan itu sebagai pemberian dari Yang Maha Kuasa. Rantailah ego pribadi dengan memasrahkan diri kepada kehendak Sang Ilahi. Dalam Mahabarata tertulis sebagai berikut: “Oh nafsu, aku tahu akar-akarmu. Engkau lahir dari Sankalpa atau pikiran-pikiran egoistik. Aku tak akan memikirkan engkau. dan kau akan mati karenanya.”

6.5
uddhared ātmanātmānaḿ
nātmānam avasādayet
ātmaiva hy ātmano bandhur
ātmaiva ripur ātmanaḥ

 Sebaiknya seseorang mengangkat dirinya sendiri dengan Dirinya (Sang Atman), dan jangan sampai ia menjatuhkan dirinya. Karena sebenarnya, Dirinya adalah temannya sendiri, dan Dirinya juga adalah musuhnya sendiri.

Penjelasan: Angkatlah dirimu sendiri oleh Diri Mu (Sang Atman), bagaimana caranya? Dengan mengejar atau menjalani ajaran-ajaran spiritual seperti karma-yoga atau gnana-yoga atau bhakti-yoga. Jangan kau jatuhkan dirimu ke dalam nafasu-nafsu duniawi yang gelap. Sekali anda mau memperbaiki dan mengangkat diri sendiri, maka jalan ke arahNya akan terbuka lebar. Sang Atman yang bersemayam dalam diri kita ini dapat menjadi musuh atau pun teman dari ego kita sendiri. Sang Atman jadi sahabat kalau kita menjalin hubungan denganNya dan mengesampingkan semua nafsu-nafsu duniawi kita. Sang Atman yang universal sifatNya ini lalu menjadi sahabat, penuntun, penunjuk jalan dan guru kita (Adhi Guru). Tetapi kalau kita jauh dariNya, maka Sang Atman pun jadi “musuh” dan jauh dari kita. Tanpa tuntunan dan jauh dari kasih-sayangNya, kasih-sayang Sang Atman ini, maka apalah arti kehidupan ini.

6.6
bandhur ātmātmanas tasya
yenātmaivātmanā jitaḥ
anātmanas tu śatrutve
vartetātmaiva śatru-vat

 Diri (Sang Atman), adalah teman bagi seseorang yang dirinya (yang rendah) telah dikalahkan oleh Dirinya (yang Tinggi). Tetapi bagi diri yang belum terkendali, maka Sang Diri (Sang‘Atman) akan bertindak tidak ramah, ibarat seorang musuh.

Penjelasan:Yang disebut diri yang rendah adalah indra-indra dan pikiran kita. Seseorang yang berhasil menaklukkan semua ini telah mencapai tahap kesadaran-diri. Kalau diri kita sudah terkendali dengan baik dan menyatu dan bekerja sebagai alatnya Sang Atman, maka Sang Atman pun menjadi sahabat baik kita, menjadi sumber ilham, inspirasi, intuisi, dan guru kita secara spiritual (guru spiritual) dalam segala hal. Tetapi kalau diri kita tetap saja bersifat egois, sombong dan bertahan pada keinginan-keinginan duniawi, maka Sang Atman tidak akan menjadi sumber inspirasi atau penerangan hidup kita melainkan menimbulkan ketidak-harmonisan dalam diri kita, karena hati nurani akan selalu bertentangan dengan tindak-tanduk Yang tidak baik dan tidak mengikuti dharma atau kewajiban-kewajiban kita di dunia ini.

6.7
jitātmanaḥ praśāntasya
paramātmā samāhitaḥ
śītoṣṇa-sukha-duḥkheṣu
tathā mānāpamānayoḥ

Seseorang yang telah menguasai dirinya (yang rendah) dan telah mencapai ketenangan dalam mengendalikan dirinya, maka Sang Diri Yang Agung yang bersemayam di dalam dirinya akan bersemayam dengan penuh keseimbangan. Ia (orang ini) akan selalu merasa damai baik dalam panas maupun dingin, dalam kesenangan dan penderitaan, dan baik dihormati atau tidak dihormati.

Penjelasan: Orang yang telah dapat mengendalikan dirinya adalah orang yang tenang dan damai jiwanya dalam arti yang sesungg uh – sungguhnya la adalah orang yang sadar bahwa ia hanyalah alat bagiNya dan sebuah alat fungsinya adalah sama saja baik sewaktu dipakai maupun sedang tidak dipergunakan. Bagi suatu atau sebuah alat, panas dan dingin, dihormati atau tidak adalah sama saja, tidak lebih dan tidak kurang karena ia hanya sebuah alat.

6.8
jñāna-vijñāna-tṛptātmā
kūṭa-stho vijitendriyaḥ
yukta ity ucyate yogi
sama-loṣṭrāśma-kāñcanaḥ

 

Seorang yogi, yang jiwanya telah puas dengan kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan (gnana dan vignana) dan tidak terombang-ambing, yang indra indranya telah dikalahkan (terkendali), yang merasa bahwa segumpalan tanah-liat, sebuah batu dan sebongkah emas adalah sama saja nilainya, maka orang ini disebut yukta (seorang yang harmonis pengendalian yoganya).

Penjelasan: Gnana adalah pengetahuan tentang Nirguna, yaitu Yang Tak Terlihat, sedangkan vignana adalah pengetahuan tentang Saguna, yaitu Yang Terlihat. Seseorang yang telah sadar dan penuh dengan kedua ilmu pengetahuan ini (gnana dan vignana), merasa puas dengan kebenaran Sang Brahman sesuai dengan pengalamannya selama ini, sehingga ia tergoyahkan atau terombang-ambing oleh pengalaman ~ pengalaman duniawi yang nampak dan terasa sehari hari. Baginya tanah liat, batu ataupun emas itu sama saja nilainya. Ia sudah mencapai keharmonisan dalam hidupnya. Orang semacam ini disebut yukta.

6.9
suhṛn-mitrāry-udāsīna-
madhya-stha-dveṣya-bandhuṣu
sādhuṣv api ca pāpeṣu
sama-buddhir viśiṣyate

Seseorang yang memandang sama terhadap teman-temannya, sahabat sahabatnya dan terhadap musuh-musuhnya, terhadap orang-orang yang tak dikenalnya dan terhadap pihak-pihak yang netral, terhadap orang-orang asing dan sanak-saudaranya, terhadap orang-orang suci dan terhadap orang-orang yang berdosa orang ini telah mencapai kesempurnaan (kebaikan).

Penjelasan: Orang yang telah mencapai kesempurnaan melihat Satu Pencipta (Tuhan) di dalam setiap benda, mahluk dan manusia. Ia bebas secara total dari rasa diskriminasi karena ia sadar bahwa semua ciptaan Yang Maha Esa sebenarnya adalah alat-alatNya belaka.

6.10
yogī yuñjīta satatam
ātmānaḿ rahasi sthitaḥ
ekākī yata-cittātmā
nirāśīr aparigrahaḥ

 Sebaiknya seorang yogi duduk di suatu tempat yang tenang dan tersendiri. dan secara konstan mengkonsentrasikan pikirannya pada (Jati Dirinya Yang Agung). dan dengan mengendalikan dirinya, lepas dari segala nafsu dan ’rasa memiliki.

Penjelasan: Sang Krishna menerangkan sebagian teknik meditasi kepada Arjuna. Sebenarnya seluruh proses teknik meditasi tak dapat diterangkan dalam bentuk tulisan. Prosesnya berbeda dari satu orang ke orang lain dan sebaiknya dipelajari dari seorang guru yang bijaksana. Ibarat belajar melukis yang tidak dapat dipelajari begitu saja, maka yoga pun tak dapat dipelajari dari buku-buku meditasi saja.

Garis besar atau yang terpenting dalam metode meditasi haruslah disertai dengan kendali atas pikiran kita, sehingga setiap saat pikiran kita dapat diperintahkan untuk diam sesuai kehendak

atau tekad kita. Sangat baik kalau seseorang yang ingin belajar meditasi dapat melakukannya di tempat yang tersendiri dan lepas dari gangguan-gangguan suara dan sebagainya. Ia harus lepas dari pikiran-pikiran egois dan rasa memiliki harta-benda, keluarga dan hal-hal duniawi lainnya, juga ia harus lepas dari keinginan-keinginan indra-indranya. Ia harus secara konstan setiap harinya menyisihkan sejumlah waktu tertentu dan berusaha dengan tekad yang tulus untuk mengkosentrasikan diri dan pikirannya kepada Sang Atman, dan sebaiknya waktu yang disediakan untuk meditasi ini tidak terganggu oleh kesibukan-kesibukan lainnya, agar meditasi berjalan tanpa gangguan secara mental maupun secara psikis, juga tempat bermeditasi haruslah bersih dan tidak terganggu oleh suara, bau busuk dan gangguan nyamuk dan sebagainya.

6.11
śucau deśe pratiṣṭhāpya
sthirām āsanam ātmanaḥ
nāty-ucchritaḿ nāti-nīcaḿ
cailājina-kuśottaram

 Di tempat yang bersih sebaiknya ia duduk secara tetap, tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah, tertutup oleh rumput-rumput kusha, kulit menjangan dan kain, yang satu melapisi yang lainnya.

6.12
tatraikāgraḿ manaḥ kṛtvā
yata-cittendriya-kriyaḥ
upaviśyāsane yuñjyād
yogam ātma-viśuddhaye

 Di situ, duduk secara tegak di tempatnya, mengarahkan pikirannya pada suatu titik dan mengekang pikiran dan indra~indranya, sebaiknya ia berlatih yoga demi pembersihan jiwanya.

Penjelasan: Sang Krishna secara langsung mengajarkan teknik-teknik bermeditasi:

  1. Carilah suatu tempat bermeditasi yang baik dan bersih dari segala kotoran, dan juga hal-hal yang kurang baik. Suatu tempat dekat sungai, di gunung, di pura, di taman bahkan di dalam kamar pribadi yang resik dan tenang suasananya akan amat bermanfaat untuk bermeditasi, karena memberikan suasana yang tenteram dan nyaman dalam hati sanubari kita.
  2. Tempat duduk untuk bermeditasi ini boleh dibuat atau terdiri dari batu yang rata, atau sepotong papan yang rata, atau bantal dan apa saja yang cukup nyaman terlalu rendah, karena kalau terlalu tinggi bisa saja ia terjatuh kalau meditasinya memasuki trans atau tertidur sewaktu melakukan meditasi ini, dan kalau jatuh bisa-bisa melukai dirinya secara serius. Juga diusahakan tidak terlalu rendah agar tidak diganggu oleh serangga yang berbisa, atau nyamuk dan semut. Ini tentu saja berlaku untuk tempat di alam bebas atau di tempat-tempat yang banyak serangganya. Di dalam kamar pribadi yang tenang, sebenarnya semuanya dapat diatur dengan baik.
  3. Kusha adalah sejenis rumput. Kusha, kulit menjangan dan kain diperlukan pada zaman dahulu. Kusha diletakkan terbawah, kemudian di atas dilapisi dengan kulit menjangan, dan kemudian kain diletakkan teratas. Kalau menggunakan kulit harus diperhatikan bahwa kulit ini berasal dari seekor binatang yang meninggal dunia atau mati secara alami dan bukan terbunuh oleh manusia. Semua ini untuk memberikan rasa nyaman di masa-masa yang lalu. Sekarang ini dapat disesuaikan dengan keadaan yang panting sederhana dan jauh dari keperluan duniawi yang serba luks, dan cukup kalau sudah terasa nyaman dan baik. (Contoh: kain yang tebal dan hanya selembar pun sebenamya sudah cukup.)
  4. Pikiran harus tenang dan lepas dari nafsu, ego, dan keserakahan. Bermeditasi sebenarnya berarti masuk ke dalam keheningan diri kita sendiri.

6.13
samaḿ kāya-śiro-grīvaḿ
dhārayann acalaḿ sthiraḥ
samprekṣya nāsikāgraḿ svaḿ
diśaś cānavalokayan

Tegakkanlah tubuh, kepala, leher, dan pandangan dipusatkan pada ujung hidung, tanpa menoleh ke kanan atau ke kiri.

6.14
praśāntātmā vigata-bhīr
brahmacāri-vrate sthitaḥ
manaḥ saḿyamya mac-citto
yukta āsīta mat-paraḥ

 Tenang dan tanpa rasa takut, teguh dan jauh dari perasaan seksual (brahmacharya), dengan mengendalikan diri dan duduk secara harmonis. pikirannya terpusat padaKu dan mencariKu terus.

Penjelasan: Seseorang yang ingin bermeditasi kepadaNya harus duduk tegak, tanpa bergerak dan sebisa mungkin meluruskan kepala dan lehernya secara tegak dengan badannya, dan memusatkan pikirannya seakan-akan memandang ujung hidungnya. Tanpa menoleh ke manapun juga, tanpa rasa takut dan dengan hati yang tenang dan stabil lepas da segala macam pikiran harus memusatkan pikiran dan dirinya kepada Yang Maha Esa tanpa henti-hentinya.

Ia harus lepas dari pikiran seksual pada waktu bermeditasi. Bahkan untuk seorang yang ingin menjadi bramacharya ada kriteria-kriteria tertentu yang harus diikutinya. dan kriteria-kriteria ini telah digariskan oleh Manu (manusia yang pertama di bumi) seperti berikut ini:

Seorang Brahmacari (yang menganut ajaran tidak melakukan hubungan seksual) harus mandi untuk membersihkan dirinya, dan ini harus dilakukannya sccara konstan. Harus pantang memakai perhiasan dan tidak ikut-ikutan dansa-dansi dan pertunjukan musik yang penuh dengan hura-hura. Pantang berjudi dan harus belajar tidur di lantai dan tidak memandang ke arah wanita. Ia harus sederhana cara makannya dan tidak mengenakan baju-baju yang mewah seperti sutra atau kain-kain yang lembut dan halus yang berkesan mahal, dan selalu harus memuja Yang Maha Esa dan hormat kepada para resi dan berdedikasi kepada guru-gurunya. Ia harus pantang berdebat dan berdiskusi dengan siapa saja atau mencampuri urusan orang-orang lain. Ia juga harus selalu berbicara yang jujur dan tidak menghina siapapun. Ia harus menganut ajaran ahimsa (tidak merusak atau membunuh atau melukai siapa dan apapun dengan cara apapun juga). Ia harus mengendalikan dirinya sampai lenyap semua rasa nafsu, ‘amarah dan egonya. Ia harus menjaga agar spermanya tidak terpancar keluar, dan sebisa mungkin tidur seorang diri. Sperma yang terjaga baik di dalam badan seseorang akan menimbulkan sejenis aliran yang misterius di dalam tubuhnya dan cahaya dari aliran ini akan membuat prana dan pikiran orang tersebut itu menjadi stabil, dan akibatnya pikiran pun secara otomatis menjadi terarah dengan baik dan stabil ke arah Yang Maha Esa.

Obyek dan meditasi (dhyana-yoga) adalah meditasi kepadaNya (Yang Maha Pengasih) dan bertujuan mencapai kesatuan denganNya. Dalam melakukan meditasi seseorang harus secara teguh beraspirasi kepadaNya atau bisa-bisa (sering sekali ini terjadi) pikiran kita terbawa oleh ilusi yang aneh-aneh dan menyesatkan. Yang panting adalah menyatukan atau memfokuskan diri pada Sang Atman, “melihat Sang Atman melalui Sang Atman.” Pikiran harus terang, tetapi itu saja tidak cukup. Pikiran juga harus selalu dipusatkan kepadaNya. Dan pemusatan pikiran ini harus tulus dan bersih.

6.15
yuñjann evaḿ sadātmānaḿ
yogī niyata-mānasaḥ
śāntiḿ nirvāṇa-paramāḿ
mat-saḿsthām adhigacchati

 Sang Yogi ini akan selalu harmonis jiwanya, bersatu dengan Sang Atman, dengan pikiran yang terkendali, menuju ke Damai ke Nirvana atau Berkah Yang Agung yang ada di dalam DiriKu.

Penjelasan: Yang disebut Nirvana, atau Kedamaian, atau Berkah (Kebebasan) ini adalah pemberian atau karunia dari Yang Maha Esa untuk seorang yogi yang penuh dedikasi kepadaNya. Tidak ada kesatuan yang dapat dicapai dengan Yang Maha Esa tanpa ada tekad yang kuat dari sang jiwa itu sendiri, dan Yang Maha Kuasa akan datang menolong mereka yang mencariNya dan membawa mereka ke arah Nirvana ini (kedamaian yang suci). Maka seyogyanyalah seseorang terus menerus berusaha dengan kepasrahan total kepadaNya dan dengan penuh disiplin dan dedikasi kearahNya. Dan berkahNya akan turun dan menyatukan diri kita dengan DiriNya, dan kesatuan atau persatuan inilah yang disebut moksha (pembebasan).

6.16
nāty-aśnatas ‘tu yogo ‘sti
na caikāntam anaśnataḥ
na cāti-svapna-śīlasya
jāgrato naiva cārjuna

 Yoga ini sebenarnya bukan untuk seseorang yang makan terlalu banyak, dan juga bukan untuk seseorang yang terlalu menghindari makanan. Yoga ini pun bukan untuk seseorang yang tidur terlalu banyak atau yang tidak terlalu banyak tidur, oh Arjuna!

6.17
yuktāhāra-vihārasya
yukta-ceṣṭasya karmasu
yukta-svapnāvabodhasya
yogo bhavati duḥkha-hā

 Yoga ini menghapuskan semua penderitaan seseorang yang berimbang (temperamen) dalam cara ia makan dan berekreasi, yang terkendali tindakan tindakannya dan teratur bangun-tidurnya.

Penjelasan: Seseorang yang mempunyai kebiasaan bermeditasi harus ingat bahwa ia harus hidup secara teratur dan seimbang dalam segala tindak-tanduknya sehari-hari. Adalah salah kalau ia makan terlalu banyak, karena bukannya ia akan makin kuat karenanya tetapi malahan fungsi pemafasannya dalam meditasi akan menjadi kacau, dan bagi seorang bramacharya kelebihan gizi malahan akan merusak semua usahanya untuk mengekang hasrat-hasrat seksualnya. Terlalu banyak makan dan (atau) kekurangan makan selalu akan menghasilkan kekacauan dalam fungsi-fungsi tubuh kita dan hilanglah keharmonisan dalam raga dan usaha spiritual kita. Semua yang kita lakukan sebaiknya tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit, cukup-cukup sajalah, yang wajar-wajar dan tidak melebihi porsi maupun menguranginya secara drastis. Ini namanya harmonis dalam segala-galanya.

Makanan yang dimakan pun sebaiknya yang sesuai dengan kebutuhan tubuh kita dan cocok dengan pencernaan setiap individu secara masing-masing, tidak ada yang boleh dipaksakan ataupun memakan makanan yang sebenarnya tidak perlu untuk tubuh kita. Juga secara mental dan spiritual harus diperhatikan dengan amat sangat agar tidak memakan sesuatu hasil dari perbuatan tidak baik atau negatif. scperti hasil dari korupsi atau uang haram lainnya, tetapi betul-betul harus hasil keringat yang halal dan suci.

Puasa yang amat berkepanjangan harus dicegah, puasa itu perlu tetapi harus teratur dan tidak merusak tubuh kita, puasa yang teratur akan meningkatkan vitalitas dan tingkat spiritual jiwa dan raga kita. Begitupun dengan rekreasi, ini pun penting untuk kita asal yang sehat dan teratur, untuk pikiran, mental dan raga kita agar segar dan penuh dengan dinamika yang sehat. Rekreasi dalam bentuk olah-raga, perjalanan ke alam bebas seperti ke hutan, gunung, ke sungai dan lain sebagainya ini amat menyehatkan dan sangat menyegarkan tubuh dan pikiran kita, tetapi semua ini harus dilakukan secara teratur dan konstan, sehingga tidak merugikan diri kita maupun lingkungan kita dalam arti yang seluas-luasnya. Cara-cara kehidupan lainnya seperti berdagang, bekerja, berdoa, memuja Yang Maha Esa, berbuat amal, menolong yang harus ditolong, menghormati orang-tua dan yang pantas dihormati, dan lain sebagainya harus dilakukan dalam batas-batas kewajaran dan tidak berlebih-lebihan. Bangun-tidur pun harus diatur yang seimbang, tidur sebaiknya cukup enam jam saja, tetapi dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan usia seseorang. Seorang yang ingin tekun bermeditasi harus selalu jalan ditengah-tengah, maksudnya penuh disiplin dan seimbang dalam segala perbuatannya. Setiap aksi atau perbuatannya sebaiknya tidak berlebihan, terkendali dan wajar-wajar saja. Tidak usah terburu tetapi juga tidak lambat. Ia selalu stabil dan berimbang baik dalam bertutur-kata maupun dalam setiap pekerjaannya. Ia dengan demikian secara lambat-laun akan bebas dari segala penderitaan yang diakibatkan oleh perbuatannya sendiri yang terlalu banyak atau yang terlalu sedikit, dan juga oleh akibat-akibat dari perbuatan itu sendiri seperti rasa kurang puas, marah, kesukaran, ketakutan, keresahan dan banyak lainnya.

6.18
yadā viniyataḿ cittam
ātmany evāvatiṣṭhate
nispṛhaḥ sarva-kāmebhyo
yukta ity ucyate tadā

Sewaktu pikiran yang penuh disiplin dipusatkan pada Jati DiriNya (Sang Atman) sendiri (dan tidak pada hal-hal yang lainnya), bebas dari semua nafsu, maka disebutlah orang ini harmonis dalam yoganya.

Penjelasan : Inilah inti sari dari meditasi, seseorang yang menyerahkan dirinya secara total atau penuh kepada Sang Atman, maka ia akan mengenal Sang Atman secara lebih jelas, dan seperti yang kita ketahui dari Bhagavat Gita maka Sang Atman yang bersemayam di dalam diri kita ini merupakan saksi dari setiap tindakan kita, bahkan dari pikiran dan panca indera kita sendiri. Ia mengetahui semua kejujuran, kepalsuan dan kemunafikan kita, tidak ada yang terhindar dari penglihatanNya, maka dikatakan kalau kita bebas dari segala nafsu-nafsu kita, maka Sang Atman akan nampak lebih jelas dan terasa semua instruksi dan nasehat-nasehatnya untuk kita. Maka disebut. seseorang yang disiplin dengan meditasinya, dan puas dengan dirinya sendiri, dan Pikirannya tidak menerawang pada obyek-obyek indranya yang terdapat di luar dirinya sendiri, maka sekali ia mencapai kestabilan harmonislah meditasi atau Yoganya.

6.19
yathā dīpo nivāta-stho
neńgate sopamā smṛtā
yogino yata-cittasya
yuñjato yogam ātmanaḥ

 Seperti pelita yang terletak di suatu tempat yang tak berangin. tidak berkedip. begitulah juga seorang yogi yang telah mengendalikan pikirannya. bersatu dengan Sang Atman, Sang Jati Dirinya Sendiri.

Penjelasan: Lampu pelita tidak mungkin dapat bertahan dari terjangan angin kalau diletakkan di tempat yang bertiup banyak angin (atau tempat yang terbuka), begitupun pikiran dan hati kita tak akan mungkin stabil kalau setiap saat selalu diterjang oleh angin angin nafsu dan pikiran kita. Maka sebaiknya pelita ini diletakkan jauh dari nafsu nafsu ini agar tidak terganggu pancaran cahayanya. Seseorang yang ingin mantap dan stabil meditasinya harus menjauhi obyek-obyek nafsunya, dan mengendalikan dirinya sesuai dengan kebutuhan-kebutuhannya yang cukup saja, tidak lebih dan tidak kurang jangan mengumbar-umbar nafsu tanpa kendali dan hilang ditelan oleh gelombang-gclombang nafsu ini, yang sifatnya amat dahsyat dan menyesatkan, dan menggelapkan pikiran dan jiwa kita. Bangkitlah ke tingkat intelektual (buddhi) kita dan tinggalkan tingkat yang rendah di mana ego dan nafsu kita meraja-lela tanpa kendali. Dan sekali kita bekerja dengan intelektual kita yang penuh dengan ‘rasio,’ maka meditasi kita akan stabil dan tercapailah persatuan dengan Sang Atman.

6.20
yatroparamate cittaḿ
niruddhaḿ yoga-sevayā
yatra caivātmanātmānaḿ
paśyann ātmani tuṣyati

Sewaktu pikiran yang terkendaii oleh upaya-upaya konsentrasi menjadi stabil, sewaktu seseorang melihat (sadar akan) Dirinya oleh dirinya dan merasa bahagia dengan Dirinya

6.21
sukham ātyantikaḿ yat tad
buddhi-grāhyam atīndriyam
vetti yatra na caivāyaḿ
sthitaś calati tattvataḥ

Sewaktu ia menemukan’kebahagiaan Nan Agung (tak ada taranya) kebahagiaan yang dapat terjangkau oleh buddhi (intelektual) tetapi jauh dari indra-indra sekali tercapai tahap ini. maka seseorang tak akan pergi jauh dari kebenaran ini.

6.22
yaḿ labdhvā cāparaḿ lābhaḿ
manyate nādhikaḿ tataḥ
yasmin sthito na duḥkhena
guruṇāpi vicālyate

 Dan setelah mendapatkan sesuatu yang begitu besar labanya itu, ia berpikir tak ada hal-hal lain yang lebih menguntungkan dari hal tersebut, dan sekali ia merasa mantap, ia tak tergoyahkan oleh kepedihan yang amat sangat sekalipun.

6.23
taḿ vidyād duḥkha-saḿyoga-
viyogaḿ yoga-saḿjñitam

 Dan hal itu disebut yoga, yang memutuskan hubungan dengan kedukaan (penderitaan). Yoga ini harus ditekuni sepenuh hati dan tanpa henti-hentinya (dengan hati yang tak tergoyahkan).

Penjelasan: Melalui meditasi yang berkesinambungan, pikiran akhirnya akan dapat dikendalikan dan teguh tertanam dalam hadirat Yang Maha Esa semata. Sang yogi yang sudah mcncapai tahap seperti ini kemudian tinggal di dunia ini tanpa terpengaruh oleh hal-hal duniawi untuk selama-lamanya. Yang dimilikinya hanyalah satu. yaitu kcbahagiaan yang sadar akan ke Maha EsaanNya. Ia tak memerlukan bentuk-bentuk kebahagiaan duniawi lainnya, baginya Yang Maha Esa adalah semuanya. Kebahagian semacam ini sukar dan tak dapat diterangkan atau berada luar jangkauan indra-indra kita, karena hanya dapat dihubungkan oleh buddhi kita yang telah bersih dan jemih, dan sifatnya ini amat abadi, suci, nyata, dan agung.

Seorang yogi yang telah mencapai kebahagiaan ini akan berpikir bahwa tidak ada keuntungan atau laba yang lebih tinggi nilainya daripada kebahagiaan ini di dunia. Baginya semua bentuk kekayaan duniawi seperti harta, kedudukan, kekuasaan, kehormatan, kebanggaan atau keterkenalan dan lain sebagainya adalah bersifat hanya sementara saja, jauh, tak menentu dan sia-sia saja untuk dipertahankan .. atau dianggap milik pribadi. Bahkan kebahagiaan di svarga-loka pun dianggapnya tidak ada gunanya sama sekali.

Dalam keadaan menderita sekalipun ia tegar seakan batu-karang. Badannya : boleh hancur tetapi jiwanya tak tergoyahkan. Halilintar, panas, hujan dan dingin boleh menyentuh dan merusak raganya, tetapi jiwanya tak akan tersentuh sedikitpun. Kehinaan dan penderitaan bisa saja menyerang dirinya tetapi jiwanya tak akan terganggu atau terusik, rasa damai di dalam jiwanya akan berjalan terus, karena yogi ini telah bangkit jauh dari tubuhnya, dari raga duniawinya. Di dunia ini ia dianggap memiliki raga, tetapi sebenarnya bagi ia sendiri raga itu telah mati dan bersifat spiritual karena digunakannya untuk tujuan-tujuan bersatu denganNya. Tak ada seorangpun atau kekuatan apapun yang dapat mendominasinya, karena ia telah tegar di dalam Yang Maha Esa dan bekerja di dunia ini dalam kehidupan yang bersifat abadi, yaitu semata-mata untuk Yang Maha Esa.

Keadaan semacam ini -yang disebut kebebasan dari semua penderitaan adalah yoga yang sejati, yang merupakan kesadaran akan Yang Maha Kuasa secara nyata. Tetapi kondisi yoga semacam ini tidak mudah dicapai, harus dilalui dengan praktek praktek nyata yang tegar dan tanpa mudah putus asa, atau dengan kata lain tanpa henti-hentinya.

Seorang pemula biasanya selalu patah-semangat kalau tidak langsung melihat hasil meditasinya, dan setelah beberapa hari, beberapa minggu, atau pun beberapa bulan yang penuh meditasi dan disiplin yang ketat ia tak melihat sesuatu hasil, maka ia akan ragu-ragu dan mulai berpikir: “Derita disiplin ini sudah terlalu banyak bagiku, tak kulihat suatu akhir (hasil) dari usaha-usahaku ini. Aku jadi ragu apakah disiplin ini akan menghasilkan sesuatu?” Dan bisa saja pemula itu patah semangat di tengah jalan. Maka sebaiknyalah meditasi dan disiplin yang ketat dihayati, diyakini dan dicintai, dan jangan sekali-kali ada perasaan kalah untuk seorang pemula, sebab jalannya memang panjang dan harus selalu yakin akan petuah-petuah gurunya bahwa akhir jalan memang menghasilkan sesuatu yang menakjubkan. ntuk itu buktinya adalah sang guru atau orang-orang suci lainnya. Suatu hari lambat atau cepat IA Pasti akan mencapai tujuannya, yaitu Yang Maha Esa.

6.24
sa niścayena yoktavyo
yogo ‘nirviṇṇa-cetasā
sańkalpa-prabhavān kāmāḿs
tyaktvā sarvān aśeṣataḥ
manasāivendriya-grāmaḿ
viniyamya samantataḥ

 Menanggalkan semua nafsu (keinginan-keinginan) yang lahir dari sankalpa (tekad atau imajinasi yang penuh dengan keserakahan), mengendalikan semua indra-indranya dari semua segi dengan pikirannya;

6.25
śanaiḥ śanair uparamed
buddhyā dhṛti-gṛhītayā
ātma-saḿsthaḿ manaḥ kṛtvā
na kiñcid api cintayet

 Sedikit demi sedikit, ia mencapai ketenangan dengan bantuan buddhinya yang dikendalikan oleh ketegarannya dan memusatkan pikirannya pada Jati Dirinya, janganlah ia berpikir akan hal-hal yang lainnya.

Penjelasan: Dalam dua sloka di atas terlihat inti sari ajaran Sang Krishna mengenai Sadhana (disiplin) untuk yoga ini:

  1. Menanggalkan semua bentuk nafsu dan keinginan, karena semua ini lahir dari sankalpa dan membuat atau pikiran tidak tenang. Dengan menanggalkan nafsu nafsu ini, kita diajak untuk bertenang-diri.
  2. Pengendalian atau penghentian keinginan-keinginan indra adalah tahap yang berikutnya. Dengan tekad kita, maka pikiran kita harus dicoba untuk menguasai indra-indra kita dari setiap sisi dan sudut.
  3. Dan setelah gelombang-gelombang nafsu atau keinginan kita sudah mereda, maka dengan bantuan buddhi kendalikan lagi gelombang-gelombang ini dengan ketegaran intelektual kita. Dengan kata lain belajar untuk menghilangkan rasa takut. Karena mereka yang telah berhasil mengendalikan indra-indra mereka akan diseran g oleh rasa takut seperti “pikiranku terkendali, dapatkah aku berpikir dengan baik sekarang?”; “indra-indraku terkendali, dapat kah aku bekerja atau berfungsi dengan baik?”; dan lain sebagainya. Semua rasa takut itu akan hilang kalau seorang guru yang baik dan bijaksana ada di sisi anda dan selalu memberikan semangat, wejangan dan berkahnya tanpa bosan-bosannya. Dan di atas semua guru-guru di dunia ini siapa lagi yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui kalau bukan Sang Atman, Sang Adhi Guru sendiri yang bersemayam dalam diri kita ini.
  4. Pikiran kita (mana) harus selalu bersandar pada Sang Atman. Jangan lupa bahwa obyek meditasi adalah Yang Maha Esa, dan sekali duduk bermeditasi kendalikan pikiran-pikiran yang selalu terbang ke obyek-obyek yang lain. Tariklah pikiran yang lari ini ke obyek utama yang semula, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Caranya jadikanlah pikiran itu bersifat menerima dengan sadar kehadiran Yang Maha Esa dalam segala aspek kehidupan kita, dan disiplin ini penting sekali untuk tujuan spiritual. Sekalipun telah tercapai stabilitas dalam pikiran kita bisa saja, pikiran ini melayang lagi ke arah yang lainnya, jadi selalulah berlatih tanpa bosan dan henti, dan dedikasi dan iman yang kuat. Kuasailah sang pikiran ini dan bawalah ia kembali ke jalan Yang Maha Esa.inilah seninya meditasi.
  5. Seorang yogi harus bertindak seperti seorang polisi, dan sang pikiran diibaratkan seperti seorang pelarian. Maka, pekerjaan seorang polisi haruslah selalu mengejar para pelarian ini dan mengembalikan mereka ke jalan yang benar, dan sudah tugas seorang polisi untuk dengan tanpa bosan-bosannya bekerja seumur hidup menangkap para pelarian ini. Ketekunan semacam ini disebut abhyasa dan merupakan suatu tindakan yang amat positif dalam meditasi. Tangkaplah selalu pikiran-pikiranmu dan giringlah mereka ini ke jalan yang satu itu, yaitu jalan ke Jati Diri kita sendiri (Sang Atman). Dengan kata lain abhyasa berarti, “giringlah kembali pikiran itu dari pengembaraannya dan tunjukkanlah jalan ke Sang Atman.”

Abhyasa ini seharusnya dilakukan setiap hari, dan bukan soal satu atau dua jam meditasi yang penting saja, tetapi kesadaran dan pengendalian diri yang dicapai dalam meditasi ini seharusnya terlaksana juga sepanjang hari dalam segala tindak tanduk kita seharian itu, bahkan pada waktu tidur sekalipun. Jagalah baik-baik dan kendalikan diri dan pikiran kita, sehari-hari sama seperti waktu kita mengendalikan pikiran kita sewaktu bermeditasi. Jangan sampai kontrol diri kita lepas, karena lima menit saja kita marah atau kehilangan kesabaran karena sesuatu hal, maka sia sialah satu atau dua jam meditasi kita. Jadi siaga dan siaplah selalu; dengan penuh ketekunan dan dedikasi sadarlah bahwa meditasi itu ibarat sebuah gunung yang tinggi dan penuh dengan tanjakan dan halangan-halangan yang berat dan ibarat sebuah pendakian maka jalan itu masih jauh dan puncaknya sukar untuk ditaklukkan.Tetapi seseorang yang penuh dengan dedikasi dan iman pasti akan mencapainya, karena hukum alam (kosmos) akan berlaku di dalam dunia spiritual ini, yang selalu mendorong usaha seseorang ke tujuanNya, sekali hal itu telah ditetapkan oleh yang bersangkutan. Tak ada usaha yang sia-sia kalau dilakukan demi Yang Maha Kuasa, percayalah dan yakinlah akan hal ini! Yang diperlukan adalah kesabaran yang penuh dcngan iman dan dedikasi!

6.26
yato yato niścalati
manaś cañcalam asthirām
tatas tato niyamyaitad
ātmany eva vaśaḿ nayet

 Semakin sering pikiran yang tidak stabil dan gemar mengembara ini lari jauh, semakin sering jugalah seseorang seharusnya menahan dan menariknya kembali ke arah Jati Dirinya (Sang Atman).

Penjelasan: Tentu saja usaha menarik kembali pikiran kita yang gemar lari kesana-kemari mencari obyek-obyek indranya adalah usaha yang amat sulit dan memerlukan tekad yang amat kuat. Sering sekali seseorang merasa amat letih dan sia-sia saja dan lebih baik menyerah saja. Dan sedikit saja kita lengah dan kalah sang pikiran ini sudah mengatur siasat baru dan bingunglah orang yang sedang berusaha ini. Dan pada saat itulah kita harus berteriak minta tolong pada Sang Adhi Guru, Sang Atman agar dikaruniakan rahmat dan karuniaNya, dan dengan jalan ini seseorang ini akan kembali lagi ke arah dhyana-yoga.

  1. 27
    praśānta-manasāḿ hy enaḿ
    yoginaḿ sukham uttamam
    upaiti śānta-rājā saḿ
    brahma-bhūtam akalmaṣam

Kebahagiaan yang tertinggi (suci dan agung) datang pada seorang yogi yang pikirannya damai. yang nafsu-nafsunya tenang, dan yang telah lepas dari dosa dan telah bersatu dengan Yang Maha Esa.

6.28
yuñjann evaḿ sadātmānaḿ
yogī vigata-kalmaṣaḥ
sukhena brahma-saḿsparśam
atyantaḿ sukham aśnute

 Yogi semacam ini, yang selalu harmonis dengan dirinya, telah menjauhi dosa, dengan mudah ia merasakan Rahmat dan Karunia abadi yang dihasilkan oleh hubungannya dengan Ilahi (Yang Maha Abadi).

Penjelasan : Berbahagialah seorang yogi yang telah mencapai tahap ini, setelah bergulat dengan hidup ini selama bertahun-tahun, bahkan mungkin melalui berbagai kehidupan di masa-masa yang silam, kemudian ia menyatu dengan Yang Maha Esa pada suatu hari dan Bhagavat Gita menyebut hal ini dengan nama brahmasamsparsham, yaitu kontak dengan Ilahi. Baginya Tuhan itu bukan suatu hal yang tak nampak dan abstrak, tetapi baginya tuhan itu adalah suatu kontak yang nyata dan itu berarti sang yogi telah sampai ke suatu titik di mana waktu sudah tidak berarti lagi. Sinar Ilahi telah mekar di dalam dirinya, dan jiwanya telah menyatu dengan kenikmatan Ilahi yang tiada taranya. Di dalam agama Islam salah satu nama Yang Maha Kuasa adalah Azh Zhaahir (Yang Maha Nyata), di dalam keterangan di bawah nama tersebut kami temukan catatan seperti berikut: “Allah SWT‘Nyata Kebenaran, Perbuatan dan Ada-Nya bagi orang-orang yang berakal yang mau merenungkan ciptaan-ciptaanNya.”

6.29
sarva-bhūta-stham ātmānaḿ
sarva-bhūtāni cātmani
īkṣate yoga-yuktātmā
sarvatra sama-darśanaḥ

 Dirinya telah harmonis dalam yoga, ia melihat satu Jati Diri bersemayam dalam semua mahluk dan semua mahluk dalam satu Jati Diri, di mana pun ia melihat yang sama (Satu Jati Diri . . . yang ada dan hadir semenjak masa silam).

Penjelasan:  Ada tiga faktor utama dalam evolusi manusia yang sedang menuju ke arah jalan spiritual:

  1. Sewaktu seseorang mulai berhasrat memasuki hal-hal kebatinan dan mulai mcnyelami dirinya sendiri. Dan setelah beberapa waktu kemudian ia sadar akan hadirnya Sang Atman yang berdiri dan abadi sifatnya.
  2. Dalam tahap kedua ini orang tersebut sadar bahwa Sang Atman tidak saja hadir dalam dirinya sendiri, tetapi juga bersemayam sccara sama rata pada mahluk mahluk lainnya sama halnya seperti dalam dirinya scndiri. Dengan kata lain ia sadar bahwa Sang Atman (Yang Maha Esa atau Sang Krishna) hadir di mana saja dan kapan saja.
  3. Seperti disebut di sloka 29 di atas, maka orang ini sadar bahwa Yang Maha Esa itu adalah Inti dari setiap mahluk dan benda di alam semesta ini. Dengan kata lain Yang Maha Esa (Sang Atman dalam hal ini) hadir dalam setiap jiwa dan benda dan semua itu sebaliknya juga hadir dan ada di dalam Yang Maha Esa.

Tahap kesadaran ini kalau dicapai seseorang secara benar dan tulus, maka ibaratnya adalah seperti baru saja sadar dari suatu mimpi. Ia tiba-tiba sadar bahwa matahari, rembulan, planet bumi, bintang-bintang, siang dan malam, waktu, langit, udara, indra-indra, buddhi, dan lain sebagainya, hanyalah hasil pekerjaan Yang Maha Pencipta. Hanya ialah satu-satuNya Yang Menguasai dan Mengendalikan semua ini sesuai kehendakNya, dariNya dan untukNya semata.

Seseorang yang telah sadar ini akan selalu mendoakan kesejahteraan orang lain dan ia selalu berhasrat untuk membahagiakan orang lain seperti kebahagiaan yang ia dapatkan dari Yang Maha Kuasa untuk dirinya sendiri. Seorang yang berorientasi pada hal-hal keduniawian selalu memuaskan indra-indranya. Berbeda dengan ini, maka seseorang yang telah mencapai samadhrishti (kesadaran) ini sadar bahwa kebahagiaannya tak mungkin tercapai dengan penderitaan pada orang lain.

Tetapi mengapa ajaran Bhagavat Gita yang sederhana ini sukar untuk diikuti atau dipraktekkan? Karena umumnya kita manusia selalu menganut prinsip bahwa ‘ “semua ini milikku,” dan tak mau menganut prinsip bahwa “semua ini bukan milikku” dan bahwa “Satu adalah semua ini dan semua ini adalah Satu.” Dengan membeda bedakan antara “milikku” dan “milik orang lain.” maka Arjuna pun masuk dan terhunjam ke depresi yang maha dahsyat, begitupun kita manusia ini dalam hidup kita sehari-hari. Dan selama hidup kita masih terombang-ambing tanpa kendali, selama itu pula manusia akan merupakan sumber tragedi bagi dirinya sendiri dan juga lingkungannya. Dan untuk menyembuhkan penyakit ini Bhagavat Gita mengajarkan “kekanglah pikiranmu, kendalikanlah pikiranmu, stabilkanlah pikiranmu, pusatkanlah pikiranmu pada Sang Atman! Sadarlah dan lihatlah Sang Atman yang hadir pada setiap mahluk!” Obat dari penyakit manusia ini di mana saja adalah sama, yaitu samadrishti (kesadaran).

6.30
yo māḿ paśyati sarvatra
sarvaḿ ca mayi paśyati
tasyāhaḿ na praṇaśyāmi
sa ca me na praṇaśyati

. Seseorang yang melihatKu di mana pun juga dan melihat setiap hal dalam DiriKu, maka orang itu tak pernah hilang dari DiriKu dan Aku tak pernah hilang darinya.

Penjelasan: Bagi seorang yang telah sadar, setiap mahluk baginya adalah baju atau manifestasi yang beraneka-ragam dari Yang Maha Esa itu sendiri. Semuanya di alam semesta ini tanpa kecuali adalah Ia dan kebesaranNya semata. Sang yogi ini tak sekejab pun akan kehilangan kontak dengan DiriNya, ia selalu dituntun olehNya. Yang Maha Kuasa tak akan hilang sekejab pun dari pandangan, perasaan, pikran Sang Yogi ini. la adalah selalu hadir di dalam dirinya setiap saat, setiap detik. Begitulah besar kasih-sayang “Tuhan kepada diri kita ini sebenarnya, dan semua kebutuhan kita dicukupiNya dengan caraNya sendiri, tanpa perlu kita memintanya lagi. 0m Tat Sat.

6.31
sarva-bhūta-sthitaḿ yo māḿ
bhajaty ekatvām āsthitaḥ
sarvathā vartamāno ‘pi
sa yogī mayi vartate

. Seorang yogi, yang telah tercipta kesatuannya, memujaKu sebagai yang berada dalam setiap ciptaan, ia hidup di dalamKu, betapapun aktifnya ia (bekerja).

Penjelasan: Di manapun ia berada dan apapun jenis pekerjaannya, sang yogi ini telah bersatu dengan Yang Maha Esa dalam segala tindak-tanduknya. Apapun yang nampak dari luar tentang diri

dan pekerjaan maupun kesibukannya tidaklah penting, yang terutama adalah kesatuan yang telah terjalin antara orang ini dengan Sang Penciptanya. Di dalam dirinya telah tumbuh kasih sayang Ilahi yang tanpa batas. Musuh boleh menghina dan menghujam dirinya, sahabat boleh menyanjung dan tersenyum kepadanya, tetapi baginya semua itu adalah tidak lain dan tidak bukan variasi-variasi dari Sang Pencipta yang bersemayam dalam semua bentuk-bentuk ciptaanNya sendiri. Ia melihatNya di mana-mana tanpa kecuali, dan tanpa diskriminasi. Bagi yogi semacam ini pemujaan kepada Yang Maha Esa bukan dalam bentuk upacara upacara atau mantra-mantra suci, tetapi pengorbanan yang tulus dan suci demi dan untuk Yang Maha Esa semata-mata adalah dengan bekerja tanpa pamrih.

6.32
ātmaupamyena sarvatra
samaḿ paśyati yo ‘rjuna
sukhaḿ vā yadi vā duḥkhaḿ
sa yogī paramo mataḥ

 Seorang yogi yang sempurna adalah seseorang yang melihat dengan pendangan yang sama semua benda dan mahluk, seperti terhadap dirinya sendiri, baik dalam suka dan duka. (Contoh: suka dan dukanya mahluk lain juga terasa olehnya sebagai suka dan dukanya).

Penjelasan: Seorang yang telah mencapai tingkat tertinggi selalu akan sedih dan senang setiap ia menjumpai kesedihan atau kesenangan orang lain, bahkan mahluk lain sekalipun, karena ia merasa sebagai satu kesatuan dengan alam semesta ini beserta segala isinya. Dan bagaimana mungkin orang semacam ini melukai atau membunuh tubuh mahluk lain, toh ia mcrasakan semua suka dan duka mahluk lainnya ia merasakan persaudaraan universal di antara sesama mahluk ciptaan Yang Maha Esa.

Berkatalah Arjuna:

6. 33
Arjuna uvāca
yo ‘yaḿ yogas tvayā proktāḥ
sāmyena madhusūdana
etasyāhaḿ na paśyāmi
cañcalatvāt sthitiḿ sthirām


Yoga untuk menenangkan pikiran yang telah Dikau terangkan ini, oh Krishna. di dalamnya tak terlihat fondasi yang stabil, karena pikiran itu penuh dengan keresahan (dan tak menentu).

6.34
cañcalaḿ hi manaḥ kṛṣṇa
pramāthi balavad dṛḍham
tasyāhaḿ nigrahaḿ manye
vāyor iva su-duṣkaram

 Karena pikiran itu sangat mudah berubah-ubah, oh Krishna! Pikiran itu liar, kuat dan keras-kepala. Ku kira pikiran itu sukar dikendalikan ibarat mengendalikan angin.

“Bersabdalah Yang Maha Pengasih:

6.35

śrī-bhagavān uvāca
asaḿśayaḿ mahā-bāho
mano durnigrahaḿ calam
abhyāsena tu kaunteya
vairāgyeṇa ca gṛhyate


Tentu saja, oh Arjuna, pikiran itu sukar untuk dikendalikan dan memang pikiran itu resah sifatnya. Tetapi dengan usaha yang terus-menerus (abhyasa) dan dengan menjauhi godaan-godaan (vairagya) maka pikiran itu dapat dikendalikan.

Penjelasan: Abhyasa, yaitu secara tekun dan terus-menerus berusaha mengendalikan pikiran ke arah yang positif dan tidak ikut-ikutan dengan pikiran-pikiran negatif yang selalu bcrusaha secara licik menjerumuskan kita ke arah yang lain. Abhyasa juga berarti secara berulang-ulang menguatkan diri dengan membaca mantra-mantra suci, mendengarkan dan bergaul dengan para rohaniwan dan orang-orang suci seperti para guru, pendeta, resi dan sebagainya. Juga berarti untuk selalu mempelajari buku-buku dan hal-hal yang bersifat rohani, selalu berdoa dengan tulus dan memanggil namaNya dengan hati yang bersih dan tanpa pamrih sehingga air-mata kita turun tanpa terasa.

Vairagya, melepaskan ikatan-ikatan kita dengan nafsu, indra dan sifat-sifat duniawi kita yang selalu berada dalam cengkeraman sang prakriti dan guna. Dengan selalu melakukan abhyasa secara tekun, maka secara tahap demi tahap segala godaan akan teratasi dan seseorang akan sadar bahwa hal-hal duniawi ini hanya sementara saja-sifatnya dan merupakan pentas penderitaan yang tak kunjung habis-habisnya.

6.36
asaḿyatātmanā yogo
duṣprāpa iti me matiḥ
vaśyātmanā tu yatatā
śakyo ‘vāptum upāyataḥ

Yoga ini sukar tercapai oleh ia yang tak dapat mengendalikan dirinya. Tetapi seseorang yang berjuang dengan jalan yang benar dan penuh kendali diri akan mencapainya. Itulah keputusan Ku.

Penjelasan : Yang Maha Pengasih, Sang Krishna menegaskan di sini bahwa walaupun yoga ini sukar untuk dicapai oleh mereka yang dirinya kurang disiplin, tetapi bagi yang mampu mengendalikan dirinya dengan baik, maka jalan ini tidaklah sukar. dan itu ‘ sudah menjadi keputusanNya yang tidak dapat diganggu-gugat lagi. Ada beberapa cara sadhana (metode-metode disiplin) lagi yang harus diikuti oleh mereka yang telah belajar mengendalikan diri mereka, seperti berikut ini:

  1. Lepaskanlah atau jauhilah semua obyek-obyek kesenangan duniawi, lepaskan juga keinginan-keinginan untuk obyek-obyek ini.
  2. Pusatkan pikiranmu selalu ke arah Yang Maha Esa.
  3. Yakinlah bahwa hanya Satu Tuhan yang memenuhi kita dan alam semesta ini beserta seluruh isinya. Yakinilah bahwa jiwa kita, semua benda dan mahluk di alam semesta ini tersambung dalam satu untaian kesatuan Ilahi yang nyata.
  4. Selalu menyadarkan diri bahwa setiap tindakan diri kita, atau aktivitas pikiran dan indra-indra kita adalah bukan perbuatan Diri kita, tetapi diri kita yang dilakukan oleh guna (sifat-sifat alami), Diri kita sendiri bertindak sebagai saksi.
  5. Tanamkanlah pada diri kita bahwa semua tindakan pikiran dan obyek sifatnya hanya sementara dan selalu tidak abadi. Yang Abadi hanya Yang Maha Esa dan Ia bersemayam dalam diri kita sendiri. Yesus pernah berkata, “Kerajaan Sorga itu ada di dalam dirimu.”
  6. Pilihlah salah satu manifestasi Yang Maha Kuasa dan berkonsentrasilah dengan penuh kepadaNya secara mental. Bagi seorang Hindu misalnya pada Sang Krishna atau Sang Rama atau pada Shiva, Vishnu, Ganesha dan sebagainya. Bagi yang beragama Buddha pada Sang Buddha, dan bagi yang menganut agama Iain masing-masing pada obyek yang seharusnya diperbolehkan oleh agama agama tersebut. Kemudian selalulah berpikir bahwa Yang Maha Kuasa dalam manifestasi yang dipilih ini, selalu hadir sifatNya. Hormatilah Ia dan pujalah Ia dengan cara kita masing-masing sesuai dengan aturan dan hati nurani. Bagi seorang Hindu misalnya memuja dengan mempersembahkan secara tulus kasih sayang kepada sesamanya, mempersembahkan sekuntum bunga atau sehelai daun, atau apa saja yang tulus dan bermanfaat bagi sesamanya dan Yang Maha Esa dalam tindak-tanduk setiap hari.
  7. Adalah perlu dihayati bahwa semua tindakan ini selalu harus bersifat tulus dan murni, dan selalu menjadi kebiasaan dan kenyataan dalam kehidupan kita sehari hari, dan tanpa pamrih. Jangan sekali-kali melakukannya demi kepentingan pribadi sekecil apapun kepentingan itu. Dalam setiap sukses maupun kegagalan selalulah bersifat tcnang tanpa tcrusikjiwanya, dan selalulah berpedoman bahwa kita ini hanya alat belaka ditanguanNya dan setiap tindakan dan pengorbanan kepada semuanya adalah atas kehendakNya sesuai dengan yang Ia kehendaki!

Berkatalah Arjuna:

6.37
Arjuna uvāca
ayatiḥ śraddhayopeto
yogāc calita-mānasaḥ
aprāpya yoga-saḿsiddhiḿ
kāḿ gatiḿ kṛṣṇa gacchati

 Seorang yang dirinya tak dapat dikendalikan, tetapi memiliki shraddha (kepercayaan), yang pikirannya pergi jauh dari yoga dan tak dapat mencapai kesempurnaan yoganya. ke arah manakah ia akan pergi. oh Krishna?

Penjelasan: Pertanyaan Arjuna ini singkat tetapi sangat bermakna. Bukankah itu sebenarnya masaliah kita semua juga, yang sering penuh dengan kepercayaan pada Yang Maha Kuasa, tetapi sering tindak-tanduk kita tak sehat dan tidak terkendali, dan ini berlangsung sampai kita mati suatu saat. Sering pikiran kita menerawang ke soal soal duniawi tanpa kendali padahal pada waktu yang bersamaan kita yakin akan kekuasaan Yang Maha Esa. Lalu ke mana ia akan pcrgi kalau ia mati dalalm perjalanan hidupnya, padahal keyakinanNya pada Yang Maha Esa belum sempuma dan ia masih jauh dari kebijaksanaan spiritual? Bagaimana nasibnya selanjutnya? Pertanyaan-pertanyaan ini amat menarik untuk dipclajari!

6.38
kaccin nobhaya-vibhraṣṭaś
chinnābhram iva naśyati
apratiṣṭho mahā-bāho
vimūḍho brahmaṇaḥ pathi

 Bukankah ia lalu binasa ibarat segumpalan awan yang terpecah-pecah, oh Krishna, kehilangan kedua-duanya, tidak tegar dan kacau jalannya dari Yang Maha Esa.

6.39
etan me saḿśayaḿ kṛṣṇa
chettum arhasy aśeṣataḥ
tvad-anyaḥ saḿśayasyāsya
chettā na hy upapadyate

 Oh Krishna, hilangkanlah secara tuntas keragu-raguanku ini, karena tiada seorangpun yang dapat kucari selain Dikau, yang dapat menghancurkan keragu-raguan ini.

Penjelasan: “Kehilangan kedua-duanya” yang dimaksud Arjuna, bukankah orang semacam itu akan kehilangan dua kesempatan yang amat baik, yaitu kehidupan ini dan kemudian juga

Kchidupan yang abadi, yaitu kesatuan dengan Yang Maha Esa. Pertanyaan Arjuna amat wajar dan merupakan pertanyaan kita semua. Bagaimana ‘ nasib seseorang yang sedang berusaha ke arahNya, dan belum apa-apa sudah mati di tengah jalan, karena memang pendek umurnya atau karena musibah-musibah tertentu. Bukan kah ia lalu ibarat segumpalan awan yang terpecah-pecah tertiup angin, lalu bagaimana nasib selanjutnya dari orang ini? Contoh lain seseorang selama ini ia merasa bekerja tanpa pamrih demi Yang Maha Esa, tetapi pada saat saat kematiannya karena sesuatu dan lain hal maka ia menjadi lemah mentalnya dan terikat pada ikatan-ikatan duniawinya, apakah yang akan terjadi padanya?

Bersabdalah Yang Maha Pengasih:

6.40
śrī-bhagavān uvāca
pārtha naiveha nāmutra
vināśas tasya vidyāte
na hi kalyāṇa-kṛt kaścid
durgatiḿ tāta gacchati

 Oh Arjuna, orang semacam itu tak akan hancur baik di dalam hidup ini maupun di dalam kehidupan yang akan datang; karena seseorang yang bekerja demi kebenaran tak akan mengarah ke jalan penderitaan.

Penjelasan: Sang Krishna menegaskan bahwa seseorang yoga-bhrista (yang mengamalkan yoga atau yang belajar yoga ini) tak akan pernah menuju ke arah yang salah (jalan penderitaan) selama ia bekerja demi dharma (kebenaran demi Yang Maha Esa). Jadi janganlah khawatir karena Yang Maha Esa itu bukanlah seorang Tiran, scbaliknya Ia adalah Maha Pengasih dan Penyayang, dan Ia selalu tahu akan kclemahan. Kelemahan manusia yang IA ciptakan ini; selamanya Ia akan selalu mengarahkan kita ke arah yang benar. Inilah salah satu inti ajaran Bhagavat Gita yang amat penting, bahwa Yang Maha Esa tidak pernah membiarkan pemujaNya atau ciptaan ciptaanNya terjerumus ke lembah dosa secara terus-menerus dan selalu mendorong kita semua dan para mahluk-mahluk lainnya ke arahNya Sendiri.. Pesan-pesan Bhagavat Gita adalah pesan-pesan’yang penuh dengan harapan dan cinta-kasih antara Yang Maha Esa dan kita semuanya. Langkah demi langkah, tetapi pasti seseorang akan diangkatnya dari dosa dan dituntun ke arahNya, jadi selalu berimanlah kepadaNya di kala suka dan duka, selalu bekerja demi Yang Maha Esa dalam segala aspek kehidupan kita. Bergaullah selalu dengan orang-orang yang dianggap suci agar selalu mendapatkan petunjuk-petunjuk ke arahNya. Penting sekali untuk tidak melupakan kehadiranNya setiap saat dalam kehidupan kita.

Apapun cobaan-cobaan yang kita hadapi, kegagalan-kegagalan yang kita rasakan dan jatuh-bangun yang kita alami, jangan sekali-kali kita lupa bahwa yang kita tuju adalah persatuan dengan Yang Maha Esa. Sering sekali terjadi dalam segala kebenaran dan kebaikan yang kita lakukan, bahkan sesudah memujaNya dengan sepenuh hati, dan sudah bergaul dengan orang-orang yang suci, toh ada saja dosa dosa yang kita lakukan dengan atau tanpa sadar. Janganlah lalu ragu-ragu akan dirimu pada saat-saat ini, tetapi bangkitlah lagi dan mohonlah kepadaNya untuk menuntun kita lagi. Ia pasti akan menuntun kita ke arah yang benar. Langkah demi langkah kita akan menjadi bersih sesuai dengan kehendakNya. Selama kita berusaha keras untuk membersihkan diri, maka suatu saat kita pasti akan bersih dan kita akan meningkat ke tahap evolusi spiritual yang berikutnya, yang lebih tinggi sifatnya, sampai kita akan belajar untuk menjadi sadar dan pasrah secara total dan tulus, dan hanya bekerja sesuai dengan bisikan-bisikan Sang Atman yang Maha Pengasih dan Penyayang. Pada tahap ini kita akan mcnyerahkan jiwa-raga kita secara utuh, dan sesudah itu hanya ada jalan yang makin menanjak kc atas dan tak ada jalan turun lagi, dan jalan naik yang discbut tangga evolusi ini banyak ragam dan coraknya. semuanya scsuai kehendakNya semata, yang mungkin bagi setiap individu terasa lain pengalaman-pengalamannya, tetapi bagi Yang Maha Kuasa sama saja sifatnya.

6.41
prāpya puṇya-kṛtāḿ lokān
uṣitvā śāśvatīḥ samaḥ
śucīnāḿ śrīmatāḿ gehe
yoga-bhraṣṭo ‘bhijāyate

 

Setelah mencapai loka-loka di mana hidup orang-orang yang suci dan setelah tinggal di tempat ini bertahun-tahun lamanya maka sang yoga-bhrista ini akan lahir kembali di sebuah keluarga (rumah) yang suci dan makmur.

Penjelasan: Seorang yoga-bhrisra (yang meniti jalan ke Yang Maha Esa) tidak pergi ke neraka sewaktu ia meninggal-dunia, tetapi pergi ke punyakritamlokan, yaitu loka loka di mana hidup orang-orang yang selama ini hidupnya bekerja demi kebenaran. Ia pergi ke tempat yang lebih tinggi “status” nya dibandingkan bumi ini. Dan kemudian setelah menjalani kehidupan selama bertahun-tahun (sesuai dengan karmanya), ia kembali lagi ke bumi ini sebagai manusia yang lahir di suatu tempat yang suci dan makmur, di mana sang yogi ini mendapatkan kesempatan lagi untuk meniti lebih mantap lagi ea rah Yang Maha Esa. (Orang-orang Hindu percaya bahwa bumi ini sebenamya tempat yang paling tepat untuk mcngenal Yang Maha Esa dengan baik, dan adalah tugas manusia untuk mengenalNya di bumi ini. Hidup sebagai manusia dianggap sebagai hidup yang paling sempuma, bahkan para dewa dewa sangat menginginkannya. Bumi ini menyediakan segala sarana untuk kita agar lebih cepat mencapi moksha, seyogyanyalah manusia tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini dan menyesatkan dirinya ke dalam ilusi sang Maya.

6.42

 atha vā yoginām eva
kule bhavati dhīmatām
etad dhi durlabhataraḿ
loke janma yad īdṛśam

Atau ia akan Iahir di sebuah keluarga yang telah menerima kebijaksanaan. Tetapi kelahiran semacam ini amatlah sukar untuk didapatkan di dunia ini.

Penjelasan: Seorang yang lahir dalam keluarga yogi yang bijaksana mempunyai kesempatan yang amat besar untuk meniti jalan evolusinya ke arah Yang Maha Kuasa, karena kesempatan semacam ini tidak didapatkan di sorga maupun di loka-loka lainnya. Seorang yang Iahir di tengah-tengah keluarga yogi akan belajar mengenai Yang Maha Esa secara Iangsung semenjak amat dini.

6.43

tatra taḿ buddhi-saḿyogaḿ
labhate paurva-dehikam
yatate ca tato bhūyaḥ
saḿsiddhau kuru-nandana

Di situ ia mendapatkan penerangan akan (pengetahuan batin tentang kesatuannya dengan Yang Maha Esa) yang telah dicapainya pada kelahiran yang sebelumnya, oh Arjuna, dan ia pun berjuang sekali lagi untuk mencapai kesempurnaan.

 

Penjelasan : Kemajuan di jalan kesempurnaan seseorang manusia itu bisa saja lambat jalannya. Seseorang mungkin saja harus berjuang selama berkali-kali (Iahir berulang ulang) sebelum mencapai kesempurnaan. Tetapi tidak ada usaha yang akan sia-sia sekali kita berjalan menuju Yang Maha Esa. Apapun yang dicapai seseorang ini selama hidupnya tak, akan hilang sewaktu raganya binasa, tetapi malahan sebaliknya akan bertambah frekwensi dan kekuatannya pada kelahiran yang berikutnya. ia akan melaju lebih pesat lagi ke arah Yang Maha Esa.

Seseorang-yang misalnya Iahir diantara keluarga yogi ini, secara otomatis akan’ terbuka penerangan batinnya semenjak ia masih kanak-kanak karena suasana rumah tangga dan kehidupan orang-tuanya yang penuh dengan unsur-unsur kesucian dan pemujaan terhadap Yang Maha Esa; sehingga .tanpa disadarinya terdorong oleh karmanya yang lampau ia akan tambah bersemangat melaju ke arah Yang Maha Esa; otomatis perjuangan dan kemampuan spiritualnya akan berlipat-ganda; jalan ke Yang Maha Esa akan dicapainya dengan lebih cepat dan mudah.

6.44

pūrvābhyāsena tenaiva
hriyate hy avaśo ‘pi saḥ
jijñāsur api yogasya
śabda-brahmātivartate

Karena usaha-usahanya pada kehidupannya yang lalu, maka tanpa dikuasainya lagi ia terus melaju. Seseorang yang mencari pengetahuan yoga bahkan (meiaju) melampaui Shabda Brahman (tata cara dan peraturan~ peraturan Veda).

Penjelasan: Shabda-Brahman adalah tata-cara dan peraturan-peraturan keagamaan Hindu yang tertulis di buku-buku suci Veda. Veda-Veda ini sebenarnya amat penting‘ pada permulaan pelajaran spiritual kita, tetapi setelah seorang yogi mencapai penerangan dan kesatuan dengan Yang Maha Esa, maka Veda-Veda ini ibarat sebuah perahu yang menyeberangkan sang Yogi ini ke sisi lain sebuah sungai. Begitu selesai menyeberang dan mencapai’penerangan maka perahu tersebut sudah tidak dibutuhkan lagi, karena tujuan itu, yaitu Yang Maha Esa, telah tercapai.

6.45

prayatnād yatamānas tu
yogī saḿśuddha-kilbiṣaḥ
aneka-janma-saḿsiddhas
tato yāti parāḿ gatim

Sang Yogi ini yang bekerja dengan tekun, bersih dari dosa, dan telah menyempurnakan dirinya dengan melalui berbagai kehidupan akan mencapai tujuannya yang suci.

 

Penjelasan: Seseorang yang berusaha dan berjuang keras, sambil menyucikan dirinya, secara perlahan tapi pasti akan mencapai kesempumaan setelah melalui berbagai kehidupan dan pengalaman selama perjuangannya dalam hidup ini.

Tujuan yang suci adalah kesadaran dan kesatuan dengan Yang Maha Esa, pencapaian akan Kedamaian yang Abadi. Kalalu dipelajari dan dimengerti dengan baik, maka bukankah sloka-sloka di atas ini menunjukkan betapa agungnya ajaran Sang Krishna dalam Bhagavat Gita, karena setiap mahluk dan manusia betapapun besar dosanya, Ia secara perlahan tetapi pasti ditarik kembali kepada Yang Maha Esa tanpa kecuali. Inilah sebenamya evolusi dalam kehidupan spiritual kita, dengan karuniaNya semua ciptaanNya ditarik kembali kepadaNya.

Pesan suci dalam Bhagavat Gita adalah bahwa walaupun seseorang jatuh 100 kali dalam hidup ini, ia akan dibangkitkan lagi ke arah yang sudah tujuannya. Kegagalan-kcgagalan adalah sementara sifatnya. Ia akan jalan-terus dalam hidup ini, karena yang dinamakan hidup ini sebenarnya amat komplek dan penuh dengan lingkaran kehidupan dan kematian yang berulang-ulang sifatnya,’sampai suatu saat ia ditentukan untuk menuju ke tujuannya yang sejati, yaitu Yang Maha Esa. Raga atau sthula-sarira setiap mahluk dan insan lahir dan binasa, begitupun dengan raganya yang halus yang tak nampak oleh mata, yaitu sukhshama-sarira, tetapi karena sariranya (raga mumi yang menjadi penyebab hidup ini) akan selalu menyertai setiap mahluk atau insan sampai akhimya tercapai moksha atau penyatuan dengan Yang Maha Esa. Di dalam karana-sarira ini terkoleksi (terkumpul) semua usaha dan perbuatan (sansakara) manusia dan mahluk-mahluk ini. Karana-sarira sifatnya tak akan pernah mati, tetapi ia selalu mengumpulkan dan mengcvaluasi semua yang baik dan buruk yang dilakukan oleh sthula-sarira kita. Maka seyogyanyalah kita harus ingat pada karana-sarira ini; setiap pikiran (vichara) dan perbuatan (achara) kita seharusnya bersih dan suci, atau kita harus berjuang lagi dan lagi membersihkan kotoran-kotoran ini dari karana-sarira kita pada kehidupan kehidupan yang mendatang. Jadi jalan mudahnya, adalah pasrahkanlah sccara total kehidupan ini kepada Yang Maha Kuasa, usahakanlah semua ini dengan penuh kesungguhan, ketulusan, kejujuran dan iman yang teguh, dan bekerja demi dan untukNya semata tanpa pamrih. Jadilah saksi atau alatNya scmata dan jauhkanlah kekotoran-kekotoran dari karana-sarira kita, yang akan selalu melaju lebih cepat kc Tujuan yang Abadi, kalau saja kita tanpa noda-noda dalam kehidupan ini.

6.46
tapasvibhyo ‘dhiko yogi
jñānibhyo ‘pi mato ‘dhikaḥ
karmibhyaś cādhiko yogi
tasmād yogī bhavārjuna

Seorang yogi itu lebih agung daripada seorang yang meninggalkan kehidupan duniawi ini secara total; seorang yogi itu lebih agung daripada seorang ahli Veda, dan seorang yogi itu lebih agung daripada seorang yang bekerja sesuai dengan ritus-ritus. Maka seyogyanyalah dikau menjadi seorang yogi, oh Arjuna!

 

6.47
yoginām api sarveṣāḿ
mad-gatenāntar-ātmanā
śraddhāvān bhajate yo māḿ
sa me yuktatamo mataḥ

Dan diantara semua yogi, ia yang memujaKu penuh dengan keyakinan. dengan menyatukan Jati Dirinya dalam DiriKu ialah yang kuanggap sebagai seorang yogi yang amat sempurna keharmonisannya.

 

Penjelasan: Seorang tapasvi (seorang yang mengasingkan dirinya untuk bertapa di hutan hutan atau di gunung-gunung dengan menyiksa dirinya dan melepaskan semua nafsu nafsu dunawinya masih dianggap kurang agung dedikasinya dibandingkan dengan seorang yogi, begitupun halnya dengan seorang ahli Veda: dan seorang yogi itu lebih agung juga dari seseorang yang bekerja dan bertindak sesuai ritus-ritus agama. Inilah nilai yang diberikan langsung oleh Sang Krishna. Maka sebaiknya seseorang menjadi seorang yogi yang tetap hidup di dalam masyarakat, bekerja sesuai dengan kodratnya, dan dengan tanpa pamrih demi Yang Maha Esa semata. Seorang yogi yang terkendali semua indra-indranya, yang tetap berfungsi sebagai seorang manusia yang berguna untuk sesamanya, untuk lingkungannya, untuk negara dan bangsanya itu lebih agung nilainya di mata Yang Maha Esa. Inilah ajaran Bhagavat Gita yang sesungguhnya, bekerja demi Yang Maha Esa tanpa pamrih dan menyatu denganNya, dengan DiriNya sambil berjalan mengarungi hidup ini ke tujuan yang abadi, yaitu Yang Maha Esa itu Sendiri. Dan semua itu tanpa harus menanggalkan kewajiban kita sebagai manusia terhadap keluarga, masyarakat, lingkungan dan Tuhan Yang Maha Esa. ‘Dan diantara semua yogi, yang terbaik menurut Sang Krishna adalah yang menyerahkan dirinya secara total kepadaNya, yang memujaNya penuh kasih, dan keyakinan, bakti dan dedikasi yang tanpa henti-hentinya, tanpa pamrih dan penuh kendali-diri.

Dalam Upanishad Bhagavat Gita, llmu pengetahuan Yang Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Shri Kreshna dan Arjuna, maka karya ini adalah bab keenam, yang disebut:

DYANA YOGA atau yoga mengenai meditasi

Bhagavad Gita Bab V

Bhagavat Gita Bab V
Jalan penyerahan

Sloka 1.
Dikau memuji karma-sanyasa (penyerahan total sesuatu aksi kepada Yang Maha Esa) oh Krishna, dan juga Dikau menganjurkan bekerja secara benar (karma-yoga). Di antara keduanya ini yang manakah yang lebih baik? Beritahukanlah daku akan kepastiannya.

Penjelasan :
Arjuna mulai ragu-ragu lagi akan ucapan-ucapan Sang Krishna dan dengan jujur ia mengemukakan keragu-raguannya ini kepada Sang Krishna.

Di bab-bab yang telah lalu, Sang Krishna berbicara tentang gnana dan karma, yaitu tentang ilmu pengetahuan sejati dan tentang cara bekerja yang baik dan benar. Bagi Arjuna kedua hal ini nampak saling bertentangan sifatnya, karena baginya doktrin atau ajaran tentang ilmu pengetahuan yang sejati dianggapnya menganjurkan pckerjaan atau dharma yang benar. Bagi Arjuna ini nampaknya dua jalan yang barbeda, bagi Sang Krishna kedua-duanya adalah sama. Tetapi bagi Arjuna rupanya semua keterangan Sang Krishna terasa masih belum memuaskan batinnya, dan ia masih memerlukan pengarahan yang lebih pasti.

Kembali ke Sang Krishna, maka kedua ajaran ini kalau dilakukan dengan benar dan tulus maka akan mengangkat sipemuja ke strata spiritual yang lebih tinggi, tetapi bagi Arjuna yang masih kurang pengetahuannya ini malahan mcrupakan tanda tanya. Dan ini wajar sekali Arjuna menanyakan apakah ia harus melepaskan karmanya sebagai seorang kshatria dan mengabdi seterusnya ke jalan sanyasa (ajaran Sankhya) atau ia harus bekerja sesuai dengan karmanya sebagai seorang kshatria dan berperang sampai tuntas (seperti ajaran yoga). Yang mana yang harus dipilihnya? Ia menjadi ragu-ragu sendiri.

Banyak orang-orang Hindu beranggapan bahwa kehidupan sanyasa (lepas dari segala aksi) dapat menghasilkan kebebasan. Dan dalam hal ini Arjuna berpikir kalau ia tetap jadi seorang Kshatria maka ia akan terhambat dalam perjalanan Spiritualnya, dan ia bersiap siap untuk berubah haluan menjadi seorang sanyasin (pertapa), tetapi sebelumnya ia ingin minta kepastian dulu dari Sang Krishna, Sang Adhi uru.

Berkatalah Sang Maha Pengasih:
Sloka 2.
Sanyasa (lepas dari segala aksi) dan karma-yoga (bekerja tanpa pamrih). kedua-duanya menuju ke Yang Maha Esa. Tetapi diantara keduanya, karma yogalah yang lebih baik dari pada sanyasa.

Penjelasan :
Sebenarnya inti kedua ajaran ini tidak berbeda, dan menurut Sang Krishna temyata karma-yoga lebih baik. Seorang karma-yogi sebenarnya di dalam batinnya adalah seorang sanyasi, karena secara mental ia telah dan selalu memasrahkan (mcmpersembahkan) setiap aksi’atau pekerjaan dan perbuatannya kepada Yang Maha Esa semata, walaupun ia sibuk bekerja seaktif apapun juga. Dan dengan jalan ini ia lepas dari segala ikatan mati dan hidup, dan lebih cepat mencapai yang Maha Esa.

Sedangkan jalan sanyasa atau gnana-marga (jalan ilmu pengetahuan) itu sifatnya sulit dan berbelit-belit, jadi menurut Sang Krishna lebih baik untuk berjalan menganut ajaran karma-yoga yang lebih mudah.

Sloka 3.
Seseorang yang tidak membenci atau bernafsu (menginginkan segala sesuatu) adalah seorang

sanyasi yang konstan. Karena seorang yang telah lepas dari dvandas (dua rasa yang saling berlawanan), akan cepat lepas dari keterikatan duniawi, oh Arjuna

Penjelasan :
Dvandas seperti yang sudah disebut dan diterangkan pada bab-bab yang lalu, adalah dua sifat atau rasa yang berlawanan yang mengikat setiap manusia. Kedua rasa atau sifat ini adalah musuh-musuh besar seorang manusia. Seorang karma yogi tidak akan mcngacuhkan kedua-duanya lagi dan memasrahkan semua yang dialaminya kepada KehendakNya semata, dan sekiranya ini dilakukan penuh kesadaran dan dengan jiwa yang tulus maka ia pun terlepaslah dari keterikatan karma karmanya.

Seorang sanyasi yang konstan, adalah seorang yang tidak pernah menginginkan scsuatu ataupun tidak bernafsu akan sesuatu, dan sifatnya ini konstan, jadi terus menerus ia akan berpikir dan bertindak demikian karena sudah menjadi itikadnya yang tegas dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Hal ini timbul dari kesadarannya yang tinggi. Hidupnya adalah suatu hal yang netral, semua suka-dan duka, untung dan rugi sama saja harkat atau artinya, dan baginya semua ini selalu datang dan pergi tidak pernah abadi, jadi ia selalu tidak acuh lagi kepada dua sifat yang berlawanan ini. Dengan begitu lepaslah ia dari semua ilusi duniawi ini karena memang ia secara sadar tidak mau terikat olehnya, walaupun sebenarnya ia tinggal dan bekerja di dunia ini yang penuh dengan segala aktivitas yang tak kunjung habis habisnya

Sloka 4.
Hanya anak-anak. dan bukan orang-orang bijaksana yang mengatakan bahwa ajaran Sankhya dan ajaran yoga sebagai dua hal yang berbeda. Seseorang yang telah mapan dalam salah satu ajaran ini mendapatkan imbalan dari kedua-duanya.

Sloka 5.
Tingkat tertinggi yang dicapai oleh para penganut Sankhya juga dicapai oleh penganut ajaran Yoga. Barangsiapa melihat (menyadari) bahwa ajaran Sankhya dan Yoga adalah satu benar-benar melihat dengan mata yang terang.

Penjelasan :
Ilmu pengetahuan yang sejati dan aksi atau tindakan tanpa pamrih sebenarnya bagi Sang Krishna adalah dua hal yang sama saja arti dan maknanya, dan lebih dari itu satu saja tujuannya, yaitu Yang Maha Esa. Ambillah salah satu jalan yang berkenan di hati dan sesuai dengan keinginan pribadi kita yang tulus, dan berjalanlah di jalan tersebut dengan tulus dan pada suatu saat nanti kita akan mendapati bahwa ujung jalan temyata berakhir pada titik yang sama. Kedua penganut masing-masing jalan yang nampak berbeda ini pada hakikatnya sama-sama bebas dari nafsu-nafsu duniawi ini dengan segala ikatan-ikatan dan ilusi-ilusinya.

Sloka 6.
Tetapi tanpa Yoga, oh Arjuna, penyerahan diri (secara total) itu sukar dicapai. Seorang yang suci yang telah terbiasa dengan Yoga (jalan aksi), segera mencapai Sang Brahman,Yang Maha Esa.

Penjelasan :
Penyerahan diri secara total tidak begitu saja dapat dicapai seseorang. Tetapi harus dengan kerja keras, dan proses ini berlangsung secara progresif (maju terus) bagi orang-orang yang telah melepaskan egonya dan berdedikasi kepada Yang Maha Esa. Ego pribadi adalah salah satu elemen yang paling sukar dikendalikan dalam diri kita, dan selalu hadir pada setiap orang dalam bentuk yang berganti-ganti dan beraneka-ragam, seakan-akan tidak ada habis-habisnya. Dan semua itu butuh kesabaran dan dedikasi dan proses yang lama, baru dapat dikurangi tahap-demi tahap dan kemudian sama sekali dihilangkan. Dan tanpa karma-yoga, sabda Sang Krishna, jalan kearah Sanyasa atau gnana-marga ini akan jadi lebih sulit karena bisa-bisa seseorang jatuh sebelum mencapainya. Jalan karma-yoga menyucikan dan melicinkan langkah kita ke arah Yang maha Esa, semuanya kemudian menjadi lebih cepat untuk mencapaiNya.

Seseorang boleh saja berpikir bahwa ia sudah sadar, bahwa semua di dunia ini hanya ilusi Sang Maya, dan ia sendiri sudah mencapai kesempumaan dalam kebijaksanaan. Tetapi kalau ia tidak mempraktekkan dan menghayati karma-yoga dengan baik dan benar, maka ia akan jatuh karena egonya, atau karena nafsu-nafsu dan kemarahannya. Dan Sang Maya kemudian menjadi lebih kuat lagi baginya Tetapi sekali ia tersucikan oleh karma-yoga, maka cepat ia akan lepas-landas ke arah Yang Maha Esa. jadi seyogyanyalah seseorang selalu berjalan dijalannya karma yoga teguh dengan disiplin dan tekad yang kuat, dengan dedikasi dan lepas dari segala pamrih, semua inilah fondasi-fondasi yang amat penting untuk mencapai Yang Maha Esa.

Sloka 7.
la yang penuh dedikasi dalam tindakannya dgn suci jiwanya, yang merupakan tuan bagi dirinya sendiri dan telah menguasai indra-indranya. yang sadar bahwa Dirinya adalah Diri yang sama dalam setiap mahluk walaupun ia bekerja (bertindak), ia tak akan tersentuh sedikit pun oleh pekerjaan atau tindakan itu.

Penjelasan : Mengapa ia tidak tersentuh sedikitpun oleh tindakan-tindakannya? Karena ia tidak kerja untuk diri pribadinya sendiri. Sang Atman, Sang Jati Diri Sang Krishna yang ada di dalam Jiwalah yang melakukannya. Ia melihat, mendengar, menyentuh, . mencium, makan, bergerak, tidur, bemafas, berbicara, tetapi Ia sadar semua itu hanya tindakan-tindakan alamiah ke obyeknya masing-masing. Ia sadar sebenarnya ia tidak melakukan apa-apa, ia hanya alatNya saja, dan dipakai olehNya sesuai dengan KehendakNya.

Sloka 8.
Seseorang yang telah bersatu dengan Yang Maha Suci, yang sadar akan Kebenaran akan selalu berpikir, “aku tak melakukan apa-apa.” Karena dikala melihat, mendengar, menyentuh, mencium, memakan, bergerak, tidur, bernafas.

Sloka 9.
Dikala berbicara, memberi, mengambil, membuka dan manutup-mata, ia sadar bahwa yang bergerak hanyalah indra-indranya dan diantara obyek obyek indra-indra itu sendiri.

Sloka 10.
Seseorang yang bertindak (bekerja), sambil melepaskan keterikatannya. menyerahkan semua tindakan-tindakannya kepada Yang Maha Esa, tidak akan tersentuh oleh dosa. ibarat bunga teratai yang tak tersentuhkan oleh air.

Penjelasan :
Di sloka delapan dan sembilan di atas diterangkan dengan baik mengenai disiplin pribadi seseorangyang melakukan gnana-yoga. Orang semacam ini tidak pernah merasa bahwa ialah “pelaku semua tindakan.” Di sloka sepuluh di atas, diterangkan Sekali lagi bahwa seorang karma-yogi sejati akan selalu bekerja tanpa pamrih, karena semua tindakannya adalah demi Yang Maha Esa.

Sloka 11.
Para yogi. sambil melepaskan keterikatannya. bekerja mepergunakan tubuh. pikiran. intelektual (buddhi), atau dengan indra-indra mereka demi penyucian jiwa mereka.

Penjelasan :
Seorang karma-yogi yang sejati merasa bahwa tindakan-tindakan raganya, pikirannya, intelektualnya dan indra-indranya bukanlah tindakan atau perbuatan dirinya, melainkan hanyalah ekspresei dari dirinya, yang sebenarnya adalah alat saja dari yang Maha Esa. Kemudian ia sadar bahwa ia sebenarnya bukan raga, bukan pikiran, bukan intelektual, bukan indra-indra tetapi dirinya sendiri sebenarnya adalah Sang Atman, Sang Jati DiriNya Yang Sejati. Dengan menyadari hal tersebut dan bekerja demi Yang Maha Esa tanpa pamrih, maka ia selalu gembira dan dapat bekerja demi Yang Maha Esa tanpa merasa bosan atau tanpa habis-habisnya.

Sloka 12
Seseorang yang telah bersatu denganNya, yang telah mengesampingkan semua imbalan dari tindakan-tindakannya, mencapai ketenangan yang abadi, Tetapi seseorang yang jiwanya tidak bersatu denganNya, didorong oleh nafsu nafsunya dan terikat pada pamrih-pamrihnya, maka terbelengulah ia.

Penjelasan :
Sekali mencapai persatuan dengan Yang Maha Esa, maka seseorang langsung

mendapatkan ketenangan yang abadi, karena lepas sudah ia dari beban-beban imbalan kerjanya. Tetapi seseorang yang tidak dapat bersatu denganNya, akan selalu terkurung atau terpenjara oleh aksi dan hasil dari aksi ini, yang dilakukannya berdasarkan dorongan nafsu dan keinginannya yang beraneka-ragawi. Hasilnya pun tentu beraneka-ragam.

Sloka 13.
Melepaskan semua tindakan secara mental, jiwa yang memiliki raga ini bersemayam secara tenang di kota yang memiliki sembilan pintu gerbang, tidak bekerja maupun memerintahkan suatu pekerjaan.

Penjelasan :
Untuk mencapai status “yang bersemayam di dalam tubuh kita tanpa kerja atau memerintahkan suatu pekerjaan,” adalah seseorang yang jiwanya telah mencapai Suatu tahap tertinggi dalam kebijaksanaannya. Ia tidak terlibat akan suatu pekerjaan dan ia pun tak mau melibatkan orang lain -ia hidup dan bekerja tanpa suatu nafsu atau keinginan pribadi, dengan kata lain semuanya dilakukannya tanpa pamrih ia adalah seorang karma-yogi yang sejati. Kota yang berpintu gerbang sembilan adalah raga kita sendiri, yaitu dengan dua mata, dua telinga, dua lubang hidung Satu mulut, satu lubang anus dan satu lubang kemaluan, semuanya berjumlah Sembilan lubang atau pintu gerbang raga kita.

Sloka 14.
Sang Maha Kuasa Pemilik Seluruh Alam Semesta ini (Sang Prabhu) tidak menciptakan manusia sebagai agen-agen DiriNya. tidak juga la bertindak. Tldak juga la mengaitkan pekerjaan dengan imbalannya. Semua ini dilakukan oleh Svabhaba (alam).

Penjelasan :
Sang Prabhu adalah Diri Yang Sejati dari setiap hal di dunia ini. Diri Yang Sejati ini adalah Sinar yang bersemayam di raga setiap mahluk. Ia tidak bekerja maupun mengakibatkan sesuatu pekerjaan manusia atau mahluk juga tidak tersentuh kebaikan maupun keburukan. Dan di dalam Sinar inilah para pencari Kebenaran Sejati atau Kebenaran Hidup ini mencari perlindungan demi melawan segala cobaan Sang Maya yang selalu hadir menghadang. Di dalam sinar ini kemudian timbullah kesadaran seseorang yang mencari kebenaran yan g sejati bahwa hidup ini sebenamya adalah persembahan demi Yang Maha Kuasa oleh sekalian mahluk-mahluk ciptaanNya.

Sloka 15.
Yang Maha Pengasih tidak mengambil baik maupun buruk untuk DiriNya sendiri. ‘kebijaksanaan itu terbungkus oleh kekurangan-pengetahuan, dan para mahluk pun jadi kalut karenanya.

Penjelasan :
Yang Maha Esa itu hadir dimana saja dan selalu sempuma adaNya. Ia tak pernah tersentuh oleh dosa-dosa dan perbuatan baik manusia, karena Ia bersemayam jauh dari dosa dan kebaikan ini. Ia lah Sang Atman, Sinar Ilahi ini terbungkus oleh kegelapan yang ditimbulkan oleh ilusi, dan kalut atau bingunglah manusia karenanya. Dibawah pengaruh ilusi (bahwa kita ini terpisah dari Yang Maha Esa), maka jiwa kita senantiasa berpikir bahwa jiwa kita atau tubuh kitalah yang bertindak dalam segala sesuatu hal. Dan kalau pengaruh ilusi ini dapat disingkapkan, maka para pencari kebenaran hidup ini, akan masuk ke dalam ruang-dalam nurani kita di mana bersinarlah kebijaksanaan Kebijaksanaan Sang Atman. Disinilah seorang jignasu (pencari kebenaran hidup ini) sadar bahwa ia sebenarnya satu dengan semuanya, dan kepadanyalah akan terlihat Yang Maha Esa, Yang Tanpa Nama dan Abadi (Tat). yang tidak pernah tersentuh oleh kebaikan maupun keburukan yang diakibatkan oleh pekerjaan manusia.

Sloka 16.
Seseorang yang kekurangan-pengetahuannya (kegelapannya) telah dihancurkan oleh

kebijaksanaan Sang Atman, maka di dalam diri mereka. kebijaksanaan ini bersinar laksana Sang Surya, mamancarkan keagungan Yang Maha Esa.

Penjelasan :
Berbahagialah mereka yang telah mencapai tahap kebijaksanaan, yaitu ilmu pengetahuan mengenai Sang Atman, Sang Jati Diri, Sang Krishna sendiri yang bersemayam di dalam diri mereka sendiri, karena kebijaksanaan ini memancarkan cahaya Ilahi di dalam diri mereka laksana terangnya Sang Surya, menyibak semua kegelapan duniawi, dan menerangi jiwa mereka.

Sloka 17.
Mereka yang intelektual (buddhi) dan pikirannya sudah bersatu utuh denganNya, yang selalu berada dalam naungan Yang Maha Esa, dan akhirnya menyatu denganNya orang-orang semacam ini pergi ke tempat dimana mereka tak kembali lagi, karena dosa-dosa mereka hapus oleh kebijaksanaan.

Penjelasan :
Para yogi yang sejati ini selalu hidup dalam naungan Yang Maha Esa dan mendasarkan setiap tindakan mereka sesuai dengan kehendak Ilahi hidup mereka selalu dalam Ilahi, begitupun jalan pikiran dan tujuan mereka tak pernah lepas dariNya. Sewaktu orang-orang semacam ini meninggalkan raga mereka (meninggal dunia) maka mereka pergi keTempat dimana mereka tak kembali lagi kedunia ini, lepas dari kehidupan dan kematian selanjutnya

sloka 18.
Orang-orang suci ini memandang secara sama pada seorang Brahmin yang terpelajar dan yang penuh rasa rendah-diri, atau pada seekor sapi, atau pada seekor gajah, bahkan pada seekor anjing dan pada seorang pariah (kasta yang dianggap terendah diantara semua kasta).

Penjelasan :
Para yogi yang sejati yang telah suci ini tidak mempunyai diskriminasi sedikitpun bagi mereka semua mahluk ciptaan Tuhan itu sama saja derajatnya, karena dalam setiap mahluk sebenamya bersemayam Sang Atman yang Tunggal. Bagi mereka diskriminasi kasta adalah tidak wajar, bahkan seekor anjing pun bagi mereka derajatnya sejajar.

Sloka 19.
Bahkan di sini (di bumi ini) semua hal-hal duniawi dapat teratasi bagi mereka mereka yang jiwanya telah bersatu dalam suatu kesamaan. Yang Maha Esa adalah nirdosha, yaitu tak tersentuh oleh dosa, dan la sama bagi semua mahluk. Mereka yang sadar hal ini telah bersatu denganNya.

Sloka 20.
Dengan inteleknya yang teguh dan tidak terombang-ombing, bersatu dengan Yang Maha Esa, maka seseorang yang telah mengenal Sang Brahman tidak akan gembira dikala senang dan tidak akan bersedih dikala dilanda kesusahan.

Sloka 21.
Tidak terikat pada kontak-kontak eksternal (luar) dan mendapatkan kebahagiaan di dalam DiriNya (Sang Atman). seorang yoga-yukta yang telah bersatu dengan Yang Maha Esa, merasakan keberkahan tanpa habis. habisnya.

Kesenangan yang lahir dari kontak-kontak (dengan obyek-obyeknya) adalah sebenarnya permulaan (asal) dari penderitaan. Kesenangan-kesenangan ini ada awalnya dan juga ada akhirnya. oh Arjuna! Seorang yang bijaksana tidak akan bergembira dengan kesenangan-kesenangan ini.

Penjelasan :
Para yogi yang bijaksana tak akan bergembira dengan hal-hal duniawi yang menyenangkan (priyam) ataupun bersedih dengan hal-hal keduniawian yang penuh dengan penderitaan atau kesedihan. Karena semua kebahagiaan mereka sudah terpusat sepenuhnya pada Sang Atman, pada Sang Krishna yang bersemayam di dalam diri mereka. Mereka sadar kesenangan dan kesedihan duniawi bersifat sementara saja, semua itu datang dan pergi, sedangkan Yang Maha Esa sifatnya abadi dan tak ada habis-habis berkahNya. Dan mereka ini pun sadar bahwa semua kesenangan duniawi itu sebenarnya adalah awal atau asal dari berbagai penderitaan yang beraneka-ragam sifatnya, seperti kehilangan seseorang yang amat disayangi, sakit atau penderitaan ragawi, masa tua, dan banyak hal lainnya, yang kalau ditelaah merupakan kesenangan pada awalnya tetapi selalu berakhir dengan kesedihan atau penderitaan. Dan semua penderitaan ini kemudian akan menimbulkan kama (nafsu) dan krodha (kcmarahan), dan masuklah seseorang kemudian ke dalam lingkaran setan dari penderitaan ini, yang nampaknya tak ada habis-habisnya.

Sloka 23.
Seseorang yang di dunia ini (di bumi ini), sebelum meninggalkan raganya berhasil menahan gejolak nafsu dan kemarahannya, maka ia telah bersatu dengan Yang Maha Esa. Orang ini adalah orang yang bahagia.

Sloka 23.
Seorang yogi yang bahagia secara murni, adalah orang yang penuh dengan kendali-diri. Dan pengendalian diri ini dipelajari di bumi ini, karena memang bumi. loka ini tempatnya setiap manusia belajar berbagai aspek Ketuhanan dan mengenal dirinya sendiri secara spiritual, bukan di tempat lain. Dan sekali pengendalian diri ini tercapai secara utuh dan tulus, maka akandidapatkan berkahNya yang tak kunjung habis-habisnya.

Maka seyogyanyalah setiap manusia belajar untuk mengendalikan nafsu dan keinginan-keinginannya, pertahankanlah tekad ke arah ini dan bangkitlah lagi setiap tersandung jatuh, kemudian tegak maju lagi secara lebih tegar. Di mana ada tekad di situ pasti ada jalan. Perangilah nafsu dan kemarahan dan pada suatu saat yang (tepat, dengan tekad yang kuat, dikau pasti akan berhasil mandapatkan kebijaksanaan ini. ,, ,

Sloka 24.
Barangsiapa memiliki kebahagiaan di dalam dirinya, barangsiapa memiliki kegembiraan di dalam dirinya, barangsiapa memiliki sinar di dalam dirinya, maka yogi semacam ini berubah sifatnya menjadi suci dan mencapai keindahan Yang Maha Esa (Brahmanirvana).

Penjelasan :
Seseorang yogi yang sejati selalu mencari kebahagiaan di dalam diriNya (Sang Atman) dan merasa bahagia dengan apa saja yang didapatkannya dari Sang Atman. Yogi semacam ini sudah berdiri di atas ketiga guna (sifat-sifat alami atau prakriti) dan telah mencapai suatu sifat yang suci yang merupakan karunia ilahi yang tak ternilai sifatnya. Ia langsung berasimilasi dengan Yang Maha Esa. Brahmanirvana adalah suatu status .dimana meleburlah semua nafsu-nafsu pribadi seseorang dalam sinarNya Yang Maha Esa, dan seorang yogi yang telah mencapai tahap ini menjadi seorang resi (seorang yang dianggap suci), yang jiwanya sudah dipasrahkan secara total kepadaNya, Yang Maha Abadi.

Sloka 25.
Para Resi (orang-orang suci) yang dosa-dosanya telah hapus, yang keraguraguannya (rasa dualismenya yang bertentangan) telah tertebas habis, yang pikirannya penuh dengan disiplin, dan yang bahagia dalam kesejahteraan semua mahluk, mencapai Brahmanirvana.

Penjelasan :
Para orang-orang suci yang dosa-dosanya telah tertebas habis, begitupun dengan keragu-raguannya mereka akan hal-hal yang menyenangkan maupun yang .sebaliknya, yang indra-indranya telah terkendali dengan baik; maka setiap tindakan mereka adalah demi kesejahteraan semua mahluk di dunia ini. Mereka ini bersatu dengan Yang Maha Esa (Sang Brahman) dan mereka ini mengenal yang disebut nirvana, yaitu Kedamaian Yang Abadi (Keindahan ilahi).

Sloka 26.
Keindahan Ilahi terletak dekat dengan mereka yang suci, yang telah lepas ‘dari nafsu dan kemarahan, yang telah mengendalikan pikiran mereka dan telah sadar akan DiriNya.

Sloka 27.
Menutup diri dari kontak-kontak ekstemal (luar). memusatkan pandangan Pade sela kedua alis-mata. dan menyelaraskan nafas yang masuk dan keluar dari lubang-lubang hidung.

Sloka 28.
Dengan mengendalikan indra-indranya, pikirannya dan intelektualnya seseorang yang yang suci yang berkeinginan bebas dan telah berhasil menyingkirkan nafsu. ketakutan dan kemarahan, akan benar-benar terbebas.

Sloka 29.
Dan mengetahui Aku sebagai Yang Menikmati semua persembahan dan pengorbanan. sebagai

Yang Maha Memerintah seluruh isi alam, Yang Mencintai semua yang hidup, maka orang suci semacam ini akan menuju ke kedamaian.

Penjelasan :
Setiap insan yang mengenal Sang Jati Diri (Sang Atman), akan menemui Kedamaian Yang Abadi (Brahma-nirvana). Pengetahuan tentang hal ini disebut kebijaksanaan, yang mengusir semua nafsu dan keinginan-keinginan kita dan membuat seorang berubah sifatnya menjadi sederhana dan stabil jalan pikirannya (terkendali, atau dalam kendali). Proses ini menjadi lebih mudah lagi kalau ditambah dengan latihan pranayama (yaitu pernafasan yang terkendali atau meditasi). Dan yang ingin mencoba pranayama atau meditasi ini harus :

  1. Membebaskan atau mengeluarkan atau menjauhkan semua bentuk pikiran pikiran yang datang mengganggu. Jadi tidak memikirkan apapun juga selain Sang Atman yang ada di dalam dirinya. Dapat dimulai dengan membayangkan wajah seorang Dewa atau sang guru yang dihormatinya. Ini yang dinamakan menjauhi kontak-kontak eksternal.
  2. Memusatkan pandangannya pada titik yang terletak di tengah-tengah kedua alis mata,
    3. Menyelaraskan masuk dan keluarnya nafas dari dan ke lubang hidung kita Baik irama panjang dan lama nafas yang masuk dan keluar ini harus seimbang mungkin. Sebaiknya pcrlahan-lahan saja, setelah lama berlatih, maka masuk keluar nafas ini membebaskan indra-indra, pikiran dan intelektual kita dari kekuasaan nafsu dan berbagai keinginan, dari rasa takut dan berbagai pikiran yang selalu silih-bcrganti. Lebih dari itu seorang yang melakukan meditasi ini harus sadar bahwa Yang Maha Esa adalah sebagai Asimalator atau Sang Penerima semua bentuk yagna dan tapa, dan juga orang atau pemuja ini harus mengenal Yang Maha Esa sebagai Yang Maha Memiliki alam semesta ini beserta seluruh isinya, mengenalnya sebagai Yang Maha Pengasih semua mahluk mahluk ciptaanNya, mengenal Yang Maha Esa dalam bentuk manusiaNya sebagai Sang Krishna.

Dan barangsiapa yang mengenal Dirinya yang tinggi (Sang Atman) dan melalui Sang Atman ini dapat menguasai dirinya yang rendah yaitu indra-indra, pikiran dan intelektualnya, maka orang semacam ini akan mendapatkan suatu bentuk kedamaian yang abadi.

Dari ajaran-ajaran di atas terulang lagi, bahwa yang paling penting bagi kita ini adalah mengendalikan semua indra kita, pikiran kita dan juga buddhi kita. Seseorang tanpa kendali tidak mungkin dapat menghayati ajaran Bhagavat Gita atau pun mencapai Yang Maha Esa. Ia boleh saja bermeditasi dengan aktif, boleh saja ia menguasai berbagai ajaran atu teori-teori dan teknik-teknik spiritual, tetapi kalau belum berhasil mengendalikan indra, keinginan, nafsu, pikiran dan buddhinya dengan baik maka sia-sia saja upayanya, bahkan dapat merusak atau menyesatkan dirinya. Tanpa penghayatan dan perbuatan nyata, maka sia-sia atau rusaklah orang semacam ini. Teori saja tidak perlu dalam peningkatan spiritual, yang paling penting adalah praktek atau usaha-uasaha pengendalian hawa-nafsu kita secara sejati dan total, karena semua pengetahuan spiritual ini akan menjadi mentah sifatnya tanpa penghayatan yang tulus dan sejati, tanpa dedikasi dan disiplin yang penuh dengan tekad yang kuat. Semua ini butuh waktu dan tak dapat dicapai dalam sekejap mata, maka dari itu dibutuhkan kesabaran yang luar biasa.

Dan apakah yang akan terjadi seandainya seseorang memaksakan dirinya ke jalan yoga. padahal dirinya masih mentah atau belum siap untuk itu? Meditasinya yang prematur akan membawanya kejalan atau arah yang berbahaya. Membawanya ke situasi yang neurotik, membawanya ke

pemecahan jiwanya (personalitasnya) dan bahkan kekacauan jiwanya yang dapat menghasilkan gangguan jiwa (menjadi gila misalnya). Seyogyanyalah meditasi. diajarkan dan dibimbing dan ditentukan oleh seorang guru yang bijaksana, yang dapat menilai sudah sejauh manakah kadar dari sang murid ini. Tanpa pembersihan ego pribadi. pengendalian indra-indra dan pikirannya, maka jalan meditasi akan berbahaya sekali.

Meditasi yang matang sifatnya, kemudian akan menghasilkan suatu pertemuan antara sang pemuja dengan Sang Atman, Sang Krishna Yang Abadi Yang bersemayam di dalam jiwa sang pemuja ini, Yang juga adalah Kuasa dari alam semesta ini, Yang juga adalah Pengasih semua mahluk. Ia bukan saja jauh dari jangkauan kita tetapi juga merupakan Teman kita yang benar-benar Sejati dan dekat dengan kita dan bersifat Maha Penolong kapan dan dimana saja; Teman yang membantu kita mengatasi segala situasi yang kita hadapi. Seseorang yang pintu imannya telah berbuka lebar, maka pintu kebijaksanaannya pun akan terbuka lebar-lebar dan ia pun akan mencapai kedamaian yang abadi yang menjadi dambaan setiap pencari kcbcnaran. Kedamaian Nan Abadi ini, yang penuh dengan Sinar Ilahi, disebut Brahmanirvana.

Demikianlah dalam upanishad Bhagavat Gita, Ilmu pengetahuan yang abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Krishna dan Arjuna, maka karya ini adalah bab ke lima yang disebut : Karma Sanyasa Yoga atau Yoga tentang penyerahan tindakan (aksi)

Bhagavad Gita Bab IV

Bab IV
 Ajaran rahasia

Berkatalah Yang Maha Pengasih:

4.1

śrī-bhagavān uvāca
imaḿ vivasvatea yogaḿ
proktāvān aham avyayām
vivasvān manave prāha
manur ikṣvākave ‘bravīt


Ilmu pengetahuan yang tak dapat habis ini Kusabdakan pada Vwasvan flvasvan menyabdakannya kepada Manu dan Manu menyabdakannya kepada lkshvaku
.

4.2

evaḿ paramparā-prāptam
imaḿ rājarṣayo viduḥ
sa kāleneha mahatā
yogo naṣṭaḥ parantapa

Begitulah pada masa yang silam para guru (resi) agung mengenal ilmu pengetahuan ini, dari satu ke yang Iainnya, tetapi dalam kurun waktu yang lama kemudian, ilmu pengetahuan ini hilang (dilupakan) dari dunia, oh Arjuna.

Penjelasan: Sri Krishna menyatakan di sini, bahwa Beliaulah Adiguru yang Pertama yang mengajarkan ilmu pengetahuan sejati ini kepada mereka-mereka yang pantas menerimanya di masa-masa yang lampau. Yang pantas menerima disebut adhikari, dan adhikari yang pertama adalah Vivasvan (Batara Surya), Dewa ahaya. Dari Vivasvan ajaran ini turun ke Manu (manusia yang pertama) yang dianggap menjadi cikal-bakal bangsa Aryan. Manu kemudian menurunkan ajaran ini kepada Ikshvaku, scorang raja Hindu di India pada masa yang amat silam.

Ajaran sejati ini amat kuno sifatnya, tetapi amat relevan sampai masa kini, dan hanya diajarkan kepada para adhikari yang terpilih. Itu sudah suatu ketentuan Spiritual Ilahi. Para guru atau resi-resi yang agung dan suci, para pemikir atau fllsuf dan raja-raja di masa silam menjadikan ajaran ini sebagai pegangan hidup mereka, sampai suatu saat dimana manusia melupakan ajaran ini.

4.3
sa evāyaḿ mayā te ‘dya
yogaḥ proktāḥ purātanaḥ
bhakto ‘si me sakhā ceti
rahasyaḿ hy etad uttamam


Dan yoga (ilmu pengetahuan) yang sama ini Kubukakan kepadamu hari ini, karena dikau adalah pemujaKu dan sahabatKu. lnilah rahasia yang amat agung sifatnya.

Berkatalah Arjuna:

4.4

Arjuna uvāca
aparaḿ bhavato janma
paraḿ janma vivasvataḥ
katham etad vijānīyāḿ
vām ādau proktāvān iti


Kelahiran Dikau berlangsung kemudian, sedangkan Vivasvan terlahir lebih awal. lalu bagaimana mungkin daku dapat memahami bahwa Dikaulah yang pertama kali menyabdakan yoga ini pada masa awal dunia ini dibentuk?

Penjelasan: Tentu saja Arjuna kebingungan, karena menurut pengetahuan duniawinya Sang Krishna yang sebenamya adalah pamannya sendiri berasal atau lahir pada kurun aktu yang sama dengannya, sedangkan Vivasvan atau Batara Surya lahir berjuta juta tahun yang silam. lalu bagaimana mungkin Sang Krishna mcngajarkan

Ilmu pentahuan sejati ini kepada Vivasvan pada awal mula terbentuknya sistim tata-surya itu. Sebagai balasan atas pertanyaan ini, Sang Krishna pun mengajarkan mengenai inkamasi (avatarvad) dalam ajaranNya yang agung di bawah ini.

Bersabdalah Yang Maha Pengasih:

 4.5

śrī-bhagavān uvāca
bahūni me vyatītāni
janmāni tava cārjuna
tāny ahaḿ veda sarvāṇi
na tvaḿ vettha parantapa

Banyak kelahiran yang telah Kualami dan juga olehmu, oh Arjuna Aku mengetahui semua itu, tetapi engkau tak pernah tahu akan kelahiran-kelahiran itu.

Penjelasan: Kelahiran Sang Krishna tidak seperti kelahiran manusia biasa, kelahiranNya bebas dari segala nafsu dan keinginan duniawi, dari segala karma dan selalu dimaksudkan untuk suatu tujuan yang agung dan suci, yaitu penyelamatan mahluk mahluk dan dunia ciptaanNya.

Sebaliknya jiwa manusia selalu dibatasi oleh hadirnya ketiga guna (sifat prakn’ti), dan akibatnya tak pernah bisa ingat akan masa atau kehidupannya yang lampau. Dilain sisi, raga kita ini harus menjalani karmanya. Tetapi bagi Yang Maha Esa, tak ada masa lampau, masa sekarang atau masa yang akan datang. Baginya semua adalah sekarang. karena Ia hadir scpanjang waktu, dan kelahiranNya sebagai manusia atau mahluk di bumi ini selalu karena terdorong faktor KasihNya pada mahlukmahluk yang harus dilindungiNya.

4.6

ajo ‘pi sann avyayātmā
bhūtānām īśvaro ‘pi san
prakṛtiḿ svām adhiṣṭhāya
sambhavāmy ātma-māyayā

Walaupun Aku tak pernah dilahirkan dan DiriKu tak terbinasakan, dan walaupun Akulah Pencipta (Penguasa) semua mahluk menghadirkan DiriKu kedalam SifatKu, Aku lahir melalui kekuatanKu.

Penjelasan:
IA tak pernah lahir dan tak dapat dibinasakan. Ia juga Pencipta semua mahluk dan alam semesta ini, dan Ia juga yang mengendalikan Sang Maya dan bereinkarnasi. sesuai dengan kehendakNya yang bebas, dengan kekuatanNya semata. Yang Maha Pencipta ini sempuma dalam segala hal, tetapi mau juga Ia bereinkamasi sebagai manusia yang sifat-sifatnya tidak sempurna dan pcnuh dengan keinginan-keinginan’ duiawi. Sebenamya tidak pantas ditinjau dari sudut duniawi untukNya menjadi manusia tetapi a melakukannya juga dcmi mahluk-mahluk dan manusia yang dikasihNya. Inilah kebesaranNya.

Di dalam salah satu pustaka kuno Hindu yang disebut Bhagavatta dapat kita baca kelahiran Sang Krishna scbagai manusia itu ibarat terbitnya bulan pumama di ufuk Timur. Jadi sepertni sesuatu episode yang sudah direncanakan secara khusus dan indah, dan bukan karcna suatu efek karma.

4.7

yadā yadā hi dharmasya
glānir bhavati bhārata
abhyutthānam adharmasya
tadā tmānaḿ sṛjāmy aham

 Pada saat-saat dharma (kebenaran) turun ke titik yang rendah, dan kezaliman (tindakan adharma) menanjak mencapai puncaknya, maka Kuproyeksikanlah DiriKu. .

Penjelasan: Dikala adharma mengalahkan dharma, dan suatu saat manusia mcncapai puncak dari kejahatannya, dan dunia penuh dengan kealiman dan rasa keangkara-murkaan, maka Yang Maha Pengasih pun lalu memanifestasikan DiriNya, dalam bcntuk manusia atau mahluk lainnya untuk kemudian meluruskan lagi jalannya Sang Dhanna dengan ajaran-ajaran atau tindakan-tindakannya. Contoh-contoh ini banyak tcrdapat dalam pustaka-pustaka Hindu Kuno, seperti Sang ama yang menghancurkan keangkara-murkaan sang ahwana, dan lain sebagainya. Semua ini dilakukan oleh Yang Maha Kuasa untuk menyelamatkan manusia dari kchancu’ran moral secara total.

Dalam sloka ini Sang Krishna mengucapkan kata, “Kuproyeksikan DiriKu .” ini berarti Sang Krishna atau Yang Maha Esa turun kc bumi ini, yang lebih rendah derajatnya dibandingkan dengan tempat Ia bersemayam, karena kasihNya kepada kita agar dapat bangkit lagi kc jalan yang benar, jalan dharma yang lurus dan suci. Ia turun sebagai titisan dari Sang Hyang Vishnu dari masa ke masa. Inilah Kasih-Ilahi yang selalu tulus untuk manusia dan segala mahluk-mahlukNya di alam semesta ciptaanNya ini. 0m Tat Sat.

4.8

paritrāṇāya sādhūnāḿ
vināśāya ca duṣkṛtām
dharma-saḿsthāpanārthāya
sambhavāmi yuge yuge


Demi membela kebaikan, demi hancurnya yang zalim, dan demi teguhnya kebenaran, Aku selalu lahir dari masa ke masa.

Penjelasan: Ia selalu menghukum yang jahat dan yang zalim dari masa ke masa, tetapi hukumanNya ini pun penuh dengan hikmah, penuh dengan kasih-sayangNya, karena sebenamya dengan menghukum ini Ia menginginkan agar mereka-mereka yang tersesat ini kembali ke jalan dharma yang lurus dan suci. Hukuman dariNya sebenarnya dapat disiratkan sebagai suatu karunia yang terselubung bagi yang bcrdosa. Karena seyognyalah setelah selesai menjalani masa-hukumannya maka seseorang seharusnya sadar dan kembali ke jalan yang benar. Bayangkan kalau seseorang tidak dihukum untuk mempertanggung-jawabkan kesalahan-kesalahannya. atau dihukum secara abadi tanpa ampun, maka habislah harapan orang tersebut untuk bertobat atau kembali ke jalan yang benar.

Berbeda mungkin dengan ajaran-ajaran yang lain, maka dalam agama Hindu. Yang Maha Esa selalu hadir dari masa ke masa untuk menyelamatkan evolusi manusia mi dan mengarahkan lagi umat manusia ke jalan yang benar, baik itu dalam skala kecil maupun dalam skala besar. Bhagavat ita sebenarnya kalau ditelaah dengan baik adalah suatu ajaran yang penuh dengan pengampunan dan kasih ilahi yang tak terbats, om tat sat

4.9

janma karma ca me divyam
evaḿ yo vetti tattvataḥ
tyaktvā dehaḿ punar janma
naiti mām eti so ‘rjuna

Barangsiapa mengetahui hal ini (Maksud Sang Krishna: Kelahiran dan PekerjaanNya yang Suci ini) secara benar, maka ia tak akan lahir kembali setelah meninggalkan raganya. tetapi ia datang kepadaKu, oh Arjuna!

4.10

vīta-rāga-bhaya-krodhā
man-mayā mām upāśritāḥ
bahavo jñāna-tapasā
pūtā mad-bhāvam āgatāḥ

Bebas dari nafsu. ketakutan dan kemarahan; penuh dengan DiriKu, berserah total kepadaKu, bersih oleh kebijaksanaan yang penuh disiplin dan dedikasi . . . maka banyak orang-orang semacam ini yang telah mendapat DiriKu.

Penjelasan: Setiap menitis (atau reinkamasi) misiNya sudah jelas, yaitu mcngajak kita manusia untuk bersatu lagi dengan Yang Maha Esa, agar lepas dari beban lahir dan ‘mati di dunia ini.

Seseorang yang sudah lepas dari nafsu dan rasa amarah adalah’yang jiwanya sudah penuh dengan Kenikmatan Ilahi. Orang semacam ini kalau melepaskan raganya akan lepas dari perputaran karma, dan langsung menyatu dengan PenciptaNya (madbhava magatah).

Sang Krishna tidak saja lahir sebagai manusia, sering sekali Ia pun datang kepada kita pada saat-saat tertentu dalam hidup setiap individu yang membutuhkanNya. yang memujaNya secara tulus dan tanpa pamrih. Ia datang dan berbisik, mcnuntun ke arah yang benar, scring sekali jalan dan cara menuntunNya ini terasa aneh, misterius dan tak masuk akal, tetapi dibalik itu semua selalu tersembunyi hikmah dan akhir yang baik untuk sang pemuja ini. Bagi yhng menyayangiNya dan yang disayangiNya maka bcrsihlah jiwa orang ini lambat-laun da akhimya bersatu dengan DiriNya. 0m Tat Sat.

4.11

ye yathā māḿ prapadyante
tāḿs tathāiva bhajāmy aham
mama vartmānuvartante
manuṣyāḥ pārtha sarvaśaḥ


Jalan apapun yang diambil seseorang untuk mencapaiKu, Kusambut mereka sesuai dengan jalannya, karena jalan yang diambil setiap orang disetiap sisi adalah jalanKu juga, oh Arjuna!

Penjelasan: Jalan kepercayaan atau agama apapun juga yang diambil seseorang untuk mencapai Yang Maha Esa adalah jalanNya juga. Jadi setiap manusia mcnurut Bhagavat Gita berhak untuk menentukan jalan apa saja yang diinginkannya untuk mencapai Yang Maha Esa, dan di ujung jalan itu berdiri Yang Maha Esa menyambutnya, karena bagiNya semua jalan itu akan berakhir pada suatu ujung. Jadi tidak ada agama yang dibeda-bcdakan olch Sang Krishna atau Yang Maha Esa.

karena tujuannya baik, yaitu ke arahNya semata, walaupun dalam pengertiannya manusia sering salah mengartikannya. Bagi seorang Hindu yang sejati sekmua kepercayaan terhadap Yang Maha Esa dan agama adalah sama, yaitu jalan ke Yang Maha Esa semata, dan tidak ada alasan lain untuk merubah atau mempengaruhi orang yang beragama atau berkepercayaan lain untuk masuk kc agama Hindu. Seorang Hindu yang baik akan selalu tunduk dan hormat melihat tempat-tempat pemujaan agama lain, karena baginya yang ia lihat adalah jalan dan tujuan yang Satu, yaitu jalannya Yang Maha Esa.

4.12

kāńkṣantaḥ karmaṇāḿ siddhiḿ
yajanta iha devatāḥ
kṣipraḿ hi mānuṣe loke
siddhir bhavati karma-jā

 Mereka yang mengingini sukses di muka bumi ini memberikan pengorbanan kepada para dewa (dan merekapun mendapatkan imbalan dari para dewa), karena di dunia ini sesuatu tindakan itu cepat mendapatkan tanggapan (hasil).

Penjelasan:
Tidak semua orang mau maju ke arah Yang Maha Esa, banyak yang memuja para dewa agar dipenuhi keinginan duniawi mereka, dan para dewa ini pun segera memberikan tanggapan atau respons kepada para pemuja-pemuja mereka ini dan memenuhi permintaan mereka. Sebenarnya para pemuja ini secara tidak langsung dan tidak sadar memujaNya juga

melalui proses yang panjang. Suatu waktu kemudian di dalam hati mereka nanti akan timbul suatu kesadaran akan perlunya Yang Maha Esa dan mereka pun mencari dan memujaNya secara tulus dan penuh kesadaran. Yang Maha Esa dalam Bhagavat Gita tidak melarang seseorang untuk memuja para dewa, karena para dewa juga datang dan berasal dariNya. Semua ini ‘ hanya mcrupakan suatu proses panjang dalam tahap-tahap evolusi kehidupan manusia itu’sendiri, bermula pada pemujaan kepada para dewa untuk maksud maksud tertcntu dan setelah itu berakhir dengan kesadaran penuh dan tulus bahwa seharusnya yang dipuja adalah Yang Maha Esa itu sendiri tanpa perlu melalui jalan yang panjang. Seharusnyalah Bhagavat Gita menyadarkan kita semua agar tidak Iagi melalui dedikasi yang tulus, sesuai dengan ajaran-ajaran Sang Krishna ini kita bisa langsung menuju ke arahNya.

4.13
cātur-varṇyaḿ mayā sṛṣṭaḿ
guṇa-karma-vibhāgaśaḥ
tasya kartāram api māḿ
viddhy akartāram avyayām

 Kuciptakan keempat sistim kehidupan (chaturvarnyam), sesuai dengan pembagian guna (sifat-sifat prakriti) dan karma (aksi dan kerja). Walaupun Aku yang mencipta keempat sistim kehidupan ini. tetapi ketahuilah bahwa Aku tidak bekerja dan tak pernah berganti-ganti (sifat).

Penjelasan: Keempat vama adalah empat tipe kehidupan, masing-masing merupakan produk asli dari pikiran dan tindakan manusia itu sendiri yang sudah ada semenjak 1a dllahlrkan. Ada manusia yang ingin menjadi seorang Brahmin, ada yang ingin menjadi tcntara (keshatria), dan ada yang ingin menjadi pedagang dan ada yang memilih menjadi seorang buruh. Semua ini sebenamya adalah manifestasi dari karma, pikiran dan bakat masing-masing sesuai dengan keinginan sejatinya. Harus dicamkan secara serius oleh kita semua bahwa di dalam masing-masing individu ini bersemayam Satu Tuhan dan adalah bebas bila seseorang memilih menjadi brahmin, kshatria, vaishya atau sudra, dan semua ini bukanlah seperti anggapan atau tradisi yang salah yang berlaku selama ini, yaitu seorang ditentukan kastanya karena status atau garis keturunnya, tetapi kastanya ditentukan kemudian sctelah ia menentukan dengan sadar garis dan tujuan hidupnya dan sebagai apa ia akan bekerja sesuai dengan bakat dan kcmauannya yang sejati.

Sistim varna atau kasta ini sebenarnya adalah pembagian kerja dengan konsep yang modern yang disebut kelas di negara-negara Barat. Tetapi banyak masyarakat Hindu malahan menyalah-gunakan ini demi kepentingan pribadi yang akibatnya menimbulkan diskriminasi sosial yang serius yang mengacaukan agama Hindu itu sendiri, dan menjadi bahan tertawaan orang-orang luar. Di satu pihak orang-orang Hindu menjunjung tinggi nilai-nilai Sang Atman dan yakin terdapat satu Atman yang sama di dalam semua mahluk, di lain sisi banyak orang Hindu yang memutarbalikkan fakta-fakta tentang kasta ini dan menimbulkan diskriminasi sosial yang rawan. Sistim yang sebenamya diciptakan untuk fungsi-fungsi sosial masyarakat ini seharusnya dijalankan secara sejati dengan membiarkan seseorang untuk memilih profesi kesukaannya sccara sama derajatnya dengan profesi-profesi lainnya. Konsep Sang Krishna bukanlah meninggi atau merendahkan derajat seseorang tetapi secara dcmokratis membiarkan setiap individu berkehendak masing-masing. Karena bisa saja seseorang yang lahir dengan kasta Brahmana secara duniawi ini mempunyai jiwa patriotik dan ingin mengabdi sebagai seorang keshatria dan begitu pun sebaliknya. Semua manusia didasarkan pada karma, sifat-sifat prakriti dan jalan hidupnya, bukan bcrdasarkan pada sistim kasta yang diskriminatif, atau jenis kelamin yang bcrbeda. Yang Maha Esa sendiri di sloka ini menegaskan bahwa Ia sendiri walaupun sebagai pencipta sistim kasta ini tidak terlibat pada sistim ini maupun pada sifat-sifat prakriti.

4.14
na māḿ karmaṇi limpanti
na me karma-phale spṛhā
iti māḿ yo ‘bhijānāti
karmabhir na sa badhyate

 Tldak ada tindakan yang dapat mengotoriKu dan tidak pula Aku mengingin suatu imbalan dari suatu tindakan. Barangsiapa yang mengenalKu seperti itu tak akan terikat oleh karma (aksi).

Penjelasan: Sang Krishna menerangkan sebuah paradox di sloka ini, yaitu tanpa bekerja pun [a tetap saja mampu mcnciptakan karma dan guna. Tetapi setiap tindakanNya tidak seperti tindakan manusia yang selalu mengharapkan sesuatu pamrih untuk setiap tindakannya. Bagi Sang Krishna setiap tindakan adalah cetusan dari rasa Kasih sayangaNya. Terhadap manusia atau makluk kakluk lainnya. satu pun dari tindakanNya ini yang dapat mengikatnya ke jalur karma karma la memang tidak terikat oleh karma yang diperuntukkan untuk manusia dan mahluk mahluk di dunia ini. Dan barangsiapa menyadari akan status Sang Krishna yang unik ini, maka orang yang sadar ini akan lepas juga dari lingkaran karma (hidup dan mati) ini.

Sebenarnya Yang Maha Kuasa adalah dasar dari setiap tindakan kita. tetapi di mata manusia Ia talc pernah terlihat bahkan sukar untuk disadari kehadiranNya di dalam diri kita karena kegelapan yang menyelubungi diri dan jiwa kita. Walaupun Ia bettindak melalui diri kita, Ia sendiri sebenarnya tidak terlibat atau terpengamh oleh tindakan-tindakan ini, yang merupakan tindakanNya Sendiri.

4.15
evaḿ jñātvā kṛtaḿ karma
pūrvair api mumukṣubhiḥ
kuru karmaiva tasmāt tvaḿ
pūrvaiḥ pūrvataraḿ kṛtam


Mengetahui akan hal ini maka orang-orang dahulu kala telah bertindak sesuai, dengan hal tersebut. Maka seyogyayalah dikau pun bertindak seperti orang orang di masa silam ini.

4.16
kiḿ karma kim akarmeti
kavayo ‘py atra mohitāḥ
tat te karma pravakṣyāmi
yaj jñātvā mokṣyase ‘śubhāt

 Apakah aksi (tindakan) itu? Dan apakan tidak bertindak (akarma)? Kaum yang bijaksana pun kalut memikirkannya. Dengan ini akan Kuberitahukan kepadamu apakah aksi itu dengan mengetahuinya engkau dapat terhindar dari dosa (kesalahan).

4.17
karmaṇo hy api boddhavyaḿ
boddhavyaḿ ca vikarmaṇaḥ
akarmaṇaś ca boddhavyaḿ
gahanā karmaṇo gatiḥ

Seseorang seharusnya tahu apakah aksi itu (perbedaan antara satu aksi dengan yang lainnya), dan aksi apakah yang salah sifatnya (vikarma) dan apakah non-aksi (akarma) yang sebenarnya.

Ketiga bentuk hal tersebut di atas harus diketahui secara benar agar tidak terjadi penyalah gunaan tindakan oleh yang tidak mengerti atau yang tidak mau mengerti dan memutar-balikkan ajaran-ajaran Sang Krishna ini. Pekerjaan atau aksi apa saja yang benar dan harus dilakukan seseorang dalam hidupnya. dan apa saja yang harus dihindarkannya, dan bagaimanakah seseorang harus bertindak agar mencapai suatu bentuk aksi dalam non-aksi misalnya?

4.18
karmaṇy akarma yaḥ paśyed
akarmaṇi ca karma yaḥ
sa buddhimān manuṣyeṣu
sa yuktaḥ kṛtsna-karma-kṛt


Seseorang yang melihat non-aksi di dalam aksi, dan aksi di dalam non-aksi. maka diantara manusia orang ini disebut bijaksana (buddhiman). Hidupnya penuh dengan keharmonisan (yutkah), walaupun ia selalu penuh dengan berbagai aksi (atau perbuatan dan tindakan).

Penjelasan: Seseorang yang tenang ditengah-tengah aktivitasnya. dan aktif dalam ketenangannya adalah seorang yang bijaksana. Dalam setiap tindakannya ia selalu secara stabil dan tenang bersandar pada Sang Atman yang bersemayam di dalam dirinya, dan untuk setiap pekerjaan atau tindakannya ia tak pernah mcngharapkan sesuatu pamrih, jadi walaupun bekerja ia sebenamya “tidak bekprja.” Karena setiap tindakan atau perbuatannya sekecil apapun juga selalu menjadi sembahan bagi Yang Maha Esa, ia selalu melakukan pengorbanan atau pekerjaan demi dan untukNya semata (ini disebut yagna atau aksi yang sebenarnya).

Acapkali kalau kita naik kereta-api atau kendaraan lain, maka pepohonan di kiri dan kanan kita seakan-akan bergerak padahal yang bergerak adalah kendaraan yang kita tumpangi. Jadi yang nampak adalah ilusi. Sebaiknya kita pun dalam setiap tindakan kita berprinsip bahwa pekerjaan yang kita lakukan itu sebenamya adalah ilusi, dan kita sendiri sebenarnya tidak bekerja.

Dalam aksi marilah kita lihat non-aksi, dan dalam non-aksi kita praktekkan aksi. Non-aksi (akarma) sejati tidak berarti tidak bekerja sama-sekali. Misalnya kalau ada tetangga yang amat miskin sedang membutuhkan sesuatu bantuan, dan walaupun ia tidak memintanya, seharusnya kita tidak diam-diam saja tidak berbuat sesuatu kalau memang kita mampu melakukan sesuatu untuknya berdiam-diam saja tak mau tahu itu bukan non-aksi tetapi adalah vikarma (aksi yang salah). Akarma atau non-aksi yang sejati itu penuh dengan keharmonisan jiwa sang pelaku, orang semacam ini selalu nampak tenang dan tidak tergesa-gesa dalam setiap tindakannya. Akarma yang sejati selalu penuh dengan kepasrahan total yang tulus kepadaNya, dan ciri-ciri khas dari tindakan akarma yang sejati ini selalu merupakan tindakan yang positif bagi sesamanya, walaupun secara duniawi bisa saja ia disalahkan. Tetapi secara moral tindakan manusia semacam ini selalu bermotifkan kemanusiaan yang agung sifatnya.

Raja Janaka dan Suka adalah contoh dari dua orang manusia agung di masa yang silam, yangbetul-betul mempraktekkan ajaran ini, dan selalu melihat aksi dalam non-aksi dan non-aksi dalam aksi. Non-aksi yang sejati akan melepaskan diri seseorang dari semua nafsu-nafsu dan cinta duniawinya, juga dari rasa egoisme pribadi tanpa kehilangan tanggung-jawab untuk setiap kewajiban dan pekerjaannya. Inilah yang disebut pasrah total kepadaNya secara spiritual.

4.19

yasya sarve samārambhāḥ
kāma-sańkalpa-varjitāḥ
jñānāgni-dagdha-karmaṇaḿ
tam āhuḥ paṇḍitaḿ budhāḥ


Seseorang yang bertindak bebas dari segala bentuk nafsu (Kama sankalpa). Seseorang yang setiap tindakannya terbakar bersih oleh api kebijaksanaan (gnana-agni) orang semacam inilah oleh orang-orang yang bijaksana. disebut seorang pandita (seorang yang suci, yang sadar akan pengetahuan yang sebenarnya).

Penjelasan: Sankalpa adalah rasa egoisme, dan merupakan dasar dari Kama dan nafsu. Pandit atau pandita adalah seorang yang bekerja demi dunia dan sesamanya (loka-sangraha) di dunia ini, dan hanya merasa cukup dengan apa yang didapatkannya untuk dirinya, sekedar untuk pakai dan makan saja, itu pun sebagai kelangsungan hidupnya demi Yang Maha Esa.

Gnana-agni adalah api ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan apakah itu? Ilmu pengetahuan yang mengatakan bahwa setiap tindakan sebaiknya dikerjakan tanpa suatu nafsu atau keinginan pribadi dan berdasarkan pada penerangan Sang Atman yang ada dalam diri kita sendiri. API dari ilmu pengetahuan ini akan membersihkan semua tindakan kita dan membunuh nafsu-nafsu duniawi kita yang selalu butuh imbalan atau pamrih. Pandita semacam ini amat bijaksana, karena ia melihat aksi dalam non-aksi. raga dan pikirannya selalu bekerja demi Yang Maha Esa dan sesamanya, tetapi untuk dirinya sendiri ia tak pernah bekerja.

4.20
tyaktvā karma-phalāsańgaḿ
nitya-tṛpto nirāśrayaḥ
karmaṇy abhipravṛtto ‘pi
naiva kiñcit karoti saḥ


Seseorang yang telah menanggalkan rasa-keterikatannya pada setiap tindakannya. selalu merasa cukup dengan apa adanya, tidak bersandar pada orang Iain, orang semacam ini tidak melakukan apa-apa walaupun ia selalu aktifbekerja
. .

4.21
nirāśīr yata-cittātmā
tyakta-sarva-parigrahaḥ
śārīraḿ kevalaḿ karma
kurvan nāpnoti kilbiṣam

. Tidak mengharapkan apapun juga, hati dan dirinya terkendali, menanggalkan semua keserakahannya, dan bekerja dengan raganya saja -orang semacam ini tidak bertindak dosa.

4.22
yadṛcchā-lābha-santuṣṭo
dvandvātīto vimatsaraḥ
samaḥ  siddhāv asiddhau ca
kṛtvāpi na nibadhyate

Selalu merasa cukup dengan yang didapatkannya, bebas dari rasa dualisme yang bertentangan (dvandas), tanpa rasa iri atau cemburu, bersikap sama (balans) untuk setiap sukses atau kegagalan walaupun ia bekerja ia tak terikat.

Penjelasan: Orang semacam ini menerima apa saja dalam hidupnya dengan rasa tentram. tenang, damai dan selalu merasa cukup dengan apa adanya. Suka dan duka, sukses dan kegagalan, rugi dan untung, lahir dan mati, dianggap sama saja olehnya. Tak pemah ia merasa iri, dengki atau cemburu melihat kesuksesan atau kekayaan atau pun kejayaan orang .lain. Baginya apa saja yang diberikan oleh Yang Maha Esa terasa cukup dan selalu ia haturkan terima-kasih kepadaNya untuk segala-galanya baik suka maupun duka. Semua tindakan orang semacam ini tak akan mengikatnya lagi ke dunia yang fana ini, karena orang semacam ini telah mendapatkan Karunia Ilahi yang tak terhingga dalam bentuk ketentraman batin dan spiritual.

4.23
gata-sańgasya muktasya
ñānāvasthita-cetasāḥ
yajñāyācarataḥ karma
samagraḿ pravilīyate


Seorang yang keterikatannya telah mati, yang telah bebas dari duniawi (mukta), pikirannya telah teguh berdiri dalam kebijaksanaan. yang mengerjakan pekerjaannya sebagai persembahan maka mencairIah semua tindakan orang semacam ini
.

Penjelasan:
Sang Krishna berulang-ulang menekankan di Bhagavat Gita bagaimana seseorang dapat lepas dari kegelapan duniawi ini, yaitu dengan melakukan suatu atau setiap tindakannya berdasarkan rasa tanpa pamrih. Atau dengan kata lain semua pekerjaan yang kita lakukan haruslah berbentuk persembahan bagiNya.

Rasa ego kita selalu mengatakan ini punyaku dan itu pekerjaan hasil kerjaku, sehingga yang tercipta selalu adalah suatu keterikatan duniawi, dimana kita sendiri terikat dengan ke-aku-an ciptaan kita sendiri. Padahal semua ini bukan milik kita, karena dari mana kita datang dan kemana kita akan pergi pun sebenamya tidak ada manusia yang mengetahuinya secara pasti. Yang hadir hanyalah ilusi, dan tanpa kehendakNya tak ada yang mungkin bisa terjadi. Jadi sebaiknya secara sadar bekerjalah selalu secara aktif, tetapi jadikanlah pekerjaan itu sebagai suatu yagna (persembahan atau ibadah pengorbanan) baginya.

4.24
brahmārpaṇaḿ brahma havir
brahmāgnau brahmaṇā hutam
brahmaiva tena gantavyaḿ
brahma-karma-samādhinā

 Seseorang yang berpikir bahwa tindakan pengorbanan itu Tuhan adanya. Yang dikorbankannya juga Tuhan. Dan oleh Tuhan pengorbanan itu dikorbankan ke Api Tuhan. Maka ke Tuhan jugalah pergi orang yang sadar . akan Ketuhanan dalam pekerjaannya.

Penjelasan:
Sloka di atas ini merupakan suatu pesan yang amat dalam artinya. Secara amat sederhana dapat diartikan bahwa apa yang kita kerjakan, yang kita lihat, yang kita. korbankan adalah Ia juga. Jadi semuanya di dunia ini berasal dari Ia, untuk Ia, dan oleh Ia. Jadi dalam segala hal sebenamya hadir Yang Maha Esa, dan tanpa Ia tak ada apapun di dunia ini. Secara langsung menurut Bhagavat ita, semua itu Iajuga adanya. Seorang yang secara sejati bekerja demi Yang Maha Esa akan dapat melihat fakta ini dalam setiap tindakannya. (Biasanya Sloka di atas ini dipakai oleh orang orang Hindu sebelum menyantap makanan mereka).

4.25
daivam evāpare yajñaḿ
yoginaḥ paryupāsate
brahmāgnāv apare yajñaḿ
yajñenaivopajuhvati

Sementara yogin (para pemuja) mempersembahkan sesajen kepada para dewa, (tetapi) ada juga sementara yogin yang mempersembahkan “diri” mereka ke Api nan Agung.

Penjelasan:
Ada pemuja-pemuja yang membakar sesajen di bara-api, menaikkan puja-puji bagi para dewa agar diberikan kepada mereka imbalan-imbalan tertentu. Tetapi ada juga pemuja-pemuja yang mempersembahkan ego diri mereka sendiri ke Api Abadi Sang Maha Kuasa (Sang Brahman). Para pemuja ini mempersembahkan semua tindakan mereka yang maha Esa tulus dan tampa menghaarapknbsesi imbalan Mereka berkata terjadilah kehendakNya sesuai dengan kehenendakNya.

4.26
śrotrādīnīndriyāṇy anye
saḿyamāgniṣu juhvati
śabdādīn viṣayān anya
indriyāgniṣu juhvati


Ada pemuja yang mempersembahkan pendengaran dan indra-indra lainnya ke api pengorbanan (menjauhi kontak-kontak sensual indra-indra mereka dari obyek-obyek indra-indra ini). Ada yang mempersembahkan suara dan obyek-obyek sensual mereka ke api indra-indra mereka.

Penjelasan:
Banyak pemuja yang mengorbankan pendengaran mereka dan juga indra-indra lainnya dari kontak-kontak sensual indra-indra ini dengan obyek-obyek kontaknya. Usaha ini sebagai disiplin pribadi mereka dalam mengekang atau mengendalikan kegiatan-kegiatan indra-indra mereka seperti mulut, hidung, kuping, dan organ-organ seksual mereka. Disiplin ini dimaksud untuk pemujaan kepada Sang Atman yang bersemayam di dalam diri mereka masing-masing.

4.27
sarvāṇīndriya-karmaṇi
prāṇa-karmaṇi cāpare
ātma-saḿyama-yogāgnau
juhvati jñāna-dīpite


Ada juga pemuja yang mempersembahkan semua tindakan-tindakan indra indra mereka dan semua fungsi tenaga vital (prana) mereka ke api yoga pengendalian yang diterangi oleh ilmu pengetahuan (gnana).

4.28
dravya-yajñās tapo-yajñā
yoga-yajñās tathāpare
svādhyāya-jñāna-yajñāś ca
yatayaḥ saḿśita-vratāḥ

 Tetapi ada juga yang mepersembahkan harta-benda mereka atau, dengan menyakiti diri mereka sendiri, atau dengan disiplin yoga; sedangkan mereka yang mempunyai tekad (atau iman) yang kuat mempersembahkan pengetahuan dan ajaran mereka sebagai pengorbanan mereka.

4.29
apāne juhvati prāṇaḿ
prāṇe ‘pānaḿ tathāpare
prāṇāpāna-gatī ruddhvā
prāṇāyāma-parāyaṇāḥ
apare niyatāhārāḥ
prāṇān prāṇeṣu juhvati


Ada lagi mereka yang penuh dedikasi dalam pengendalian nafas (pranayama). yang mengendalikan jalan prana (nafas) yang dikeluarkan dan jalan apana (nafas yang dimasukkan), dan mengalirkan prana ke apana dan apana ke prana, sebagai persembahan mereka.

4.30
sarve ‘py ete yajña-vido
yajña-kṣapita-kalmaṣāḥ
yajña-śiṣṭāmṛta-bhujo
yānti brahma sanātanam

Ada lagi yang sangat membatasi makanan mereka dan mengalirkan nafas Kehidupan (prana) mereka ke dalam prana mereka sebagai persembahan. Mereka semua ini tahu apa arti dari pengorbanan. dan dengan pengorbanan mereka menghapus dosa-dosa mereka.

4.31
nāyaḿ loko ‘sty ayajñasya
kuto ‘nyaḥ kuru-sattama


Mereka-me‘reka yang memakan sisa-sisa makanan suci yang tersisa dari suatu persembahan (atau pengorbanan) akan mencapai Sang Brahman Yang Abadi (Tuhan). Dunia ini bukan untuk orang yang tak mau mempersembahkan suatu pengorbanan, apa lagi dunia yang Iainnya. oh Arjuna!

4.32

evaḿ bahu-vidhā yajñā
vitatā brahmaṇo mukhe
karma-jān viddhi tān sarvān
evaḿ jñātvā vimokṣyase


. Begitulah banyak ragam cara pengorbanan yang dipersembahkan dihadapan Yang Maha Abadi (cara-cara untuk mencapai Tuhan Yang Maha Esa). Dan’ ketahuilah dikau bahwa semua itu lahir dari tindakan (atau perbuatan)  Dengan mengetahui hal ini dikau akan bebas.

4.33

śreyān dravya-mayād yajñāj
jñāna-yajñaḥ parantapa
sarvaḿ karmakhilaḿ pārtha
jñāne parisamāpyate


Lebih baik dari pengorbanan materi adalah gnana-yagna, yaitu pengorbanan dalam bentuk kebijaksanaan, oh Arjuna! Karena semua tindakan, tanpa kecuali memuncak dalam kebijaksanaan (pengetahuan).

Penjelasan:
Sang Krishna menyebut berbagai cara persembahan atau pengorbanan yang dilakukan manusia kepadaNya. Semua yagna ini timbul berdasarkan tingkat kesadaran manusia-manusia itu sendiri berdasarkan evolusi manusia itu sendiri dalam hidup ini. Setiap manusia berdasarkan sifat-sifat prakritinya membentuk vama (tujuan hidupnya sendiri) secara

pribadi masing-masing dan kemudian mempersembahkan pengorbanan kepada Yang Maha Esa sesuai dengan kondisikondisi yang disandangnya ini. ‘

Ada yang mengendalikan pendengaran mereka dengan tapasya (displin diri berupa tapa atau meditasi) yang ketat. Ada yang melepaskan semua selera-selera indra mereka dan menjauhi obyek-obyek duniawi ini. Ada yang mempersembahkan harta-benda mereka, ada juga yang mempersembahkan berbagai tindakan atau kegiatan spiritual seperti meditasi, swadhaya (membaca secara hening), ilmu, prananyama (pengendalian nafas), dan ada yang mengendalikan cara makan mereka dengan berpuasa atau berpantang sesuatu seperti daging atau benda hidup, dan lain sebagainya. Semua pengorbanan ini kalau dilaksanakan secara tulus akan mengantar seseorang kc arah jalan yang benar, dan semua pengorbanan ini merupakan tangga tangga ke arah kebebasan karma-karma kita.

Semua tindakan pengorbanan ini lahir dari karma (aksi) dan oleh orang-orang yang sadar banyak dilakukan untuk upaya pembersihan diri guna mencapai Yang Maha Esa. Dan barangsiapa dengan jujur, tulus dan tanpa pamrih bekerja demi Yang Maha Esa maka lambat-laun seluruh upaya-upayanya akan terpusat kepadaNya semata. Seluruh tindak-tanduk maupun perbuatannya kemudian akan dikerjakannya secara otomatis dan tanpa sadar demi Yang Maha Esa, dan sesudah itu secara sadar.

Tetapi pengorbanan dalam bentuk kebijaksanaan (gnana-yoga) adalah dianggap sebagai pengorbanan yang suci untuk Yang Maha Esa, dan pengorbanan ini nilainya lcbih tinggi dan luhur dibandingkan dengan pengorbanan-pengorbanan bentuk lainnya. Tetapi jangan menganggap remeh atau rendah bentuk-bentuk pengorbanan yang lainnya, karena semua itu hanya merupakan tangga-tangga dalam evolusiseorang pemuja ke arah spiritual yang lebih tinggi sifatnya. Secara otomatis, bagi seorang pemuja yang tulus semuanya akan diatur olehNya.

Lalu pasti ada yang bertanya mengapa gnana lebih tinggi dari karma? Karena karma selalu menghasilkan imbalan atau pamrih, sedangkan gnana (pengetahuan atau kebijaksanaan) sekali tercapai akan menuju ke Yang Maha Esa, karena gnana yang tulus itu berdasarkan tanpa pamrih. Dalam kebijaksanaan terdapat kebaikan atau kebebasan dari duniawi ini untuk kita semuanya. Orang-orang bijaksana tak akan menyimpan ilmu pengetahuannya untuk dirinya saja, tetapi akan membagi bagikannya kepada yang lain lain agar tercapai kesentosaan untuk semuanya, dan semua itu dilakukannya tanpa pamrih. Karena sudah merupakan kewajiban orang orang bijaksana ini untuk membantu sesamanya untuk menyeberangi lautan luas duniawi ini ke ujung pantainya Yang Maha Esa. Inilah gnana -yagna, yaitu pengorbanan agung dan suci ilmu pengetahuan sejati mereka demi Yang Maha Esa.

4.34
tad viddhi praṇipātena
paripraśnena sevayā
upadekṣyanti te jñānaḿ
jñāninas tattva-darśinaḥ


Pelajarilah kebijaksanaan dengan merendahkan-diri, dengan bertanya (studi) dan dengan bekerja demi seorang guru yang bijaksana). Orang-orang yang bijaksana yang telah melihat Kebenaran akan mengajarimu dengan penuh kebijaksanaan.

Penjelasan: Kebijaksanaan akan diajarkan oleh mereka-mereka yang telah mencapai kebijaksanaan ini, yang penting bagi seorang yang ingin mempelajarinya adalah dengan mengikuti tiga faktor berikut ini: pertama, harus memiliki rasa rendah-diri (pramipata) dalam segala hal, dan ia akan dapat banyak belajar dari seorang guru yang bijaksana. Kedua disebut pariprashna, yaitu dengan studi atau penyelidikan yang seksama. Ia harus mencari sendiri kebijaksanaan ini dengan aktif dan dengan rajin mempelajari ajaran-ajaran para gurunya.Untuk mengerti sendiri arti dari kebijaksanaan ini haruslah menghayatinya secara pribadi. Ketiga, Seva, yaitu bekerja demi sang guru spiritual ini, yaitu sifatnya melayani segala kebutuhan hidup sang guru dengan bekerja untuknya tanpa pamrih, dan menganggap sang guru ini sebagai orang-tuanya sendiri yang harus diperhatikan segala bentuk kehidupannya. Seorang guru yang baik dan tulus sebaliknya akan selalu menolak bakti dari muridnya secara halus, tetapi sang murid harus sadar akan kewajibannya. karena inilah salah satu tangga dari bakti kepada Yang Maha Esa dan sesamanya di dunia ini.

Sebenarnya Guru yang sejati yang disebut Adhi Guru ada dan bersemayam di dalam diri kita masing-masing, tetapi sebagai manusia kita lebih condong kepada bentuk duniawi daripada mendengar suara hati nurani kita sendiri, sehingga selalu diperlukan seorang guru spiritual pada awalnya untuk kita semua agar kita dapat lebih memahami apa yang sedang kita pelajari. Pada tahap lanjut nanti seorang guru spiritual hanya berfungsi sebagai jembatan, dan mengantarkan kita ke Sang Adhi Guru yang sebenarnya tidak jauh berada dari kita semua.

Sebenarnya dalam kepercayaan agama Hindu, seorang yang tulus dan ingin menuju ke jalan Yang Maha Esa, tidak perlu kesana-kemari secara mati-matian untuk mencari seorang guru spiritual baginya. Yang penting adalah menyiapkan diri dan batinnya secara tulus dan memohon kepada Yang Maha Esa agar dituntun jalannya, maka pada bentuk seorang guru dan membimbingnya kearah Yang Maha Esa. Percaya atau tidak, tetapi seorang guru spiritual pasti akan datang atau bertemu sendiri dengan murid pilihannya sendiri pada suatu waktu yang tepat. Seorang pemuja yang tulus dengan ini bukan berarti lalu diam-diam saja; tidak, ia harus berusaha dengan tulus untuk menemukan guru ini, tetapi semuanya akan terjadi pada saatnya yang tepat. Kemudian kalau ini terjadi belajarlah sang murid dengan tulus dan penuh dengan kerendahan hatinya, dan pada suatu waktu yang tepat sang guru ini akan menurunkan kebijaksanaannya kepada sang murid ini. Ada guru guru yang begitu luar-biasa kharismanya sehingga dalam sekejab dapat membuka pintu hati sang murid dengan satu sentuhan spiritual saja. Semua ini tentunya berdasarkan persiapan mental yang tulus dari sang murid dan atas berkah Yang Maha Esa semata. Sebenarnya semuanya sudah diatur olehNya juga, tidaklebih dan tidak kurang. Om Tat Sat.

4.35
yaj jñātvā na punar moham
evaḿ yāsyasi pāṇḍava
yena bhūtāny aśeṣāṇi
drakṣyasy ātmany atho mayi


Dan setelah mengenal kebijaksanaan ini (gnana) dikau, oh Arjuna, tak akan jatuh lagi kedalam kekalutan. Karena dalam kebijaksanaan ini, dikau akan melihat semua mahluk, tanpa kecuali, berintikan pada Sang Atman, dan lalu dalam DiriKu.

Penjelasan: Kebijaksanaan ini sebenarnya adalah ilmu pengetahuan spiritual, ilmu pengetahuan yang sejati yang membuka kenyataan tentang kesatuan antara kita dengan Yang Maha Esa. Kesatuan antara semua mahluk dengan Sang Atman, dengan jiwa kita, dengan Yang Maha Esa. Dan kalau suatu waktu kita betul-betul sadar sendiri akan kesatuan ini, maka tercapailah kesadaran-diri atau kesadaran akan hadirNya dan kesatuanNya Yang Maha Esa dengan diri kita.

Kebijaksanaan ini adalah melihat atau mengerti dalam arti yang sebenarnya. bahwa semua di dunia ini jatuh dalam satu garis atau suatu kesatuan, yaitu Yang Maha Esa. Kita tidak hanya harus percaya atau merasa atau mengerti, tetapi setelah mencapai kcbijaksanaan ini seseorang akan melihat bahwa semua mahluk, benda. susunan kosmos atau alam semesta ini berserta seluruh isinya berada dalam suatu kesatuan yang Esa, yaitu kesatuan Sang Atman. Para ilmuwan mengatakan bahwa setiap benda ada dan bergerak di alam semesta ini. Seseorang yang sadar melihat bahwa setiap benda ada dan bergerak dalam suatu kesatuan Ilahi.

4.36
api ced asi pāpebhyaḥ
sarvebhyaḥ pāpa-kṛt-tamaḥ
sarvaḿ jñāna-plavenaiva
vṛjinaḿ santariṣyasi

Walaupun dikau ini adalah seorang yang paling berdosa di antara mereka mereka yang berdosa, tetapi dikau dapat menyeberangi semua dosa-dosa ini hanya dengan berperahu kebijaksanaan saja.

Penjelasan : Kata-kata atau sabda Sang Krishna ini penuh dengan pesan-pesan harapan bagi kita, manusia, coba bayangkan bahkan seorang yang paling berdosapun dapat langsung mencapai Yang Maha Kuasa dengan dedikasi yang tinggi. Kalau dipikir pikir siapa di dunia ini yang tak pernah berdosa atau pernah sesat dalam hidupnya, dan tak seorangpun ini harus kehilangan harapannya, selama ia mau mengoreksi kehidupannya dan berjalan penuh dedikasi dan kesadaran kepadaNya. Ia akan mengangkat kita semua dari lembah dosa dan menuntun tangan kita kearahNya selalu. Semua rasa keterikatan duniawi adalah dosa, dan bukan saja keterikatan pada hal-hal yang tidak baik, tetapi keterikatan pada hal-hal yang dianggap baik seperti dharma itu sendiri, atau pada rasa egoisme yang dianggap positif. Seseorang yang merasa dirinya adalah orang berdosa. Jadi sebelum meneliti seseorang lain sebaiknya hilangkan dulu rasa egoisme pribadi kita.

4.37

yathaidhāḿsi samiddho ‘gnir
bhasma-sāt kurute ‘rjuna
jñānāgniḥ sarvakarmaṇi
bhasma-sāt kurute tathā


Ibarat api yang membara membakar kayu-kayu menjadi abu, oh Arjuna, begitu pun api kebijaksanaan membakar semua aksi (tindakan) menjadi abu.

Penjelasan: Gnana (kebijaksanaan) membakar semua karma kita yang telah terkumpul maupun yang akan datang menjadi abu, maksudnya gnana itu begitu tinggi nilainya sehingga semua karma kita termasuk yang akan datang dapat tumpas karenanya. Dan hanya karma yang telah membuahkan hasil saja yang harus dilewati.

4.38
na hi jñānena sadṛśaḿ
pavitram iha vidyāte
tat svayaḿ yoga-saḿsiddhaḥ
kālenātmani vindati

Sebenarnya tidak ada yang lebih menyucikan diri selain kebijaksanaan. Seseorang yang telah sempurna dalam yoga (ilmu pengetahuan)nya. akan menemukan kebijaksanaan ini di dalam dirinya sendiri Sang Atmannya sesuai dengan waktunya.

  1. 39

śraddhāvāl labhate jñānaḿ
tat-paraḥ saḿyatendriyaḥ
jñānaḿ labdhvā parāḿ śāntim
acireṇādhigacchati

 Seseorang yang mempunyai iman dan telah bersatu dalam kebijaksanaan dan telah menguasai indra-indranya ia akan mendapatkan kebijaksanaan ini. Dan setelah mencapai kebijaksanaan ini

maka segera ia menuju ke Kedamaian Yang Abadi (Ketenangan llahi, dimana tidak ada kematian lagi.)

4.40

ajñaś cāśraddadhānaś ca
saḿśayātmā vinaśyati
nāyaḿ loko ‘sti na paro
na sukhaḿ saḿśayātmanaḥ


Tetapi barangsiapa yang tidak tahu, tidak memiliki kepercayaan. yang selalu ragu-ragu sifatnya, akan pergi ke kehancuran. Untuk seseorang yang ragu ragu tak akan ada dunia ini atau dunia yang lebih tinggi Iagi, bahkan baginya tidak ada kebahagiaan.

Penjelasan: Kepercayaan yang sifatnya penuh dengan keragu-raguan pada yang akan menyesatkan seseorang dalam perjalanannya mencari kebenaran. Rasa ragu-ragu mengisi jiwa seseorang dengan keputus-asaan, dan terhambatlah sinar yang menerangi orang ini.

  1. 41

yoga-sannyasta-karmaṇaḿ
jñāna-sañchinna-saḿśayam
ātmavantaḿ na karmaṇi
nibadhnanti dhanañjaya

 Seseorang yang telah menyerahkan semua aksi atau tindakan-tindakannya dalam yoga (bekerja tanpa pamrih), yang telah menebas keragu-raguannya dengan kebijaksanaannya, dan selalu memiliki Sang Atman (yang selalu dibawah naungan atau perintah Sang Atman) -maka untuk orang semacam ini tidak ada aksi yang mengikatnya, o Arjuna! ‘

Penjelasan:
Seseorang yang sesuai dengan karma-yoga bekerja tanpa pamrih walau apapun statusnya dalam masyarakat, dan telah bulat tekadnya ke arah Yang Maha Esa, dan telah hilang sama sekali keragu-raguannya, maka orang semacam ini hanya bekerja demi Yang Maha Esa sesuai dengan bisikan Sang Atman untuk yang telah mencapai status ini tak ada karma atau aksi yang mengikatnya. Orang semacam ini dikatakan telah mempersembahkan karmanya kepada Yang Maha Esa sebagai persembahan kasih-sayangnya pada Ilahi. Dan ia pun akan memiliki Sang Atman dalam dirinya secara sadar. Ia akan dituntun dalam segala aksinya, dijauhkan dari kegelapan duniawi. Secara benar dan sadar ia akan merasakan semua bisikan dan tuntunan Sang Atman di dalam dirinya, dan ini merupakan suatu tahap yang sangat tinggi dalam kehidupan spiritual seseorang. Dan tidak ada lagi tahap yang lebih tinggi lagi dalam kehidupannya sebagai manusia, karena ia telah mencapai status yang terpilih olehNya.

4.42

tasmād ajñāna-sambhūtaḿ
hṛt-sthaḿ jñānāsinātmanaḥ
chittvāinaḿ saḿśayaḿ yogam
ātiṣṭhottiṣṭha bhārata


Dengan demikian, tebas dan buanglah jauh-jauh keragu-raguan dalam hatimu, yang timbul dari kekurang-pengetahuanmu, teguhkan dirimu dalam yoga (ilmu pengetahuan sejati) dan berdirilah, oh Arjuna!

Penjelasan :
Seseorang yang penuh dengan kebijaksanaan adalah seorang manusia yang bebas dan tak ada aksi atau tindakan yang dapat mengikatnya lagi, karena setiap ia bertindak ia selalu menyerahkannya kepada Yang Maha Esa secara sadar dan tulus orang semacam ini telah menebas habis keragu-raguannya dengan imannya yang tebal terhadap Yang Maha Esa.

Pesan Sang Krishna untuk Arjuna di atas ini sebenarnya berlaku untuk kita semua dan bermakna: bangkitlah dan maju berperang, dikau prajurit-prajurit Yang Maha Esa, bangkitlah dan bekerja demi kewajibanmu sebagai seorang karma-yogi, bekerjalah tanpa pamrih. Adalah kewajibanmu (dharma) untuk berperang melawan angkara-murka, nafsu dan keinginan duniawi yang sebenamya adalah kegelapan yang melilitmu dari jalan kembali ke Yang Maha Pencipta.

Demikianlah dalam Upanishad Bhagavat Gita, llmu pengetahuan yang abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Krishna dan Arjuna, maka karya ini adalah bab keempat yang disebut :

Gnana Yoga

Atau

Ilmu pengetahuan tentang kebijaksanaan

Bhagavad Gita Bab II

Bhagavat Gita Bab II

 Dimulailah Ajaran Bhagavat Gita

Berkatalah Sanjaya

Sloka 1.
Sang Krishna pun penuh dengan perasaan iba bersabda kepada Arjuna yang sedang dalam keadaan gundah, dan kedua matanya penuh dengan linangan air mata dan merasa dirinya tanpa semangat dan harapan lagi.

Berkatalah Sang Krishna Yang Maha Pengasih
Sloka 2.
Dari manakah timbulnya depresi batinmu ini, pada saat-saat yang penuh dengan krisis seperti ini? Menolak berperang adalah tidak pantas untuk seorang Aryan. Penolakan ini akan menutup pintu masuk ke sorga. Penolakan ini adalah puncak dari kehinaan. oh Arjuna!

Sloka 3.
Janganlah bertindak sebagai seorang pengecut, oh Arjuna! Tiada laba yang akan kau petik dari kelakuanmu ini. Buanglah jauh-jauh kelemahan hatimu. Bangkitlah, wahai Arjuna!

Berkatalah Arjuna
Sloka 4.
Bagaimana mungkin, wahai Krishna. daku menyerang Bhisma dan Drona dengan panah-panahku dalam perang ini? Bukankah mereka sebenarnya layak untuk dijunjung tinggi, oh Krishna?

Sloka 5.
Lebih baik hidup sebagai pengemis di dunia ini, daripada membantai para guru yang agung ini. Dengan membunuh mereka, yang kudapatkan hanyalah kepuasan yang bergelimang darah!

Sloka 6.
Juga kami tak tahu manakah yang lebih baik kami mengalahkan mereka atau mereka mengalahkan kami. Dengan membunuh putra-putra Dhristarashtra. yang berdiri sebagai lawan, berarti juga menghilangkan sendi-sendi kehidupan (keluarga besar mereka).

Sloka 7.
Seluruh svabhavaku (jiwa-ragaku). serasa sedang dirundung rasa lemas dan rasa iba. dan hatiku bimbang untuk melaksanakan kewajibanku ini. Maka kumohon kepadaMu. Ajarilah daku, sesuatu yang pasti, yang manakah yang lebih baik. Daku adalah muridMu.‘ Daku berlindung di dalam diriMu. Ajarilah daku.“

Penjelasan :
Arjuna terombang-ambing di antara kesedihannya dan rasa tanggung jawahnya dalam menunaikan kewajibannya sebagai seorang kesatria. Dan puncak dan keragu-raguannya ini adalah berpasrah diri kepada Sang Krishna agar dltunjukkan jalan yang benar dan pasti.

“‘ ‘ Aku adalah muridmu dan aku sedang mencari penerangan’: inilah kira kira yang dimaksud oleh Arjuna. Dalam hidup ini ada tiga tahap untuk semang jignasu (seseorang yang mencari); pertama-tama ia akan masuk dalam tahap “mencari.” kedua ia akan menjadi seorang murid, seorang yang ingin sekali belajar sesuatu dan pada tahap ketiga ia menjadi seorang “anak” dari sang Guru untuk kemudian dituntun. Selanjutnya sang jignasu akan masuk kedalam suatu tahap yang “tenang” dan tidak lagi dalam keadaan “depresi.”

** ‘Ajarilah daku’ dalam bahasa Sansekertanya adalah “shadhi mam.” yang juga dapat berarti pengaruhilah daku. Seorang Guru kebatinan tidak saja mengajari muridnya dengan ajaran secara verbal maupun tertulis tetapi juga akan menimbulkan suatu “shakti” atau “energi” di dalamdiri seorang murid. Dalam pengembaraan kita dari setitik atom sampai ke Atman (Inti-Jiwa kita), kita semua memerlukan sebuah jembatan, dan jembatan ini adalah seorang Guru yang sejati. Carilah dia dan berlindunglah di dalamnya, niscaya kau akan berhasil melalui jembatan ini ke tujuanmu. Tetapi ingat seorang guru bukan untuk berbantah bantah, seorang guru adalah penuntunmu, dan engkau harus tulus jiwa dan ragamu dalam pengabdianmu kepadanya, dan barulah jalan akan terbuka, bukan dengan berdebat kepadanya.

Sloka  8.
Rasa bimbang ini merubah seluruh indraku menjadi layu. Aku tak melihat masa depan. walau seandainya aku berkuasa tanpa batas atas seluruh permukaan bumi ini atau pun atas para Dewa-Dewa.

Berkatalah Sanjaya
Sloka 9.
Setelah ucapan-ucapan Arjuna ini selesai. Arjuna berkata kepada Sang Krishna: “Aku tak akan berperang.” Dan dengan kata-kata ini Arjuna pun langsung berdiam diri’.

Penjelasan :
Arjuna bersikap diam diri. Diam atau pun hening sebenarnya adalah salah mu “guru” kita. ’

Sloka 10.
Kemudiah Sang Krishna penuh dengan senyuman bersabda kepada Arjuna yang masih diliputi kedukaannya (masih terduduk) di kereta yang berada di antara kedua laskar ini.

Penjelasan :
Krishna tersenyum karena ia mengetahui bahwa kesedihan Arjuna srbenarnya adalah proses cinta-duniawi yang terpengaruh oleh ilusi Sang Maya. Arjuna sedih karena belum memiliki ilmu pengetahuan yang sejati. Arjuna harus melewati dulu semua rasa egonya baik yang buruk maupun yang baik, untuk mencapai suatu “pengertian” tentang hidup ini.

Sang Krishna tersenyum karena Ia sadar bahwa Arjuna harus melalui ’proses “habis gelap terbitlah terang.” Arjuna harus disadarkan dan diluruskan jalan pikirannya bahwa tradisi lama memang tidak boleh dibunuh tetapi sebaliknya harus dimanfaatkan sebagai alat bagi langgengnya kebenaran untuk segalanya. Keadilan harus ditegakkan kalau tidak agama dan tradisilah yang akan menuju ke arah kehancuran total.

Sang Krishna tersenyum karena apa yang diutarakan oleh Arjuna adalah kulit luar dari kitab-kitab shastra dan Upanishad. Arjuna lupa akan isi ajaran-ajaran semua itu dalam bentuk yang sebenarya. Apakah dharma itu sebenarya? Arjuna alpa akan hal itu, baginya dharma adalah tradisi dan peraturan yang sesuai dengan adat. istiadat ritual; bagi Sang Krishna dharma adalah suatu peraturan atau tata-cara atau hukum yang menganjurkan/mewajibkan seseorang untuk bekerja demi Yang Maha Esa, sesuai dengan segala kehendakNya, untuk mereka-mereka yang menderita dan tersiksa dan diperlakukan tidak adil, dan semua itu tanpa pamrih dalam bentuk apapun juga, tetapi diserahkan kembali kepada Yang Maha Esa.

Berkatalah Sang Maha Pengasih

Sloka 11.
Dikau bersedih hati untuk mereka yang seharusnya tidak perlu dikau risaukan, tetapi dikau bertutur seakan dikau amat bijaksana. Seseorang yang bijaksana tak pernah bersedih baik untuk yang hidup maupun untuk yang telah tiada.

Penjelasan :
Kesedihan Arjuna adalah berdasarkan “kebodohan,” Arjuna tidak sadar akan arti hidup dan mati yag sebenamya, kedua-duanya adalah permainan Sang Maya (Ilusi Ilahi), Inti-Jiwa (Atman) kita tak akan pernah mati. Seseorang yang “bijaksana” akan terus jalan dalam hidup

ini penuh dengan dedikasi akan tugas-tugasnya bagi Yang Maha Esa tanpa perduli akan ilusi yang beraneka-ragam bentuknya yang selalu mencoba mencengkeram kita dengan bcrbagai cara baik itu baik maupun yang buruk. baik dengan jalan kekerasan maupun kasih-sayang (moha). Bukankah Columbus yang terserang badai dalam suatu pelayarannya pernah berteriak, “Lajulah terus, terus, terus dan terus, terus.” Di dunia ini tidak ada jalan mundur, yang ada hanyalah jalan terus baik kita mau atau tidak. Tidak ada jalan lain.

Bab ini desebut Sankhya Yoga yang berarti yoga Kebijaksanaan, kebijaksanaan yang disarikan dari seluruh Upanishad-Upanishad. Sloka 11-38, akan banyak mengupas soal kebijaksanaan ini.

Sloka 12.
Tiada waktu di mana Aku tak pernah hadir dan juga engkau, juga mereka mereka ini, dan juga semuanya, dan kita semua akan selalu terus hadir.

Penjelasan :
Badan atau raga kita akan selalu hidup dan mati sesuai dengan mas pakainya, tetapi Inti-Jiwa (Atman) akan selalu mengembara dari satu raga ke raga yang lainnya, tanpa henti sesuai dengan karmanya. Inilah yang harus disadari Arjuna. Seseorang sebenarnya tidak pernah mati, yang mati adalah raganya, suatu permukaan kasar yang merupakan medium belaka. Raga selalu menikmati semua kesenangan dan juga merasakan penderitaan yang diakibatkan oleh kesenangan itu, tetapi Atman akan jalan terus tanpa terkontiminasi sedikitpun. Arjuna dalam kebodohannya mencampur-adukkan antara yang “nyata” dengan yang “tidak nyata.”

Sloka 13.
Sang inti Jiwa ini berkelana dari satu raga ke raga lainnya sambil melewati masa kanak-kanaknya. masa remaja dan masa tuanya. Seorang yang bijaksana akan maklum akan semua ini dan tidak terpengaruh oleh ilusi ini.

Penjelasan :
Timbul pertanyaan mengapa Sang Jiwa selalu berkelana dari satu raga ke raga yang lainnya, tidak lain karena harus melalui berbagai perjalanan yang sudah digariskan oleh Yang Maha Pencipta, dan merupakdn pengalaman untuk memperkaya diri Sang Atman ini, dan pada akhimya kembali kc Sang empuNya sesuai dengan tugas dan siklus yang sudah diatur. Sedangkan raga itu sendiri sebagai suatu medium harus juga melalui berbagai tahap seperti masa kanak-kanak, remaja dan masa tua. sesudah itu binasa dan Atman berpindah ke raga lainnya, dan begitulah siklus ini berputar terus seakan-akan tidak ada akhirnya.

Sloka 14.
Setiap hubungan kita dengan berbagai obyek (duniawi), oh Arjuna. menimbulkan dingin dan panas, kesenangan dan penderitaan. Semua ini datang dan pergi. dan tidak abadi. Hadapilah semua ini, Arjuna (sebagai sesuatu fakta).

Penjelasan :
Atman sendiri sebenarnya tidak  terpcngaruh oleh semua obyek sensual duniawi ini, yang terpengaruh dan merasakannya ini adalah raga yang ditumpangi Atman. Raga ini setelah ditumpangi Atman akan mcrasakan dingin dan panas, kesenangan dan pcnderitaan. dan sebagainya. Semua ini haus kita maklumi dan kita jalani

sebagai sesuatu yang datang dan pergi. Kita harus bersikap tidak terikat kepada semua ilusi ini tetapi juga tidak menutup mata, bahkan harus kita hadapi dan rasakan semua itu sebagai dedikasi kita kepadaNya, demi dan untukNya.

Sloka 15.
Seseorang yang tenang dalam kesenangan dan penderitaan tidak terusik oleh kedua-duanya ia hidup dalam suatu kehidupan yang tak pemah mati. oh pemimpin diantara anak-anak manusia (Atjuna)!

Sloka 16.
Yang tidak sejati tidak mempunyai bentuk, Yang Sejati tak pemah ada habis-habisnya. Kebenaran kedua hal ini telah dirasakan oleh para pencari Kebenaran.

penjelasan :
Yang sejati di sini adalah Atman (Inti Jiwa Kita), yang tidak sejati adalah raga kita yang selalu habis dan binasa, sedangkan Atman terus berkelana tanpa ada batas-bacasnya.

Raga kita berbentuk asat: tidak abadi, dapat rusak atau mati dimakan waktu atau keadaan. Sedangkan Atman adalah sat: Kesejatian yang Abadi, dalam Sat selalu tercipta yang baru, tanpa henti hentinya, terus-menerus, abadi dan langgeng. Bukankah Itu sama saja dengan Yang Maha Pencipta.

Seorang penyair Barat yang terkenal di dunia pemah menulis:

Yang Satu Abadi, yang banyak berganti dan berlalu, Cahaya Ilahi bersinar tanpa habis, bayangan bumi hilang berterbangan. Hidup, bagaikan sebuah rumah kaca yang memantulkan pelangi berwarna -warni, Sebenarnya bersumber pada wama putih yang abadi, (Percy Bysshe Shelley)

Sloka 17.
tiada seseorang pun mempunyai kekuatan untuk menghancurkan Yang Tak Pemah Binasa, ‘Yang menunjang semua ini. Ketahuilah Ia tak akan pemah bisa dihancurkan.

Penjelasan :
Yang dimaksudkan Yang Tak Pemah Binasa di sini adalah Atman (Yang ‘sebenamya adalah sepercik kccil dari Brahman). Raga kita akan hancur dan berganti raga lain, tetapi Atman tak akan pemah binasa karena Ia abadi.

Sloka 18.
Raga yang ditumpangi Sang Jiwa yang abadi, dan yang tak bisa dihancurkan atau terjangkau oleh pikiran, dikatakan tidak abadi Jadi berperanglah, oh Arjuna!

Sloka 19.
Seseorang yang berpikir bahwa ia membunuh, atau seseorang yang berpikir . ia terbunuh kedua-duanya tidak memahami dengan baik arti dari kebenaran. Tiada seorangpun yang sebenamya dapat membunuh atau terbunuh.

Sloka 20.
Tak ada seseorangpun yang pernah dilahirkan atau pun suatu saat nanti harus mati. Tak ada seorangpun sebenamya yang hilang atau terhenti proses hidupnya (eksistensinya). la tak pemah dilahirkan; bersifat konstan, abadi dan telah ada semenjak masa yang amat silam. la tak pemah mati walau raga habis terbunuh.

Penjelasan :
Emerson seorang penyair terkenal dari Barat pernah mengatakan tentang Atman sebagai berikut: “Aku datang, lewat dan berputar lagi.” Sedangkan Yesus perah bersabda kepada orang-orang Yahudi, “You are gods” (Engkau semuanya adalah dewa dewa). “Barang siapa mengenal dirinya sendiri tahu akan Cahaya ini,” kata fIlsuf terkenal Lao Tse dari Cina, scdangkan seorang sufi terkenal pemah berkata, “Inti dirimu adalah inti Tuhan itu sendiri.”

Sloka 21.
Seseorang yang mengenal bahwa Jati Dirinya tak akan dapat dihancurkan dan selalu abadi. tak perah dilahirkan dan tak perah berganti-ganti. bagaimana mungkin orang seperti itu membunuh, oh Arjuna, atau bahkan mengakibatkan orang Iain jadi pembunuh?

Penjelasan :
“Seseorang yang mengenal Jati Dirinya,” Sadar Dirinya hanyalah saksi dan bukan yang melakukan sesuatu tindakan atau aksi, inilah arti yang tersirat dari mukti atau penerangan yang sesungguhnya.

Sloka 22.
Seperti seseorang yang mengganti baju usangnya dengan baju yang baru. begitupun Jiwa ini berganti-ganti raga dari yang lama ke yang ham.

Penjelasan :
Dalam Shanti Parwa yang terdapat di kitab Mahabarata, ada perumpamaan lain dari proses jalannya Jiwa ini yang diibaratkan sebagai seseorang yang pindah dari rumahnya yang usang ke rumahnya yang baru; inilah jalan kehidupan Sang Jiwa dari saw raga ke raga lainnya. Tetapi harus diingat bahwa yang dimaksud ini bukan raga manusia saja tetapi bisa juga bcrbagai ragam raga yang ada di alam semesta ini.

Sloka 23.
Tidak ada senjata yang dapat memisah-misahkanNya, tidak juga api dapat membakarNya, atau air membuatNya basah, bahkan anginpun tak dapat mengeningkanNya.

Sloka 24.
Tak terpisahkan Ia. Tak terbakarkan la. Tak berbasahkan dan terkeringkan la. la abadi dan hadir di mana saja. Ia selalu konstan dan tak tergoyahkan. la hadir semenjak masa yang amat silam, dan selalu sama selama-iamanya.

Penjelasan :
Inilah gambaran dari Atman (Inti Jiwa) kita, yang karena bentuknya yang sangat unik. tak dapat digambarkan secara duniawi, tetapi dapat kita fahami sebagai sesuatu yang berbentuk Ilahi dan selalu konstan dan abadi. Tak akan rusak atau pun binasa.

Sloka 25.
Tak terterangkan, tak terpikirkan dan tak dapat diubah-ubah -begitulah la disebut. Setelah mengenalNya seperti itu, seharusnya-engkau (Arjuna) tak perlu lagi merisaukan hatimu.

Penjelasan :
Diri ini harus bersih dulu dari segala keterikatan duniawi ini yang aneka-ragam rak dan bentuknya, setelah itu kita akan lebih mengerti akan hadirNya Sang Atman dalam diri kita dan mengenalNya lebih baik. Selama kita masih diliputi rasa-ego (apa saja bentuknya), rasa ketakutan duniawi, dan selalu terikat kepada unsur-unsur disekitar kita dan tak pemah menyerahkan semua ini kepadanya secara tulus, selama itu juga yang dekat akan terasa amat jauh. Sebenamya Ia amat dekat di dalam diri kita sendiri. Kenalilah Dia!

Sloka 26.
Pun sekiranya kau pikir Sang Jiwa (Atman) ini bisa mati dan hidup, dan tidak bersifat abadi, wahai Arjuna, tak perlu juga dikau harus risau dan bersedih hati.

Sloka 27.
Karena sudah pasti yang lahir harus binasa dan yang binasa harus lahir. Jadi janganlah dikau bersedih untuk sesuatu yang sudah pasti dan semestinya ini.

Sesuatu yang sudah digariskan Ilahi tak akan bisa berubah, jadi sebenarnya tak perlu dirisaukan lagi, (que sera sera) apa yang akan terjadi terjadilah. Mati-hidup kemudian‘ hidup-mati, dan seterusnya sudah semestinya begitu, jadi apa yang harus dirisaukan Iagi. Tidak ada jalan‘ lain; yang mau ‘tak mau harus kita terima karena sudah tidak ada jalan lain, ‘takdir sudah mengaturnya begitu. Yang panting adalah kesadaran untuk menerimanya sebagai kewajiban kita kcpada Ilahi, bukan karena terpaksa.

Keadaan dari mereka-mereka yang belum dilahirkan tak dapat diterangkan dalam bentuk duniawi ini. Tetapi pada periode antara kelahiran dan kematian situasi mereka dapat kita Iihat dan fahami. Setelah mati mereka kembali Iagi ke suasana yang tak dapat diterangkan ini Iagi. Jadi untuk apa dikau harus bersedih hati, wahai Arjuna? ‘

Penjelasan :
Jadi sebenarnya yang diketahui oleh kita manusia ini hanyalah bentuk kehidupan yang terjadi antara kelahiran sampai dengan kematian kita dan orang-orang disekitar kita saja. Sebelum dan sesudah itu gelap dan tidak terang bagi kita. Yang kita rasakan atau kita lihat hanya sedikit yang ditengah-tengah saja, ujung dan pangkalnya kita tak akan pernah tahu. Lalu untuk apa kita bersedih hati, toh kita datang dari suatu alam yang tidak kita ketahui dan kemudian harus kembali ke sana juga, dan ini berlangsung terus tanpa henti-hentinya.

Lalu untuk apa risau akan semua masalah yang harus kita hadapi, bukankah kita ini sebenarnya hanya alatNya saja di dunia ini, yang dikirimkan untuk melakukan tugas-tugasNya saja, jadi berbaktilah kita seharusnya sesuai dengan kehendakNya. Itulah dharma-bhakti yang semestinya.

Sloka 29.
Ada yang mengesankanNya sebagai sesuatu yang amat menakjubkan, ada yang membicarakanNya sebagai sesuatu yang amat menakjubkan, dan ada juga yang mendengarkanNya sebagai sesuatu yang amat menakjubkan, tetapi tak seorang pun yang benar-benar dapat mengenalNya (mengetahuiNya) dengan pasti apa Ia sebenarnya.

Penjelasan :
Kebenaran tentang Atman sebenarya terbuka untuk kita semuanya dan mereka mereka yang merasakanNya menjadi takjub sendiri. Toh tidak semua kita ini dapat merasakan ketakjuban ini, karena sudah tcrsandung dalam perjalanan sebelum mencapaiNya. Ada yang ragu-ragu, ada yang terhadang oleh kesulitan-kesulitan dan hanya scdikit yang sampai ke Tujuan yang menakjubkan ini. Bersambing ke alia

Timbul pertanyaan kalau Dia memang mengasihi kita lalu mengapa banyak yang harus tersandung sebelum mencapaiNya? Scbenarnya Yang Maha Kuasa meberikan kita kebebasan untuk mcmilih, dan sering sekali kita-kita ini lebih condong untuk terikat dengan segala unsur-unsur duniawi ini yang seakan-akan sudah jadi milik kita atau sudah menjadj urusan pribadi kita yang tak dapat diganggu-gugat.

Seharusnya kita harus melepaskan semua unsur ego baik yang positif maupun yang negatif, dan menyerahkannya semua kepadaNya untuk kemudian dibimbing olehNya sesuai dengan kehendakNya. Jadilah seperti seorang anak kecil yang bersandar pada orang-tuanya, polos, bersih dan jujur dalam segala aspeknya. Dan seperti juga orangtua kita yang akan selalu membimbing kita dalam suka dan duka, maka Yang Maha Kuasa pun akan selalu menunjukkan jalan kita dalam setiap tindak-tanduk kita. Ia sebenarnya setiap hari mengetuk pintu hati kita dan tersenyum penuh cinta-kasih,

yang menjadi masalah adalah kita menganggapNya ia berada di tempat yang amat jauh. Bukankah Ia tersirat dalam keheningan, bahkan Ia.sebenarnya dapat ditemui setiap saat dalam diri pribadi kita masing-masing yang juga adalah DiriNyg sendiri. Ia hadir selalu dalam diri kita, tak usah jauh-jauh mencarinya’di hutan atau di laut, di bulan atau di matahari, carilah Dia dalam ketenangan dirimu senidiri.

Sloka 30.
la yang bersemayam dalam setiap mahluk adalah Kehidupan dalam setiap mahluk la tak tersentuh senjata apapun juga. Jadi Arjuna, seharusnya dikau tidak bersedih hati untuk mahluk apapun juga.

Penjelasan :
Yang dimaksud Sang Krishna di sini, adalah Sang Arjuna boieh saja memikirkan dan memperhatikan semua mahluk di dunia ini, malahan itulah salah satu aspek penting dalam dharma. Tetapi juga harus tahu bahwa yang bersemayam dalam setiap mahluk ini, yang disebut Atman tak akan bisa binasa walau apapun yang terjadi. Jadi sebenamya Arjuna tidak perlu sedih. karena kesedihan itu sia-sia belaka takdir sudah menentukan jalan hidup setiap mahluk ciptaanNya sesuai kehendakNya dan bukan sesuai kchendak Arjuna atau kita semuanya.

Sloka 31.
Dedikasikan dirimu kepada kewajibanmu dan jangan kau ingkari itu. Karena tidak ada imbalan yang lebih baik untuk seorang kesatria, dari pada suatu’ Derang demi kebenaran.

Penjelasan :
Dharma demi kebenaran adalah tugas suci untuk siapa saja, apalagi kalau ia seorang kesatria yang seharusnya membela nusa dan bangsa serta negaranya dari segala kezaliman dan angkara-murka. Dalam salah satu kisah Mahabarata tenulis‘ “Barangsiapa menyelamatkan suatu kehancuran adalah seorang kesatria“ dan juga tertulis di bagian lainnya, “Hanya ada dua tipe manusia yang dapat mencapai alam Brahman setelah melewati konstelasi matahari: yang pertama adalah para sanyasin (orang-orang suci) yang telah dalam ilmu pengetahuannya dan yang kcdua adalah para kesatria yang mati dalam peperangan membela kebenaran.“ Bukankah itu berarti bahwa kalau kita selamanya berjalan/berperang demi kebenaran maka kita sedang menuju kearahnya. Yang Maha Pencipta Berganung di

Sloka 32.
Berbahagialah mereka para kesatria. yang harus berperang demi kebenaran -terbukalah kesempatan ke sorga tanpa mereka minta.

Penjelasan :
Sang Krishna di sini menegaskan bahwa berperang/mati demi kebenaran membawa kita langsung ke alam sorga, ini berarti bahwa berperang demi kebenaran adalah tugas yang maha suci bagi kita dari Yang Maha Esa. Kalau direnungkan dengan baik-baik bukankah kita dikelilingi oleh berbagai bentuk tidak kebenaran dalam hidup ini, dari scgala bentuk nafsu-nafsu pribadi kita yang negatif sampai ke penindasan yang tidak berperi kemanusian dalam peri laku manusia, sesuatu bentuk pemerintahan, diskriminasi, dan berbagai aspek tidak benar lainnnya yang seakan akan tidak ada habis habisnya dan semua itu bertebaran di sekeliling kita setiap saat.

Sloka Sloka 33.
Dan seandainya dikau tak maju berperang di jalan yang suci ini, dikau akan mengabaikan kewajiban dan kehormatan dikau, dan_ dikau akan dikejar-kejar oleh perasaan salahmu itu.

Penjelasan :
Seseorang yang berjalan atau berjuang di jalan kebenaran harus siap mengorbankan segala miliknya. Bukan saja sanak-saudara dan harta bendanya tetapi juga nyawanya sendiri. Apalagi untuk suatu tugas yang besar dan suci. Sebagai seorang kesatria, seandainya Arjuna mengingkari kewajibannya Ini, maka ia akan kehilangan segala kehormatannya.

Sloka 34.
Setiap orang akan menghinamu. dan bagi seorang yang terhormat. penghinaaan adalah lebih buruk dari suatu kematian.

Sloka 35.
Para pendekar-pendekar yang besar akan mengira dikau mundur dari peperangan ini karena rasa ketakutanmu. Dan mereka-mereka yang menghormatimu akan memandang rendah padamu.

Sloka 36.
Belum lagi hinaan-hinaan lainnya yang diucapkan oleh musuh-musuhmu. semua itu akan membuatmu lebih lemah lagi. Adakah yang lebih menyakitkan dari semua itu?

Sloka 37.
Seandainya dikau terbunuh, maka dikau akan ke sorgaioka. Sekiranya dikau perkasa dalam peperangan ini,’maka dikau akan menikmati bumiloka ini.

Jadi bangkitlah wahai~putra Kunti (Arjuna) dan angkatlah senjata untuk yudhamu ini.

Sloka 38.
Samakanlah rasa nikmat dengan derita, iaba dengan rugi, menang dengan kalah, bersiaplah untuk yudha Ini. Dengan begitu dikau tak akan tercemar oleh dose.

Penjelasan :
Pada sloka-sloka sebelumnya Sang Krishna menyindir rasa ego dan tanggung jawab Arjuna pada dharma yang sebenamya. Di sloka atas ini Sang Krishna meminta agar Arj una melaksanakan kewajibannya yang tertinggi yaitu berperang menegakkan kebenaran. Tugas ini merupakan tugas yang amat suci bagi seorang kesatria demi Yang Maha Esa dan kebenaran.

Sloka 39.
Sejauh ini Aku telah menerangkan tentang ajaran Sankhya. Sekarang dengarkanlah ajaran mengenai Yoga (llmu pengetahuan), dengan mengikuti ajaran ini dikau akan lepas dari ikatan-ikatan perbuatanmu.

Penjelasan :
Yang dimaksud dengan ajaran Sankhya ini adalah ajaran Bhagavat Gita mengenai KeTuhanan yang Maha Esa, secara khusus Tentang Sang Jati Diri (Sang Atman). Yang diajarkan adalah hubungan Sang Atman dan raga kita, di sini ditekankan bahwa Sang Atman yang merupakan inti dari jiwa kita itu tak mungkin dapat binasa, walau raga kita hancur sekali pun. Sedang yang dimaksud dengan Yoga di sini, adalah Ilmu pengetahuan yang sejati. Ajaran Sankhya ini tidak dapat ditelaah begitu saja, melainkan harus disertai atau didasarkan pada yoga tentang dharma-bhakti kita kepada Yang Maha Esa secara benar. Mengenal dan bekerja uhtuk Yang Maha Esa tidak berarti lalu harus kita kepada Yang Maha Esa sesuai dengan pekerjaan yang kita sandang. Tetapi semua dharma-bhakti ini harus dilakukan dengan menyamakan rasa kita terhadap dua sifat dualisme yang saling berkontradiksi, yaitu memandang atau merasa sama akan senang dan susah, untung dan rugi, panas dan dingin, dan lain sebagainya.

Lalu bagaimana seseorang dapat mencapai tingkat kesadaran semacam ini? Caranya adalah dengan menggabungkan daya=intelek (Buddhi) kita dengan jalan pikiran kita. Setelah intelek kita sadar bahwa semua unsur dualisme yang kelihatannya amat berlawanan ini seberamya sama saja, dan hanya merupakan permainan pikiran kita belaka, maka secara tahap demi tanpa kesadaran kita akan meningkat dan kita akan melaju ke arah Yang Maha Esa dengan baik, dan jadilah kita seorang Buddhi Yukta (seorang yang telah mencapai kesadaran).

Seorang Buddhi-Yukta yang baik adalah ia yang telah berhasil mengendalikan hawa-nafsunya yang bersifat aneka-ragam. Ia juga adalah seorang yang bersikap sama dan tenang dalam setiap keberhasilan’maupun kegagalan, bersikap tenang dalam segala tugas-tugasnya, dan tidak memiliki ambisi pribadi tertentu atau nafsu duniawi lagi. Semua perbuatannya sudah menjadi kewajibannya untuk Yang Maha Esa semata. Seseorang semacam ini tidak perlu harus dapat melihat Sang Atman yang bersemayam di dalam dirinya, tetapi sudah pasti ia akan dapat merasakan kehadiran Sang Atman ini.

Seorang Buddhi-Yukra yang sempurna akan selalu tenang tindak-tanduknya, dan stabil jiwanya. akibat dari pengaruh Sang Atman yang bersemayam di dalam dirinya. *

Sloka 40.
Di jalan ini tidak ada usaha yang akan sia-sia, dan tak ada rintangan yang akan bertahan lama. Sedikit saja usaha dharma ini akan melepaskan seseorang dari rasa takut yang besar.

Penjelasan :
Sedikit saja usaha ke arah dharma (jalan kebenaran) teryata akan melepaskan kita

dari samsara, yaitu penderitaan di dunia ini yang tak ada habis-habisnya, karena jalan akhir dari dharma adalah kebebasan mutlak dan kembali ke Ilahi Yang Tanpa Batas. .

Sloka 41.
Buddhi (Kesadaran lntelektual) ini, Arjuna, sifatnya tegas dan hanya menunjuk ke satu arah saja. Tetapi mereka yang tidak tegas dalam dharma bhaktinya, maka cara berpikirnya akan berjalan keberbagai arah seakan akan tiada habis-habisnya.

Penjelasan :
Buddhi adalah suatu kesadaran total seseorang yang memilikinya akan selalu bersifat satu arah saja. yaitu bekerja demi Yang Maha Esa semata tanpa pamrih sekecil apapun juga. Sedangkan bagi mereka yang belum sadar, maka cara atau pola berpikimya pasti didasarkan oleh kebutuhan-kebutuhan nafsu, keinginan. selera. ego dan pertimbangan-pertimbangan duniawi lainnya dan cfek-efeknya,jadi, dharma mereka pasti tidak akan ada habis-habisnya karena didasarkan oleh banyaknya kebutuhan atau tujuan mereka. Buddhi bersifat eka sedangkan nafsu bersifat ananta (ancka ragam tanpa habis-habisnya).

Sloka 42.
Kata-kata manis diucapkan oleh seéeorang yang tidak dapat membedakan. yang tidak bijaksana, yang lebih tertarik dan bahagia dengan kata-kata yang terdapat di Veda-Veda yang memuat “yang ada hanyalah ini saja!”

Penjelasan :
Di ‘sinilah kita harus mencamkan sabda Sang Krishna di atas ini yang merupakan peringatan bagi kita-kita yang lebih mementingkan ritus-ritus atau tradisi agama atau dogma, daripada Yang Maha Esa itu sendiri. Karena semua itu bukan jalan yang sebenarnya ke arah Yang Maha Esa. Kata-kata indah dalam Vcda-Veda yang dianggap suci dan indah tidak akan bermakna kalau tidak didasari dengan dharma-bhakti kita kepada Yang Maha Esa.

Sloka 43.
Mereka-mereka ini penuh dengan keinginan duniawi. Tujuan akhir mereka adalah sorga. Akibatnya mereka ini akan lahir kembali. Mereka melakukan berbagai upacara keagamaan hanya untuk mendapatkan kesentosaan dan kekuatan duniawi.

Penjelasan :
Mereka-mereka yang melakukan upacara-upacara keagamaan dengan tujuan tertentu akan mendapatkan keinginan mereka masing-masing, tetapi tindakan keagamaan ini tidak akan membebaskan mereka dari samsara, melainkan membuat mereka lahir kembali ke dunia ini sesuai dengan karma-karma mereka. Sedangkan seorang karma-yogi yang bekerja semata-mata demi Yang Maha Esa, maka karmanya akan merupakan pengorbanan yang tulus dan tanpa pamrih kepada Yang Maha Esa (merupakan yagna, pengorbanan atau sesajen).

Sloka 44.
Buddhi ini bukan untuk mereka yang hidupnya hanya untuk agama yang dipraktekkan demi kesenangan duniawi, yang berdasarkan kata-kata Veda, karena pengetahuan ini memerlukan tekad yang keras demi melepaskan unsur-unsur duniawi (seseorang). ‘

Sloka 45.
Di dalam Veda terdapat ajaran mengenai tiga jenis guna (kwalitas atau ,sifat manusia). Bebaskanlah dirimu, oh Arjuna dari ketiga kwalitas ini. Bebaskanlah dirimu dari kedua sifat yang saling berkontradiksi. Tegak dan berakarlah ke dalam kebersihan jiwamu, dalam sifat kebenaran yang abadi, tanpa merasa memiliki suatu apapun: milikilah Dirimu sendiri – Gurumu!

Penjelasan :
Veda mengajarkan tentang guna, yaitu tiga sifat atau jenis kwalitas manusia. Yang pertama sattva, yaitu sifat yang penuh dengan unsur-unsur kebajikan, kecerdasan, kesucian, kejernihan dan berbagai hal-hal lainnya yang penuh dengan unsur kebaikan.

Yang kedua disebut sifat raja, yaitu sifat atau aktivitas yang sifatnya menggebw gebu, juga suatu bentuk sifat yang selalu ingin memiliki atau mengetahui hal-hal. yang baru, dan sifat-sifat lain yang pada dasamya selalu penuh dengan energi dan aktivitas. Sifat ini identik dengan pikiran kita pada umumnya yang selalu menerawang tanpa henti-hentinya, tanpa batas.

Sifat yang ketiga disebut tama, yaitu sifat-sifat manusia yang selalu menjurus ke arah kebobrokan mental seperti sifat-sifat pemalas, peminum, penjudi, seks. maniak, sifat yang penuh dengan unsur-unsur gelap yang lengkap sifatnya. Ketiga sifat ini hadir‘dalam pikiran dan raga kita, sedangkan Sang Atman atau Sang Jati Diri kita duduk bersemayam terpisah dari mereka ini semuanya. Sang Atman adalah saksi llahi dalam diri kita sendiri, suatu bentuk Kesadaran llahi yang sukar diterangkan dengan kata-kata, yang bagi yang telah merasakan atau menyadariNya merupakan Keberkahan Nan Abadi.

Sebenarnya di sini Sang Krishna sedang menganjurkan kita semua agar mencari dan menemukan Sang Atman dalam diri kita masing-masing dan menyembah dan memujaNya penuh dengan dedikasi dan dharma-bhakti. Caranya adalah dengan membebaskan diri kita dari sifat atau rasa dualisme yang saling berkontradiksi yang hadir dalam setiap aspek kehidupan kita Juga membebaskan diri kita dari rasa ego, dari rasa iri dan benci, dari segala perhitungan-perhitungan atau rencana yang bersifat amat duniawi, dan hanya memfokuskan diri kita ke suatu jalan yang penuh dengan sattva, tetapi bukan yang bersifat sattva duniawi tetapi Satrva llahi. Dengan kata lain jadilah seorang manusia sejati bagi dirimu sendiri, bagi masyarakat banyak dan yang terutama bagi Yang Maha Esa. Jadilah manusia yang lepas dari segala unsur duniawi dan hiduplah secara cukup dan sederhana saja, puas dengan apapun yang diberikan oleh Yang Maha Esa, puas dengan diri dan Diri mu sendiri, sadar akan DiriNya (Sang Atman), yang hadir di dalam diri kita semua dan bekerja atau hidup demi Ia semata. Bersambung…

Sloka 46.
Kegunaan Veda-Veda untuk seorang Brahmin yang telah mendapatkan penerangan Ilahi adalah ibarat sebuah kolam air yang terletak ditengah tengah genangan air banjir (bah).

Penjelasan :
Seorang Brahmin atau Brahmana yang sejati bukanlah yang dinyatakan secara kastanya, melainkan adalah scorang yang secara sejati menemukan kesadaran Ilahi dan bekerja untukNya tanpa pamrih. Bagi orang semacam ini atau yang sudah sampai ke taraf ini, semua ajaran-ajaran Veda termasuk semua tradisi agama atau pun upacara-upacara ritual menjadi sekadar simbol saja. Di sloka di atas diibaratkan seperti sebuah kolam air tawar ditengah-tengah air bah atau banjir. Dengan kata lain bagi seseorang Brahmin yang sejati, ajaran-ajaran Veda sudah tidak berarti lagi untuknya karena ia telah melewati semua itu, dan telah mencapai suatu ajaran Ilahi yang sejati atau dengan kata lain telah mencapai penerangan Ilahi yang tak terbatas sifatnya.

Sloka 47.
Engkau hanya berhak untuk bekerja. tidak untuk hasilnya. Jangan sekali-kali motif pekerjaanmu mengarah ke hasil akhir (imbalan dari pekerjaan ini), dan juga jangan sekali-kali engkau tidak bekerja.

Penjelasan :
Jangan mengharapkan suatu imbalan/buah/hasil untuk setiap tindakan atau perbuatan atau pekerjaan kita dengan harapan duniawi kita, tetapi pasrahkanlah hasil« akhir atau efek dari semua perbuatan ini kepadaNya semata. Semua hasil atau efek dari perbuatan ini adalah Ia yang menentukan dan akan terjadi sesuai dengan kehendakNya tanpa lebih maupun kurang. Setiap tindakan atau perbuatan kita harus didasarkan atas kesadaran bahwa semuanya demi dan untuk Ia semata. Dengan bekerja untukNya tak mungkin kita diarahkan ke jalan yang salah atau merugikan orang lain. Semua hasil tindakan harus diambil hikmahnya dengan tulus.

Sloka 48.
Lakukan tindakanmu, oh Arjuna! dengan hati yang terpusat pada Yang Maha Esa, tanpa keterikatan dan bersikaplah sama untuk semua kesuksesan dan kegagalanmu. Hati yang damai dan penuh rasa imbang adalah suatu yoga.

Penjelasan :
Yoga di sini jadi lebih terang dan luas artinya. Yoga itu disebut samatvan, yaitu pikiran dan hati yang selalu seimbang dalam setiap situasi baik menghadapi sesuatu kegagalan maupun kesuksesan, buruk atau yang baik dan seterusnya. Seandainya seseorang di dalam setiap tindak-tanduknya dapat selalu balans atau seimbang dan tak terpengaruh oleh emosinya, maka ia akan mencapai rasa ketenangan di dalam dirinya dan inilah yang disebut oleh orang-orang Hindu sebagai yoga yang sejati.

Sloka 49.
Pekerjaan demi suatu imbalan itu lebih rendah derajatnya daripada Buddhiyoga, oh Arjuna! Maka selalulah bernaung dibawah buddhi (intelek)mu. Kasihan mereka yang bekerja untuk suatu imbalan tertentu.

Penjelasan :
Pekerjaan yang benar dan bersih dari segala unsur-unsur duniawi akan melajukan perjalanan kita ke arah Yang Maha Kuasa karena memang itulah yang diajarkan oleh Sang Krishna. Janganlah seseorang bekerja demi nama, rumah-tangga, dan kedudukannya dalam masyarakat, bekerjalah semua itu tetapi berdasarkan dedikasi kita kepada Yang Maha Esa semata, .sebagai bhakti kita kepadaNya. Dan jenis pekerjaan itu bisa apa saja, dari pekerjaan seorang pembersih sampah ke pekerjaan seorang pendeta, tetapi harus bermotifkan dedikasi yang tulus dan bukan didasarkan pada (imbalan atau efek yang akan diterima. Semuanya terserah Ia yang menemukam kita bekerja tanpa pamrih.

Sloka 50.
Ia yang telah menjadikan dirinya seorang Buddhi-Yukta (yang telah sadar dan mendapatkan kesadaran llahi) akan mengesampingkan semua yang baik dan buruk dalam hidup ini. Jadi berjuanglah untuk Yoga; Yoga ini lebih bermanfaat dari suatu tindakan yang penuh harapan akan suatu imbalan.

Penjelasan :
Seorang yang telah sadar akan peranannya dalam hidup ini. suatu saat akan mengerti bahwa kebaikan dan keburukan sebenarnya hanyalah berupa ilusi dari Sang Maya (Kekuatan dari Yang Maha Esa juga). Sesuai dengan tugas-tugas maka kita hidup di dunia ini hanyalah sekedar sebagai alat-alatNya, dan tentu saja terserah kepada Yang Maha Kuasa apakah kita ini jadi alat yang baik atau alat yang buruk. Seorang yang telah mencapai tingkat kesadaran yang benar akan memandang sama, dengan mata, hati dan pikiran yang sama kepada semua mahluk, semua unsur baik dan buruk pada setiap mahluk. Orang semacam ini akan selalu tunduk atas segala kehendakNya, dan tindak-tanduk maupun pikirannya akan selalu bersandar pada Yang Maha Esa. dan selalu minta dituntun sesuai dengan kehendakNya semata. Orang semacam ini akan selalu bergairah untuk bekerja: bukan malahan tidak bekerja karena berpikir semua sudah jadi kehendakNya.

Sloka 51.
Mereka-mereka yang bijaksana dan telah mendapatkan penerangan menyerahkan semua imbalan dari setiap pekerjaan (tindakan) mereka lepas dari siklus kelahiran, mereka pergi ke alam yang tanpa derita.

Penjelasan :
Seandainya hati dan pikiran kita telah bersih dari segala nafsu duniawi dan buddhi (daya intelektual) kita penuh dengan kesadaran atau penerangan, maka setiap tindakan kita malahan akan merupakan ekspresi kebebasanjiwa kita. Dan jiwa kita akan menanjak dalam perjalananya dari bhakti dan gnana (kesadaran) ke arah Berkah Sang Ilahi, kemudian menyusul kepembebasan jiwa kita dari siklus hidup dan mati di dunia ini (moksha). Di bawah ini terdapat beberapa anak-anak tangga yang lebih terperinci sifatnya:

  1. Karma-yoga: menyerahkan semua imbalan/hasil dari setiap pekerjaan atau perbuatan baik sccara mental maupun secara fisik kepadaNya.
    2. Bangkitnya kesadaran intelektual kita (buddhi), dan timbullah kebijaksanaan Ilahi.
    3. Lepas dari ikatan lahir dun mati.
    4. Mencapai berkah Ilahi. lalu terus kc moksha

Sloka 52.
Sewaktu kesadaranmu melewati putaran kegelapan (moha), maka dikau akan mencapai suatu kesadaran tentang apa yang telah kau dengar dan apa lagi yang akan kau dengar.

Penjelasan :
Sewaktu kesadaran kita telah mencapai suatu tahap di mana segala nafsu telah berhenti berfungsi dan tidak penting lagi artinya, maka di situ kita akan merasakan perbedaan-perbedaan atau arti sebenamyh akan semua tradisi, upacara kcagamaan, dan lain sebagainya yang dianjurkan di Veda-Veda.

Sloka 53.
Sewaktu kesadaranmu, yang salah mengerti tentang shruti (ayat-ayat Veda), mencapai suatu tahap yang kukuh dan tak tergoyahkan dan jiwamu tenang dalam samadi, disitulah dikau akan mencapai yoga (penerangan ke dalam).

Penjelasan :
Samadi adalah konsentrasi jiwa kita ke Inti Jiwa (Sang Atman atau Sang Jati Diri) yang berada di dalam jiwa kita sendiri. Samadi adalah dialog atau penemuan diantara

kita dan Sang Atman. Pertemuan atau sentuhan ini dapat tercapai bila seseorang lepas dari segala keterikatannya dalam melakukan setiap tugas-tugas duniawinya, termasuk di dalamnya tugas-tugas keagamaannya. Semua tugas tugas ini harus dilakukan dengan pikiran yang sinkron atau selaras dengan kehendakNya. Bagaimana mungkin kita tahu bahwa apa yang kita kerjakan itu selaras dengan kehendakNya dengan menyerahkan hasil dari perbuatan ini kepadaNya secara total dan kemudian terserah Ia akan efek-efeknya kemudian. Orang semacam ini yang menyerahkan hasil pekerjaannya bulat-bulat kepada Yang Maha Esa akan tegak dan kokoh merasakan semua hasil dari pekerjaan atau perbuatannya yang berefek baik atau buruk, negatif atau positif baginya atau bagi yang lainnya sebagai kehendakNya. Ia lebih bertindak sebagai alat atau petugas Yang Maha Esa dan jauh dari hasil perbuatan-perbuatannya. Karena ia tidak mengharapkan pamrih dari pekerjaan-perbuatannya, maka selalu ia berpikir scmua terserah kehendak Ilahi. Selamanya ia akan teguh menghadapi apapun juga, dan kalau sudah mencapai tahap ini, komunikasi atau samadinya dengan Sang Atman akan tercipta dan terjalan dengan amat baik.

Berkatalah Arjuna

Sloka 54.
Apa saja ciri-ciri seseorang yang telah mencapai kebijaksanaan yang stabil ini, yang teguh dalam segala hal, dan telah bersatu dengan Sang Brahman, oh Krishna? Bagaimanakah seseorang yang telah mendapatkan kesadaran Ilahi ini berbicara? Bagaimanakah cara duduknya? Dan bagaimana cara ia berjalan?

Penjelasan :
Arjuna seperti juga kita semuanya ingin sekali mengetahui ciri-ciri khas seseorang yang telah bijaksana dan mencapai kesadaran Ilahi ini. Sang Krishna pun menjawabnya satu persatu dengan senang hati, misalnya di sloka 55, 61 dan 64 yang mendatang ini diterangkan tentang cara orang bijaksana ini duduk. Di Moka 56 diterangkan tentang caranya berbicara dan di sloka 58 tentang caranya ja Bergerak dalam hidupnya.

Sloka 55.
Sewaktu seseorang mengesampingkan semua nafsu-nafsu duniawi yang ada di dalam pikirannya dan merasa puas dalam DiriNya oleh DiriNya, akan ia disebut sthita-prajna. seorang yang melihat kebijaksanaan secara tegar.

Penjelasan :
Seseorang yang merasa puas dengan DiriNya (Sang Atman) dan semua sentuhan Sang Atman terhadap dirinya adalah seorang yang sudah mencapai suatu penerangan Ilahi, dan telah berubah tegar dalam setiap hal yang dihadapinya.

Sloka 56.
la yang bebas pikirannya dari rasa gelisah di kala duka dan sakit, merasa tenang saja di kala senang, lepas dari nafsu duniawi, dari rasa ketakutan dan marah. adalah seorang yang telah mendapatkan penerangan.

Sloka 57.
Ia yang tak terikat dan‘ sisi mana pun juga, yang tidak pemah benci maupun .cinta pada suatu obyek, yang bertindak secara netral terhadap suatu yang . adil maupun yang tidak adil, orang semacam itu mempunyai pengertian yang tegar dalam kebijaksanaannya.

Penjelasan :
Orang yang telah tegar dalam penerangan atau kesadaran adalah seseorang yang menjadi saksi dalam kehidupannya dan kehidupan di sekitarya. Ia berdiri di atas semua faktor baik yang negatif maupun positif. Baginya semua itu hanya ilusi saja dan merupakan proses dalam kehidupan setiap orang. Bukannya lalu berarti ia sudah lemah jalan pikiran atau

tindak-tanduknya, tetapi ini justru mempakan ekspresi sejati dari kebebasannya yang tulus, kuat dan penuh dengan semangat dedikasi kepadaNya. Ia puas dengan apapun yang diberikanNya, dan setiap hal yang menimpahnya dianggap biasa-biasa saja baik itu berupa kesenangan maupun kedukaan.

Sloka 58.
Ia yang menarik seluruh organ-organ nafsunya dari semua obyek-obyek nafsunya dari segala urusan ibarat seekor kura-kura yang menarik semua kaki-kakinya ke dalam tempurungnya adalah seorang yang telah tegar rasa pengertiannya dan teguh dalam kebijaksanaan.

Penjelasan :
Perumpamaan seekor kura-kura adalah suatu contoh yang amat baik, karena sekali seekor kura-kura menarik semua kaki-kakinya ke dalam tempurung, maka ia tenang tenang saja menghadapi reaksi atau ancaman dari luar, karena sudah merasa aman di dalam tempurungnya ini. Dengan kata lain dapat diibaratkan sebagai -‘bersemedi di dalam tempurungnya tanpa rasa keterikatan dengan apapun di luarnya.”

Sloka 59.
Obyek-obyek sensual akan menjauh dari seseorang yang tidak mau memberikan umpan kepada mereka, tetapi akan menetap pada mereka yang menyenanginya. Bahkan sisa-sisa keinginan pun akan pergi dari seseorang yang telah melihatNya (Yang Maha Esa).

Penjelasan :
Penyerahan total kepada Yang Maha Kuasa bukan saja berarti menjauhi semua unsur-unsur duniawi saja tetapi juga’ berarti menghilangkan sisa-sisa selera yang masih ada dalam diri seseorang. Bagi yang telah merasakan sentuhan Ilahi, tidak sedikit pun selera duniawi yang dirasakannya. Baginya Yang Satu itulah segala galanya dan Yang Terindah.

Sloka 60.
0h ArjUna! Organ-organ sensual yang terangsang akan segera menggerakkan pikiran seseorang. walaupun ia seorang yang bijaksana dan sedang jalan menuju ke arah sempuma.

Penjelasan :
Walaupun seseorang telah bertahun-tahun berusaha menuju ke arah penerangan dan mengabaikan semua kebutuhan sensualnya, tetapi selama ia masih menyimpan selera untuk hal-hal yang bersifat duniawi, maka setiap waktu ia bisa saja jatuh bangun oleh hal-hal yang bersifat duniawi ini. Maka janganlah heran atau tertawa mengejek melihat seorang yang dianggap bijaksana atau suci tersandung oleh hal hal yang berbau duniawi, karena organ-organ sensual dan pikiran kita memang sangat peka dan mudah dipermainkan oleh Sang Maya.

Sloka 61.
Dengan mengendalikan semua organ-organ sensualnya, ia harus duduk secara harmonis dan menjadikan Aku sebagai Tujuannya yang Terakhir. Seorang yang telah berhasil mengatasi semua organ-organ sensualnya, akan segera mencapai kesadaran yang tegar.

Penjelasan :
Duduk dan bermeditasi dengan teratur, mengendalikan-semua unsur-unsur duniawi kita (organ-organ sensual kita) baik lahir maupun batin. dan selalu memfokuskan pikiran dan-tindak-tanduk kita ke Yang Maha Kuasa secara konstan akan menghasilkan suatu penerangan Ilahi atau kesadaran Ilahi yang tegar. Semua ini memerlukan disiplin pribadi yang kuat dan salah satu cara untuk membentuk disiplin Ini adalah dengan bermeditasi secara tekun.

Sloka 62.
Seandainya seseorang mengarahkan pikirannya ke arah obyek-obyek Sensual maka ia akan menghasilkan keterikatan pada obyek-obyek Ini. Dan keterikatan Ini timbullah hawa-nafsu. Dari hawa nafsu timbul lah rasa amarah.

Penjelasan :
Seseorang yang berpikir senantiasa akan hal-hal yang duniawi akan terikat kepada hal-hal ini. dan sekali terikat akan menjadi kebiasaan. Dan kebiasaan ini kalau sekali-kali tak didapatkannya akan menimbulkan rasa-amarahnya, rasa kesal, dan memuncak menjadi

angkara-murka. Jadi yang penting bukan saja penyerahan total dari nafsu-nafsu atau berbagai beinginan kita tetapi juga pikiran~ pikiran kita, karena di dalam pikiranlah sebenamya terdapat benih atau asal dosa.

Sloka 63.
Dari marah timbullah angkara-murka, dan keangkara-murkaan akan menghilangkan akal-sehat, dan dengan hilangnya akal-sehat ini hancurlah daya intelek dan kesadaran (buddhi) kita, dan dengan hilangnya buddhi ini maka ia akan binasa;

Penjelasan :
Kalau pikiran sudah kacau maka lupalah kita akan pengalaman-pengalaman pahit kita yang lampau, karena hiiang sudah akal-sehat kita dan rasio kita porak pranda jadinya. Lupalah kita akan hal yang baik dan buruk, dan pada skala besat kalau kita jadi tcrsesat karenanya, maka lupalah kita akan tujuan kita lahir kc dunia Ini. Itu berarti binasaiah kita secara spiritual.

Sloka 64.
Tetapi seseorang yang penuh dengan disiplin. yang bergerak di tengah tengah obyek-obyek sensual tanpa suatu keterikatan kepada obyek-obyek sensual ini dan dapat mengendalikan dirinya dengan baik, akan pergi ke suatu kedamaian yang luhur.

Penjelasan :
Bhagavat Gita menganjurkan kita -semua untuk mengendalikan (bukan menghentikan), semua organ-organ sensual (indra-indra) kita dengan mengendalikan jalan pikiran kita melalui suatu proses disiplin. Ini berarti belajar mengendalikan diri, pikiran dan indra-indra kita. Lari dari kenyataan dunia ini (haI-hal yang bersifat duniawi), adalah percuma atau sia-sia saja, jadi dianjurkan untuk hidup ditengah-tengah obyek-obyek duniawi ini dengan mengendalikan diri kita scndiri, maka akan sampailah kita ke suatu rasa perdamaian atau ketenangan yang luhur. Rasa perdamaian ini akan timbul dari suatu hati yang penuh dedikasisu atu hati yang penuh dedikasi kepadaNya semata, hati yang betul‘ betul luhur dan bersih. ‘

Sloka 65.
Setelah mencapai kedamaian, maka berakhirlah derita seseorang, dan seorang dengan kedamaian semacam lni akan segera mencapai keseimbangan yang stabil.

Penjelasan :
Bagi yang tak mau atau takut mengendalikan dirinya; maka jalan ke arah damai atau ketenangan tidak akan pernah terbuka. ‘Sedangkan bagi yang penuh disiplin, daya-juang dan tekad, yang penuh dengan kendali, maka mereka ini akan menuju ke arah Yang Maha Esa, dan karena konsentrasinya ini maka mereka ini akan mencapai tahap berkah Ilahi dalam bentuk kedamaian yang abadi dan tak tergoyahkan. Dalam suka dan duka mereka ibarat timbangan yang stabil dan tidak condong menurun ke satu arah. ‘

Sloka 66.
Untuk yang tak pernah mengendalikan diri, tak akan ada buddhi, untuk yang tak pernah mengendalikan diri tak akan ada konsentrasi. Dan kalau tak ada konsentrasi maka tak akan ada kedamaian, dan kalau seseorang tak memiliki kedamaian maka bagaimana mungkin ia kan memiliki kebahagiaan?

Sloka 67.
Sewaktu pikiran mengejar obyek-obyek sensual, maka pergi jugalah prajna (kebijaksanaan. kesadaran), ibarat arus yang menyeret sebuah perahu di lautan.

Sloka 68.
Jadi, oh Arjuna, ia yang seluruh indra-indranya telah terkendali dari obyek obyek sensual, maka buddhinya telah mencapai keteguhan.

Sloka 69.
Ape yang merupakan malam bagi semua insan, bagi seorang yang penuh disiplin dirasakan

sebagai pagi hari. Dan apa yang merupakan pagi bagi semua insan merupakan malam untuk seorang muni (seorang yang telah mencapai kesadaran penuh).

Penjelasan : Semua manusia mungkin atau sedang larut dalam tidurnya Sang Maya. tetapi seorang ang muni akan tegar terbangun dan bemafas dalam kesadarannya. la acuh saja terhadap ilusi Sang Maya. Sebaliknya ia akan tertidur untuk hal-hal yang bersifat duniawi yang bagi manusia pada umunya akan merupakan kebutuhan yagg amat vital. karena mereka mengikuti indra-indra mereka tanpa kendali. Ia terpejam untuk duniawi tctapi matanya. terbuka selalu ke arah Ilahi dan cima. kasihNya Yang Agung. yang tak pemah kunjung habis.

Sloka 70.
Sesorang yang kemauan-kemauan indranya, ibarat sungai-sungai mengalir ke lautan yang selamanya tenang-tenang saja menerima aliran-aliran sungai ini. .orang ini akan mencapai kedamaian, bukan Ia yang memeluk erat-erat nafsu-nafsunya.

Penjelasan :
Sungai-sungai mengalir dari berbagai arah ke lautan yang lepas, tetapi sang lautan tak pemah mengeluh atau goncang karenanya dan selalu dengan tenang dan tegar menerima semua aliran-aliran air yang telah tercemar -ini , bahkan dikembalikannya dalam bentuk uap yang bersih untuk dijadikan hujan oleh alam itu sendiri. Begitu pun pikiran seseorang yang telah tegar j iwa-raganya demi dedikasinya kcpada Yang ‘ Maha Esa. Ia akan selalu kuat menghadapi semua cobaan dan kemauan-kemauan indra-indranya dalam kedamaian yang abadi.

Sloka 71.
Seseorang yang melupakan semua keinginannya dan bertindak iepas dari segaia hasrat, tanpa rasa egoisme dan tanpa rasa memiliki apapun. ia pergi ke arah damai. .

Sloka 72.
inilah daerah suci (brahmishit, oh Arjuna! Setelah mencapai daerah ini tak ada seorangpun yang kacau pikirannya. Barangsiapa, bahkan pada detikdetik akhir hayatnya mencapai daerah (kondisi)’ Ini, maka Ia akan pergi ke brahma-nirvana, di mana terdapat Berkah Sang Ilahi.

Penjelasan :
Yang dimaksud dengan daerah ini sebenarnya adalah kondisi atau status seseorang. Dalam kondisi atau status yang dimaksud ini sescorang pemuja dan Sang Brahman telah mencapai suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan lagi. Seseorang yang tclah mencapai kondisi ini akan kehilangan semua ilusi duniawi dan Sang Atman ‘ akan bersinar di dalam dirinya, dan sampailah manusia ini ke afah sempuma dan kesucian.‘ Bersatu dengan Yang Maha Esa (Sang Atman) berarti lepas sudah semua kemauan duniawi kita, dan kalau seseorang dapat bertahan dalam status semacam ini, atau bahkan baru saja mencapainya, dan langsung bérakhir hidupnya di dunia ini, maka ia langsung akan mcnuju ke Yang Maha Esa, yang menjadi tujuan akhimya. dan tak perlu kembali lagi ke dunia yang penuh dengan penderitaan ini.

Bhagavad Gita Bab I

BAB I
 GUNDAHNYA SANG ARJUNA

Bermulalah di sini Gita suci yang dituturkan dari Yang Maha Suci Krishna.
Berkatalah Dhristarashtra.
1. 1
Dhṛtarāṣṭra uvāca
dharma-kṣetre kuru-kṣetre
samavetā yuyutsavaḥ
māmakāḥ pāṇḍavāś caiva
kim akurvata sañjaya

Di dataran Nan suci ini (dharmakshetra), tanah kebenaran, tanahnya para Kuru, berkumpullah putra-putraku berserta laskar-Iaskar mereka, dan juga putraputra Sang Pandu (Ayahnda Pandawa) bersiapsiap untuk suatu yudha. Apa saja yang sedang mereka lakukan beritakanlah kepadaku, wahai Sanjaya. .

Penjelasan: Kurukshetra disebutjuga dhamzakshetra, terletak di Hastinapura di utara Kota New Delhi yang modern dewasa ini. Tempat ini di masa yang silam dianggap suci karena sering dipergunakan oleh para resi, kesatria untuk bertapa, bahkan kabarnya juga oleh para dewa-dewa.

Salah satu kata pertama yang disebut di sloka pembukaan Bhagavat Gita di atas ini adalah kata dharma, inilah inti sebenamya yang harus diresapkan oleh sidang pembaca, karena inilah salah satu pesan sesungguhnya Bhagavat Gita. “Bangunlah jiwa dan ragamu dengan dan untuk dharma.” Kata dharma berasal dari kata “Dhru” yang berarti “pegang.” Dharma adalah kekuatan yang memegang hidup ini, dharma tidak terdapat dalam ucapan-ucapan manis, tetapi adalah kesaktian di dalam jiwa kita yang merupakan inti dari kehidupan kita.

Dan Kshetra berarti padan, ladang atau medan. Seyogyanyalah kita bertanya pada pribadi kita masing-masing, “apa sajakah yang selama ini yang telah kutanam dan kupetik dalam hidupku ini, dharma ataukah adarma? Bagi yang menanam dharma maka hidupnya akan menghasilkan karunia Ilahi, dan yang telah melakukan adhanna maka kita dapat bercermin kepada para Kaurawa.

“Bersiap-siap untuk suatu yudha,” Kaurawa menginginkan perang, sedangkan para Pandawa sebenarnya menginginkan perdamaian. Sang Krishna yang Maha Bijaksana berusaha agar perdamaian terwujud, tetapi para Kaurawa selalu menolaknya, maka untuk mempertahankan diri dan menegakkan dharma/kebenaran terpaksalah para Pandawa berperang walaupun dengan laskar yang sedikit. Tempi yang sedikit ini akhimya akan menang karena mereka berjalan tegak di jalan kebenaran.

Dalam ucapan Dhritarashtra yang mengatakan di atas “tanahnya para Kuru” dan juga “putra-putraku,” tersirat adanya rasa egois atau ahankara (angkara) yang besar, inilah sebenarnya sumbef dari segala tragedi dalam hidup ini.

1.2
sañjaya uvāca
dṛṣṭvā tu pāṇḍavānīkaḿ
vyūḍhaḿ duryodhanas tadā
ācāryam upasańgamya
rājā vacanam abravīt

Kemudian pangeran Duryodana. Setelah melihat barisan laskar para Pandawa yang teratur rapi, menghampiri gurunya dan berkata:

Penjelasan: Yang dimaksud guru di sini adalah Dronacharya, guru sang Kaurawa dan Pandawa. Di Baratayudha ini Drona mendukung Karuawa sampai akhir hayatn

1.3
paśyaitāḿ Pāṇḍu -putrāṇām
ācārya mahatīḿ camūm
vyūḍhāḿ drupada-putreṇa
tava śisyena dhīmatā

Lihatlah wahai guruku, barisan Iaskar para Pandawa yang telah siap untuk berperang, mereka semua dipimpin oleh murid Sang Guru yang bijaksana, yaitu putra Sang Drupada.

Penjelasan: Yang dimaksud “murid yang bijaksana” di sini adalah Dhristadyumna. Ia adalah putra Raja Drupada dari kerajaan Panchala. Dia diangkat para Pandawa menjadi panglima perang untuk pihak Pandawa; Dhristadyumna sebenarnya masih amerupakan saudara ipar para Pandawa. Dalam perang ini Resi Dorna akan membunuh Raja Drupada. kemudian Dhristadyumna akan membunuh Drona. Disusul putra Drona yang disebut Asvatama kemudian membunuh Dhristadyumna. Inilah lingkaran karma.

1.4
atra śūrā maheṣv-āsā
bhīmārjuna-samā yudhi
yuyudhāno virāṭaś ca
drupadaś ca mahā-rathaḥ

 Di sinilah para pahlawan-pahlawan besar berkumpul. dari Bima, Arjuna ke yang tak kalah kehebatannya yaitu Yuyudana, Virata dan Drupada.

1.5
dhṛṣṭaketuś cekitānaḥ
kāśirājaś ca vīryavān
purujit Kuntī bhojaś ca
śaibyaś ca nara-puńgavaḥ

Juga Dhrishtaketu, Chekitané darrraja besar dari Kashi, Purujit, Kuntiboja dan Shaibya, semuanya pendekar-pendekar Nan sakti wirawan.

1.6
yudhāmanyuś ca vikrānta
uttamaujāś ca vīryavān
saubhadro draupadeyāś ca
sarva eva mahā-rathāḥ

Juga yang gagah berani yaitu. Yudhamanyu dan Uttamauja, Saubadra dan putra-putra Draupadi. Bima: Putra kedua dari Pandu. Yang kedua dari para Pandawa.
Arjuna: Yang ketiga dari Pandawa bersaudara. Dan yang paling dikasihi Sang Krishna. Yuyudana: Disebut juga Setyaki. Pahlawan yang gagah perkasa.
Virata: Raja dari Matsya-desha. Seorang raja Nan arif-bijaksana. Selama pengasingan para Pandawa di hutan (13 tahun lamanya), tahun terakhir pengasingan ini para Pandawa menyamar dan bersembunyi di istana Raja Viram. Alkisah putri sang raja kemudian dikawinkan dengan Abimanyu. Putra Arjuna. Dhristaketu: Putra Sishupala, raja dari Chedi-desha.

Chekitana: Salah satu pendekar yang gagah berani yang memimpin salah satu dari tujuh divisi laskar Pandawa.

Purujit dan Kuntibhoja: Saudara-saudara laki dari ibu Kunti ibunya sang Pandawa. Shaibya: Raja suku Sibi. Duryodana menyebutnya sebagai banteng diantara manusia, karena ia adalah seorang pendekar sakti yang benenaga luar biasa.
Yudhamanyu dan Uttamauja: Pangeranpangeran dari Panchala, juga merupakan pendekar pendekar nan saktiwirawan. Keduanya dibunuh Ashvathama sewaktu sedang tidur.
Saubhadra: Putra Arjuna dan Subadra (adik sang Krishna). Ia dikenal juga dengan nama Abimanyu. Dalam perang ini ia memperlihatkan kepahlawanan nya yang luar biasa.

Putra-putra Draupadi: Mereka berjumlah lima orang, yaitu Prativindhya, Srutasoma, Srutakirtti, Satanika dan Srutukarman.Pendekar-pendekar di atas semuanya kalau bekerja untuk perdamaian niscaya akanmenghasilkan suatu suasana damai bagi semuanya, tetap rupanya takdir menentukan yang lain, dan itulah misteri Ilahi yang tak akan mungkin terjangkau oleh kita manusia ini.

1.7
asmākaḿ tu viśiṣṭā ye
tān nibodha dvijottama
nāyakā mama sainyasya
saḿjñārthaḿ tān bravīmi te

Ketahuilah juga, oh Engkau yang teragung di antara yang dilahirkan dua kali, pemimpin-pemimpin dan pendekar-pendekar di pihak kami, akan kusebutkan mereka demi Engkau yang kuhormati.

Penjelasan: “Yang teragung diantara yang dilahirkan dua kali” adalah ungkapan yang ‘ditujukan kepada Rsi Drona, karena sang resi ini adalah seorang brahmana dan biasanya kaum brahmana dianggap lahir dua kali. Maksudnya: pertama seorang brahmana harus lahir di dunia fana ini. telapi di dunia ini ia harus menjalani kehidupan kebatinan demi Sang Maha Esa jadi “Iahir” lagi dengan meninggalkan semua nafsu keduniawian demi pengabdiannya ke masyarakat dan Tuhan Yang Maha Esa. Inilah tugas seorang Brahmana seharusnya.

1.8
bhavān bhīṣmaś ca karṇaś ca
kṛpaś ca samitiḿ-jayaḥ
aśvatthāmā vikarṇaś ca
saumadattis tathāiva ca

Pertama-tama Dikau yang mulia Drona kemudian Bhisma, Kama dan Kripa yang tak terkalahkan dalam setiap yudha juga Ashvatama Vihana dan putra Somadatta.

1.9
anye ca bahavaḥ śūrā
mad-arthe tyakta-jīvitāḥ
nānā-śastra-prāharaṇāḥ
sarve yuddha-viśāradāḥ

Dan banyak Iagi pahlawan-pahlawan lainnya yang bersedia mengorbankan jiwa-raga mereka. Bersenjatakan berbagai senjata-senjata yang sakti. Kesemuanya ahli-ahli perang yang tiada taranya.

Bhisma: Pendekar tua yang ditunjuk menjadi panglima tertinggi di pihak Kaurawa, yang sebenarnya masih “kakek” para Kaurawa dan Pandawa, Bhismalah sebenarnya yang membesarkan raja Dhristarashtra dan para Kaurawa-Pandawa. Beliau amat mencintai para Pandawa, telapi dalam perang ini beliau berpihak kepada para Kaurawa karena berhutang budi dan setia kepada Kaurawa sesuai dengan janjinya. Tempi Bhisma pemah bersumpah dihadapan Duryodana lak akan pemah membunuh para Pandawa; dalam perang Baratayudha ini Bhisma membuktikan kehebatannya sampai akhir hayatnya. Karna: Saudara tiri para Pandawa, adalah teman akrab Duryodana. Oleh Duryodana, Kama diangkat menjadi raja Anga (sekarang disebut daemh Bengal di India). Sebenamya Kama adalah seorang kesatria maha-sakn’ yang penuh dengan kasih-sayang kepada sesamzmya, lempi terikal sumpah setianya kepada Duryodana maka ia memilih pihak Kaurawa. Setelah malinya Drona‘ Kama diangkat menjadi panglima tertinggi Kaumwa tetapi hanya berlangsung dua hari saja, karena kemudian ia mati di tangan Arjuna. saudam tirinya sendiri. Beginilah kehendak Dewala. Kripa: Saudara ipar resi Drona. la adalah dianlara tiga pendekar dari pihak Kaurawa yang tidak gugur dalam pcrang Bamlayudha. Ahsvatama: Putra resi Drona. juga salah seorang panglima pemngnya Kaurawa yang terkenal liciknya. Vikarna: Putra keliga mja Dhrislarashtra. adik Duryodana. Putra Somatlattaz Somadaua adalah raja dari negam Bahikas yang membantu Kaurawa.

1.10
aparyāptaḿ tad asmākaḿ
balaḿ bhīṣmābhirakṣitam
paryāptaḿ tv idam eteṣāḿ
balaḿ bhīmābhirakṣitam

Tak terhitung jumlah laskar kami yang dipimpin oleh Sang Bhisma. sedangkan dipihak mereka (Pandawa) yang dipimpin oleh Bima. jumlah Iaskar mereka sangat mudah untuk dihitung.

Penjelasan: Sebenarnya jumlah tentara Kaurawa memang lebih Banyak dari pihak Pandawa. kabarnya Kaurawa mempunyai Iaskar Iebih banyak empat divisi dibandingkan pihak Pandawa. Ada juga yang menycbutnya berlipat ganda.

1.1 1
ayaneṣu ca sarveṣu
yathā-bhāgam avasthitāḥ
bhīṣmam evābhirakṣantu
bhavāntaḥ sarva eva hi

Dan telah diatur sedemikian rupa sehingga setiap pendekar dan pimpinan divisi berada pada posisi masing-masing dan menjaga Bhisma dengan baik.

Penjelasan: Oleh sementara ahli, ucapan-ucapan Duryodana di ata’s dianggap juga sebagai ungkapan rasa khawatir Duryodana yang merasa di pihak Pandawa terdapat lebih banyak pahlawan-pahlawan sakti, walaupun jumlah laskar mereka lebih sedikit.

1.12
tasya sañjanayan harṣaḿ
kuru-vṛddhaḥ pitāmahaḥ
siḿha-nādaḿ vinadyoccaiḥ
śańkhaḿ dadhmau pratāpavān

Untuk memberi semangat kepada Duryodana, Sang Bhisma yang bijaksana meniup sangkalalanya yang mengeluarkan suara seakana akan anman dahsyat seekor singa.

1.13
tataḥ śańkhāś ca bheryaś ca
paṇavānaka-gomukhāḥ
sahasāivābhyahanyanta
sa śabdas tumulo ‘bhavat

Kemudian dari segala penjuru tambur-tambur dan sangkalala dibunyikan oleh semua pihak, dan hiru‘k-pikuklah suasana waktu itudipenuhi suara-suara ini.

1.14
tataḥ śvetair hayair yukte
mahati syandane sthitau
mādhavaḥ pāṇḍavaś caiva
divyau śańkhau pradadhmatuḥ

Kemudian, duduk di kereta perang Nan agung, dengan pasangan-l pasangan kuda-kuda putih, Sang Krishna dan Arjuna masing-masing meniup sangkalala mereka.

1.15
pāñcajanyaḿ hṛṣīkeśo
devadattaḿ dhanañjayaḥ
pauṇḍraḿ dadhmau mahā-śańkhaḿ
bhīma-karma vṛkodaraḥ

Sang Krishna rrieniup sangkalalanya yang bernama Panchjanya, dan. Arjuna meniup sangkalalanya yang bernama Devadatta, sedangkan Bhima yang perkasa meniup sangkalalanya yang nampak besar, kekar dan kuat, bernama Paundra.

1.16
anantavijayaḿ rājā
kuntī-putro yudhiṣṭhiraḥ
nakulaḥ sahadevaś ca
sughoṣa-maṇipuṣpakau

Raja Yudhistira, putra ibu Kunti, meniup Anantawijaya, NakUla dan Sahadewa masing-masing meniup Sugosha dan Manipuspaka. Raja Yud/zistira: Yang tertua di antara Pandawa adalah seorang maharaja yang berwatak tenang, penuh kasihasayang dan amat bijaksana dalam segala tindak-tanduknya, tak pemah bohong dalam segala hal. Beliau dikenal lebih sebagai seorang negarawan dari pada seorang pendekar yang gemar berperang. Sangkalala yang dimilikinya disebutAnantavijaya yang berani “kemenangan tanpa akhir” atau juga disebut “suara-kemenangan.“ Nakula: Putra keempat Pandawa dikenal amat mahir berkuda, sangkalala nya bernama Sagosha yang berarti “bersuara indah.” Sahadewa (Sadewa): Putra Pandawa yang paling bungsu memiliki sangkalala yang bernama Manipuspaka yang berarti “mutiara yang mekar” atau “bunga-bunga mutiara,” karena sangkalala yang satu ini teramat indahnya, selain bentuknya laksana mutiara ditaburi pula dengan mutiaramutiara asli yang indah.

1.17
kāśyaś ca parameṣv-āsaḥ
śikhaṇḍī ca mahā-rathaḥ
dhṛṣṭadyumno virāṭaś ca
sātyakiś cāparājitaḥ

Juga yang ikut meniup sangkalalanya masing-masing adalah raja dan ‘ Kashi yang memimpin laskar pemanah. kemudian Sikhandi (Srikandi) yang gagah perkasa, Dhristadyumna. Wata dan Satyaki (Setiakl) yang tak terkalahkan.

1.18
drupado draupadeyāś ca
sarvaśaḥ pṛthivī-pate
saubhadraś ca mahā-bāhuḥ
śańkhān dadhmuḥ pṛthak pṛthak

 Juga Drupada dan putra-putra Draupadi. Dan Juga Saubhadra, semuanya meniup sangkalala mereka dan‘ setiap jurusan. Shikandi (Srikandi) di India sering disebut juga sebagai putra mja (scbcnamya IA seorang banci) Drupada. di Indonesia in dikenal sebagai pahluwnn wanita. merupakan titisan dewi Amba yang mcnuntut balas kepada Bhisma. Panahnya akan menghabisi nyawa Bhisma dalum perang ini. Saryaki adalah Sais kereta pcrang pribadi Sang Krishna.

1.19
sa ghoṣo dhārtarāṣṭrāṇāḿ
hṛdayāni vyadārayat
nabhaś ca pṛthivīḿ caiva
tumulo ‘bhyanunādayan

Suara-suara dahsyat sangkalaIa-sangkalala ini memenuhi langit dan buml tanpa henti-hentinya dan menjatuhkan semangat putra-putra Kaurawa.

1.20
atha vyavasthitān dṛṣṭvā
dhārtarāṣṭrān kapi-dhvajaḥ
pravṛtte śastra-sampāte
dhanur udyamya pāṇḍavaḥ
hṛṣīkeśaḿ tadā  vākyam
idam āha mahī-pate

Kemudian Arjuna yang di kereta perangnya terdapat panji bergambarkan Hanoman. memandang ke arah putra-putra Dhristarashtra yang telah siap untuk berperang; dan tak lama kemudian ketika perang akan segera dimulai. Arjuna memungut busur panahnya.

1.21
Arjuna uvāca
senayor ubhayor madhye
rathaḿ sthāpaya me ‘cyuta
yāvad etān nirīkṣe ‘haḿ
yoddhu-kāmān avasthitān

 Dan berkata kepada Sang Krishna :

 1.22
kair mayā saha yoddhavyam
asmin raṇa-samudyame 

ingin kulihat semua yang di medan ini, mereka yang telah bersiap siap untuk berperang, dengan siapa aku nanti harus berlaga

1.23
yotsyamānān avekṣe ‘haḿ
ya ete ‘tra samāgatāḥ
dhārtarāṣṭrasya durbuddher
yuddhe priya-cikīrṣavaḥ

ingin kulihat mereka-mereka yang berkumpul di sini. yang berhasrat untuk mendapatkan sesuatu yang berharga bagi putra-putra Dhristarashtra yang berhati ibiis itu. Berkatalah Sanjaya

1.24
sañjaya uvāca
evam ukto hṛṣīkeśo
guḍākeśena bhārata
senayor ubhayor madhye
sthāpayitvā rathottamam

Setelah Arjuna selesai dengan kata-katanya. Sang Krishna pun mengarahkan kereta perangnya. kereta yang terbaik diantara semua kereta-kereta perang, ke tengah-tengah, diantara kedua laskar yang berbaris rapi.

1.25
bhīṣma-droṇa-pramukhataḥ
sarveṣāḿ ca mahī-kṣitām
uvāca pārtha paśyaitān
samavetān kurūn iti

Di hadapan Bhisma. Drona dan pendekar-pendekar lainnya. Berkatalah Krishna Lihatlah, oh Arjuna, para Kuru yang sedang berkumpul (di sini).

1.26
tatrāpaśyat sthitān pārthaḥ
pitṝn atha pitāmahān
ācāryān mātulān bhrātṝn
putrān pautrān sakhīḿs tathā
śvaśurān suhṛdaś caiva
senayor ubhayor api

Dan Arjuna pun melihat paman-pamannnya. para sesepuh (kakekkakek), guru-guru, saudara-saudara dari :ibunya. putra-putra dan para cucu, misan dan sahabat-sahabatnya, berdiri berbaris rapi.

1.27
tān samīkṣya sa kaunteyaḥ
sarvān bandhūn avasthitān
kṛpayā parayāviṣṭo
viṣīdann idam abravīt 

Juga terlihat ayah-mertuanya dan para temén yang terdapat di kedua belah pihak. Melihat jajaran sanak-saudaranya yang berbaris rapi ini, Arjuna.

1.28
Arjuna uvāca
dṛṣṭvemaḿ sva-janaḿ kṛṣṇa
yuyutsuḿ samupasthitam
sīdanti mama gātrāṇi
mukhaḿ ca pariśuṣyati
yasyasti bhaktir bhagavaty akiñcana
sarvair gunais tatra samasate śūrāḥ
harav abhaktasya kuto mahad-guna
manorathenasati dhavato bahih:

Tergetar penuh dengan rasa iba dan berkata pilu. Berkatalah Arjuna . Melihat jajaran keluargaku ini, oh Krishna, bersiap-siap untuk berperang.

1.29
vepathuś ca śarīre me
roma-harṣaś ca jāyate
gāṇḍīvaḿ sraḿsate hastāt
tvak caiva paridahyate 

Sendi-sendi badanku terasa lemas dan bibirku terasa rapat, seluruh tubuhku tergetar dan rambutku tegak berdiri.

1.30
na ca śaknomy avasthātuḿ
bhramatīva ca me manaḥ
nimittāni ca paśyāmi
viparītāni keśava 

Busur Gandivaku terlepas dari tanganku dan seluruh kuIitku terasa terbakar; tak kuat aku berdiri tegak Iagi kepalaku serasa berputar putar.

1.31
na ca śreyo ‘nupaśyāmi
hatvā sva-janam āhave
na kāńkṣe vijayaḿ kṛṣṇa
na ca rājyaḿ sukhāni ca 

Dan kulihat pertanda iblis, oh Krishna! Tak kulihat sesuatu apapun yang baik dengan membunuh sanak-saudaraku dalam perang ini.

1.32
kiḿ no rājyena govinda
kiḿ bhogair jīvitena vā
yeṣām arthe kāńkṣitaḿ no
rājyaḿ bhogāḥ sukhāni ca

Tak kuinginkan kemenangan, oh Krishna, tidak juga aku menginginkan kerajaan atau pun kesenangan-kesenangan. Apakah arti sebuah kerajaan untuk kami, oh Krishna, atau pun apakah arti dari kesenangan bahkan hidup ini?

1.33
ta ime ‘vasthitā yuddhe
prāṇāḿs tyaktvā dhanāni ca
ācāryāḥ pitaraḥ putrās
tathāiva ca pitāmahāḥ

 Mereka-mereka ini sekarang berjajar rapi untuk mengorbankan hidup dan harta-benda mereka, sedangkan kami menginginkan kerajaan, kemewahan dan kesenangan, bukankah sebenarnya semua itu diperjuangkan untuk mereka juga. 

1.34
mātulāḥ śvaśurāḥ pautrāḥ
śyālāḥ sambandhinas tathā
etān na hantum icchāmi
ghnato ‘pi madhusūdana 

Yang terdiri dari para guru, ayah, putra-putra dan para kakek, paman, mertua, cucu. saudara-saudara ipar dan sanak-saudara lainnya

1.35
api trai-lokya -rājyasya
hetoḥ kiḿ nu mahī-kṛte
nihatya dhārtarāṣṭrān naḥ
kā prītiḥ syāj janārdana

Aku tak akan membunuh siapapun juga. walaupun aku sendiri boleh mati terbunuh oh Krishna, takkan kuberperang walaupun aku sanggup mendapatkan ketiga dunia ini; apalagi hanya untuk satu yang bersifat duniawi ini?

1.36
pāpam evāśrayed asmān
hatvā itān ātatāyinaḥ
tasmān nārhā vayaḿ hantuḿ
dhārtarāṣṭrān sa-bāndhavān
sva-janaḿ hi kathaḿ hatvā
sukhīnaḥ syāma mādhava 

Setelah membantai putra-putra Dhristarastra, kenikmatan apakah yang dapat kita miliki. wahai Krishna? Seteiah membunuh penjahat-penjahat ini, kita sendiri akan tercemar oleh dosa-dosa-ini.

1.37
yady apy ete na paśyanti
lobhopahata-cetasāḥ
kula-kṣaya-kṛtaḿ doṣaḿ
mitra-drohe ca pātakam

 Tak benar bagi kita untuk membunuh sanak-saudara sendiri, yaitu putra putra Dhristarashtra. Sebenarnya, wahai Krishna, mana mungkin kIta ‘kan bahagia dengan membunuh keluarga kita sendiri?

Penjelasan:  Arjuna adalah seorang pahlawan besar, tetapi menghadapi situasi yang unik ini, ia terhempas ke dalam suatu keragu-raguan yang dalam. Arjuna ke Kurukshetra untuk berperang tetapi tiba-tiba ia tak sampai hati untuk membunuh sanak saudaranya sendiri, walaupun ia tahu mereka-mereka ini berhati iblis. Tiba-tiba ia ragu untuk maju, gundahlah Arjuna dalam “ke akuan” nya.

Bukanlah kita manusia ini sering juga mengalami tekanan-batin yang berat dalam mengambil suatu keputusan yang maha-penting? Bukankah rasa iba sering kali membuka pintu kelemahan kita dan mengantarkan kita ke arah kehancuran itu sendiri? Itu semua karena kita terikat akan sanak-keluarga, harta-benda, nama posisi kita dalam masyarakat. Menjadi budak dari adat-istiadat demi kepentingan egois orang lainnya.

Arjuna terjebak oleh rasa ibanya, oleh adat-istiadat dan simbol-simbol duniawi. Ia lupa tugas manusia sesungguhnya adalah demi dan untuk Yang Maha Esa, dan jalan ke Dia berarti meninggalkan semua milik duniawinya baik yang berbentuk konkrit (nyata) maupun yang berbentuk abstrak. Dalam agama Kristen kita menjumpai suatu persamaan dalam hal ini, Nabi Isa (Yesus) pernah bersabda: “Seandainya sesrorang datang kepadaKu tetapi belum bersedia meninggalkan ayah-bundanya anak-istrinya, dan saudara-saudaranya,maka ia tidak akan menjadi muridKu.” Begitu pun dalam agama Hindu sering kita jumpai tokoh-tokoh spiritual di masa-masa yang silam yang harus meninggalkan “semua miliknya,” kalau sudah memilih jalanNya.

lni bukan berarti Sang Krishna mengecam “rasa-iba” atau perasaan “simpati” atas penderitaan seseorang: rasa-iba sebenamya adalah sifat seorang yang satvik. Tetapi rasa-iba yang sejati menurut versi Bhagavat Gita adalah yang tanpa moha, yaitu keterikatan secara duniawi. Rasa iba yang sejati adalah ekspresi dari cinta atau kasih sayang dari seseorang yang penuh dengan rasa “welas-asih,” dan tidak seseorang pun akan dapat mencintai sesuatu/seseorang dengan sejati tanpa memasuki “sinar pengetahuan llahi.” dan bersedia berjalan lurus (tanpa keterikatan duniawi apapun juga) di jalannya sang dharma. Di atas, untuk sejenak Arjuna ‘ rupanya lupa akan dharmanya. Arjuna lupa dan belum sadar bahwa sanak saudaranya yang sebenarnya bukanlah yang lahir secara fisik sebagai adik, kakak, ayah, ibu, paman, kakek, dsb, tetapi Sanak-saudara yang sejati adalah mereka yang mencintai Yang Maha Esa dan jalan di jalan lurus Sang Dharma. Merekalah sanak-saudara kita yang sejati, tulus dan seiman dalam naungan Yang Maha Esa.

Arjuna masih hilang dalam kealpaannya. Ia lupa bahwa dharma mengharuskan seseorang untuk melaksanakan semua kehendak Yang Maha Esa tanpa pamrih, sama sekali tanpa imbalan sesuatu apapun juga baik itu pahala atau pintu surga, tanpa apapun juga, titik. Hanya bekerja untuk dan demi Dia! Rasa iba yang sejati harus didasarkan atas dharma. Sang Rama sendiri untuk’menegakkan dharma berperang melawan Rahwana, dan di Bhagavat Gita Sang Krishna menganjurk’an jalan yang sama kepada Arjuna, agar Arjuna lepas dari choka (kesedihan) dan moha (keterikatan atau cinta duniawi). . ‘

Di dalam Bhagavat Gita ajaran penting yang tersirat adalah “buhuhlah atau kekanglah pintu-pintu nafsumu.” Agama-agama yang lain pun selalu mengajarkan hal yang sama: Zoroaster misalnya mengatakan “berperangiah terhadap iblis tanpa henti-hentinya,” Sang Buddha berperang dengan Sang Mara, Yesus berperang dengan Syaitan, dan masih banyak contoh dari agama-agama yang lain Arjuna di atas masih lupa bahwa ia harus berperang melawan Duryodana demi tegaknya dharma.

1.38
kathaḿ na jñeyam asmābhiḥ
pāpād asmān nivartitum
kula-kṣaya-kṛtaḿ doṣaḿ
prapaśyadbhir janārdana

Dengan hati yang dikuasai oleh’ keserakahan, maka tidak terlihatlah kesalahan ini yang akan mengakibatkan hancurnya keluarga kita dan ‘ penghianatan atas teman-teman dan para sahabat. 

1.39
kula-kṣaye praṇaśyanti
kula-dharmāḥ sanātanāḥ
dharme naṣṭe kulaḿ kṛtsnam
adharmo ‘bhibhavaty uta

Mengapa kita tidak memiliki kebijaksanaan untuk menjauhi dosa semacam ini, wahai Krishna bukankah kita melihat kesalahan ini akan mengakibatkan kehancuran keluarga kita?

Penjelasan: Arjuna masih menilai bahwa sesuatu kewajiban harus dilaksanakan dengan memikirkan imbalan yang duniawi sifatnya. Sedangkan dharma yang sejati tidak menuntut apa-apa. Dharma harus ditegakkan demi Yang Maha Kuasa. dan apapun yang diberikanNya sesudah itu, baik yang menyenangkan untuk kita atau yang membuat kita menderita karenanya, haruslah diterima sebagai pemberianNya. Dan itu harus ikhlas, tanpa pamrih. Semua dharma kita adalah kewajiban dan persembahan kita kepadaNya,bahkan harus penuh dengan tanggung jawab yang tulus kepadaNya bukankepada kehendak unsur unsur duniawi yang banyak terdapatdisekitar kita, yang kalau dihitung seakan akan tiada habisnya

1.40
adharmābhibhavāt kṛṣṇa
praduṣyanti kula-striyaḥ
strīṣu duṣṭāsu vārṣṇeya
jāyate varṇa-sańkaraḥ

Dengan hancurya sebuah keluarga, hancurlah juga semua tradisi-tradisi lama kita (kuladharma), dan dengan hancurnya tradisi-tradisi, larangan dan segala peraturan-peraturan nenek-moyang kita, maka kekacauan akan menguasai keluarga kita semuanya.

1.41
sańkaro narakāyaiva
kula-ghnānāḿ kulasya ca
patanti pitaro hy eṣāḿ
lupta-piṇḍodaka-kriyāḥ

 Dan kalau kekacauan ini (adharma) berkelanjutan, maka wahai Krishna, wanita-wanita dalam keluarga ini akan berjalan serong. Dan kalau para wanita kita telah berlaku serong, oh Krishna akan terjadi percampuran dalam sistim kasta.

Penjelasan: Arjuna amat khawatir bahwa kehancuran dalam keluarga besar mereka akan menghancurkan juga nilai-nilai  lama tradisi mereka, dan lebih dari itu, juga akan menghancurkan sistim kasta yang mereka pegang teguh. Di dalam Bhagavat Gita, kita akan menemukan bahwa sistim kasta yang dianut secara diskriminasi adalah salah, suatu yang tidak senafas dengan inti ajaran Bhagavat Gita. Peranan wanita dalam agama Hindu’sebenamya sangat vital dan suci, nasib sesuatu bangsa maupun keluarga sering sekali ditentukan oleh peranan seorang wanita yang dalam hal ini bisa berupa seorang ibu, istri, dan sebagainya. Tidaklah mengherankan kalau Arjuna sangat gundah akan hancumya moral para wanita ‘ dalam keluarga-besar mereka. Semenjak masa silam, para wanita dalam agama Hindu selalu mendapatkan posisi yang agung dan suci, penuh tugas untuk dharma. Derajat mereka sebenarnya lebih suci dari para pria dan nilai mereka lebih tinggi. Ini dapat dibuktikan dari kedudukan para dewa-dewi dalam legenda agenda Hindu, juga suatu upacara suci tidak akan sah kalau tidak dihadiri seorang wanita; juga peranan gadis-gadis yang masih suci amatlah vital dalam upacara untuk para leluhur dan tentunya masih sekian banyak contoh-contoh lainnya yang dapat kita baca sendiri di epik Mahabarata dan Ramayana di mana peranan wanita amat menonjol penuh kebajikan.

1.42
doṣair etaiḥ kula-ghnānāḿ
varṇa-sańkara-kārakaiḥ
utsādyante jāti-dharmāḥ
kula-dharmāś ca śāśvatāḥ 

Dan kekacauan ini akan menjerumuskan, baik keluarga kita maupun yang menghancurkan nilai-nilai tradisi, ke neraka. Dan arwah para leluhur pun akan terabaikan karena tak akan mendapatkan air dan sesajen yang   berbentuk bulatan terbuat dari beras).

Penjelasan: Arjuna amat khawatir kalau peperangan ini akhimya malah merusak nilai nilai tradisi lama dan agama mereka, sehingga arwah para leluhur pun Ikut makan getahnya dengan tidak mendapatkan sesajen lagi. Biasanya para wanitalah yang mengatur sesajen ini pada upacara-upacara keagamaan tertentu. Kalau wanita-wanita dalam keluarga mereka sudah tidak setia lagi kcpada leluhur mereka tentu akan timbul kekacauan dalam tradisi ini, pikir Arjuna. Upacara sesajen untuk para leluhur disebut shraddha.

1.43
utsanna-kula-dharmāṇāḿ
manuṣyāṇāḿ janārdana
narake niyataḿ vāso
bhavatīty anuśuśruma

Karena ulah yang menghancurkan keluarga kita ini. terciptalah kekacauan dalam sistim vama (kasta) yang ada dalam tradisi kaum kita dan hancurlah keluarga ini.

1.44
aho bata mahat pāpaḿ
kartuḿ vyavasitā vayam
yad rājya-sukha-lobhena
hantuḿ sva-janam udyatāḥ

Dan kami dengar. wahai Krishna, bahwa barang siapa kehilangan niiai-nilai . tradisi keluarga, mereka akan tinggal di neraka.

1.45
yadi mām apratīkāram
aśastraḿ śastra-pāṇayaḥ
dhārtarāṣṭrā raṇe hanyus
tan me kṣemataraḿ bhavet

Aduh, Betapa besarya dosa yang harus kita pikul dengan membunuh sanak-keluarga hanya demi kemewahan sebuah kerajaan.

1.46
sañjaya uvāca
evam uktvārjunaḥ sańkhye
rathopastha upāviśat
visṛjya sa-śaraḿ cāpaḿ
śoka-saḿvigna-mānasaḥ

 Lebih baik aku dibantai putra-putra Dhristarastra dengan senjata mereka, dan tak akan kulawan mereka.

Berkatalah Sanjaya

1.47
 Setelah mengatakan hal-hal tersebut (di medan perang), Arjuna terjatuh ke sandaran kursi (kereta perangnya), dan menghempaskan panah serta busurnya; seluruh jiwanya tercekam dengan rasa gundah-gulana.

Penjelasan: Arjuna sebenarnya adalah seorang kesatria yang bersih, tetapi pada saat ini hatinya diselimuti awan tebal. Ia sebenarnya, seakan-akan berbicara tentang vairagya (penyerahan diri secara total), tetapi hal’ini dilakukannya karena keterikatannya kepada sanak-keluarga dan harta duniawi, bukan vairagya kepada Yang Maha Esa. Banyak yang bertanya apa perbedaan antara cinta (moha) dan cinta-sejati? Yang pertama adalah kulit luarnya yang selalu terikat pada sesuatu benda atau seseorang secara duniawi, sedangkan cinta-sejati adalah suatu ekspresi dari suatu kesadaran yang dianugerahkan oleh Yang Maha Esa kepada kita semuanya yang sebenarmya penuh dengan rasio, pertimbangan, dan perhitungan yang penuh tanggung jawab baik kepada masyarakat maupun Yang Maha Pencipta. Cinta sejati tidak terikat pada batas-batas pribadi seseorang. Arjuna tidak dapat berperang karena ia masih terikat dalam batas-batas “miliknya,” ia masih mencintai scmua sanak-keluarganya dalam batas duniawi. Arjuna lupa akan akhir hidup kita semuanya,’tidak ada sesuatu apapun yang akan kita bawa kembali ke alam sana, karenanya Arjuna masih harus belajar tentang nishkama-karma (sesuatu tindakan atau pekerjaan tanpa mengharapkan pamrih).

Sang Krishna maklum Arjuna sedang mengalami depresi mental yang sangat berat.‘ beliaupun memulai ajaran-ajaranNya demi membangun lagi jiwa-raga Arjuna agar terjun lagi penuh semangat dan vitalitas untuk menghadapi hidup ini yang penuh dengan segala cobaan tetapi juga tugas-tugas dari Yang Maha Pencipta untuk kita semua.

lnti ajaran Bhagavat Gita adalah, pembinaan mental diri kita sendiri sccara batin. Gita mengingatkan dan sekaligus mengajarkan bahwa kelemahan adalah dosa; sesuatu kekuatan diri haruslah dibina dengan disiplin yang kuat dan tanpa pamrih. Kekuatan ini harus bersih dari segala unsur-unsur duniawi dan penuh dengan gairah hidup demi dharma kita kepadaNya. Pesan Sang Krishna dalam Bhagavat Gita adalah “berdirilah dan berperanglah melawan kebatilan.” Hidup

adalah perjuangan demi nilai-nilai kebenaran; hidup juga adalah sebuah kuil atau pura dari pemujaan kita kepadaNya tanpa pamrih; Maju terus pantang mundur demi dharma-bhaktimu kepadaNya, bukan kepada hasrat-hasrat pribadimu dalam bentuk apapun juga.

Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Bab yang pertama ini disebut sebagai Ilmu Pengetahuan tentang Ilahi, sebuah Karya Sastra yang berbentuk dialog antara Sang Krishna dan Arjuna yang disebut juga:

Arjuna Vishada Yoga

(Yoga Sang Arjuna dalam Kedukaannya)

Bab pertama disebut “Vishada Yoga.” Vishada berarti depresi (karena duka), yoga di sini berani bagian atau Bab. Vishada yoga adalah permulaan dari Bhagavat Gita.
Sebenarnya kalau ditelah secara mendalam. maka rasa depresi atau Vishada ini adalah anak tangga pertama menuju ke kehidupan spirituil atau kebatinan. Setiap manusia harus mengalaminya setelaah tersandung dalam berbagai aspek kehidupannya yang gagal, dan masuklah ia kemudian ke dalam suatu kegelapan seakan akan tanpa jalan keluar, kemudian barulah ia meniti secara perlahan dari gelap menuju ke terang. Dalam setiap depresi ini kalau sudah tidak terlihat jalan keluar maka kita akan berteriak dalam kedukaan yang amat dalam: “Apakah arti kehidupan ini? Apakah arti semuanya ini? Mengapa kita harus dilahirkan? Kemana kita akan pergi sesudah mati nanti? Dan sering sekali kita mengucapkan. “Oh Tuhanku mengapa Kau lupakan daku?” Mengapa Kau tinggalkan daku sendiri dalam duka ini?” dan “Oh Tuhan Dikau tak adil pada ku?” dan lain sebagainya. sebagai tanda-tanda frustrasi dalam diri kita. Setiap manusia kemudian harus masuk ke dalam suatu keheningan sebelum ia kemudian melangkah masuk dalam suatu bentuk ilmu pengetahuan tentang dirinya sendiri. Dalam keheningan ini setelah membunuh atau menguasai

Semua bentuk rasa egonya baik yang berbentuk positif (baik) maupun negatif (buruk). ia akan mememukan bahwa ia tidak berdiri sendiri dan semua ini ada yang mengatur. la akan menemukanNya, yang selalu mengayominya, menuntunnya dan kasih-sayang kepadanya. Ia (Yang Maha Esa) selalu hadir dalam setiap agama dengan bentuk dan versi yang berlainan sesuai dengan kepercayaan masing-masing individu; dalam Hindhu Dharma Ialah Sang Krishna (Ilahi dalam bentuk manusia), Sang Penuntun jalan kehidupan kita. Camkanlah bahwa untuk mendapatkan penerangan, sesorang melalui jalan takdir biasanya harus mengalami kegelapan dulu. Begitu juga Arjuna dan begitu juga kita manusia, sampai suatu saat nanti, kita pun, seperti Sang Arjuna akan mengucapkan:

Engkaulah yang Terutama,
Engkaulah Tujuan yang Tertinggi,
Dari ujung ke ujung Kau penuhi alam semesta ini,
Oh Dikau Bentuk yang Tanpa Batas (Anantarupam),