Arsip Tag: Bhagavad Gita Bab VI

Bhagavad Gita Bab VI

Bab VI

Jalan Meditasi

Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
6.1

śrī-bhagavān uvāca

anāśritaḥ karma-phalaḿ

kāryaḿ karma karoti yaḥ

sa sannyāsī ca yogī ca

na niragnir na cākriyaḥ


Seseorang yang mengerjakan kewajiban yang harus dilakukannya, tetapi tanpa menuntut keuntungan, tanpa pamrih, maka orang itu adalah seorang sanyasi dan seorang yogi bukan ia yang tak mau menyalakan api pengorbanan dan tak mau melakukan upacara apapun.

Penjelasan: Sang Krishna mengulang lagi sebuah fakta kebenaran bahwa seorang sanyasi yang sejati adalah seorang yogi sekaligus karena telah mempersembahkan (mengorbankan) semua pekerjaan dan hasil-hasil dari pekerjaannya kepada Yang Maha Esa. Sanyasa sendiri juga berarti tidak terikat atau tidak berkeinginan. Seseorang yang hidupnya selalu berkeinginan tanpa habis-habisnya dan selalu terikat pada obyek-obyek duniawi dianggap tidak pernah berkorban untuk Yang Maha Esa (tidak melakukan api pengorbanan) atau berbuat suatu apapun demi Yang Maha Esa.

6.2
yaḿ sannyāsam iti prāhur
yogaḿ taḿ viddhi pāṇḍava
na hy asannyasta-sańkalpo
yogī bhavati kaścana

 Sebenarnya, Sanyasa yang sejati (penyerahan total) itu adalah Yoga, oh Arjuna! Dan seseorang bukanlah yogi yang sejati kalau belum mengesampingkan sankalpa-sankalpanya (keinginan-keinginannya yang bermotifkan sesuatu atau suatu tekad untuk mendapatkan sesuatu yang bersifat duniawi di masa depan).

Penjelasan: Segi-segi panting dari sanyasa juga terdapat di dalam karma-yoga. Seorang sanyasi yang sejati sama halnya dengan seorang yogi yang sejati tidak akan terganggu oleh nafsu. Seorang karma-yogi yang sejati tak akan terusik oleh imbalan apapun untuk setiap perbuatan atau tindakannya.

Sankalpa harus dikesampingkan. Semua rencana yang bermotifkan keserakahan pribadi, rencana yang penuh dengan nafsu-nafsu egoisme harus dikesampingkan, karena rencana-rencana semacam ini timbul dari avidya (kekurang-pengetahuan), lahir dari suatu perasaan bahwa “akulah” pelakunya. Seorang karma-yogi yang sejati akan melenyapkan rasa “akunya” (egoisme dan ahankara) dari dirinya.

Yang dimaksudkan Sang Krishna di atas bukannya mengesampingkan pekerjaan seseorang, tetapi sebaliknya bekerja dengan mengesampingkan tekad-tekad atau rencana dan itikad yang punya motif atau tujuan yang tertentu untuk kepentingan diri atau egonya biasanya setiap pekerjaan kita selalu disertai dengan pengharapan akan suatu hasil dan imbalan, bukan saja dari Yang Maha Esa, dari dewa-dewa tetapi dari orang-orang lain, maupun dari pekerjaan itu sendiri. Seyogyanyalah semua pekerjaan dilakukan dengan tekad untuk Yang Maha Esa semata, itu berarti kesatuan dengan Sang Atman dalam segala tindak-tanduk kita sehari-hari dan dalam hidup kita ini. Seorang yogi yang sejati tidak akan berjalan seirama dengan sankalpasankalpanya, tetapi selalu bekerja tanpa pamrih selama hidupnya dan meditasi (atau dhyana) baginya adalah suatu faktor penunjang yang amat membantunya.

6.3
ārurukṣor muner yogaḿ
karma kāraṇam ucyate
yogārūḍhasya tasyaiva
śamaḥ kāraṇam ucyate

 Untuk seorang suci yang ingin mencapai yoga, maka jalannya adalah dengan bertindak. untuk orang suci yang sama ini sekali ia telah mencapai yoga, maka ketenangan adalah jalannya.

Penjelasan: Untuk mencapai yoga, maka seseorang yogi yang sejati harus bekerja selalu tanpa pamrih, dan setelah ia berhasil menyatu denganNya, maka tindakan sudah tidak penting baginya karena yang bertindak kemudian adalah kehendak Ilahi, dan ia hanyalah alatNya saja. Orang semacam ini akan bekerja dengan dan dalam segala ketenangan dan bagi kesejahteraan semua mahluk. Ia tak akan mempunyai sankalpa atau rencana-rencana formatif untuk dirinya. Semua pekerjaan atau tindakannya akan selalu sinkron atau sesuai dengan dhyana (meditasiNya), dengan kehendak Sang Atman yang bersemayam di dalam dirinya, dan ini bukan suatu hal yang tiktif atau penuh dengan imajinasi, tetapi betu-betul akan terjadi pada seorang yogi semacam ini dalam kehidupan ini sebenarnya. 0m Tat Sat.

6.4
yadā hi nendriyārtheṣu
na karmasv anuṣajjate
sarva-sańkalpa-sannyāsī
yogārūḍhas tadocyate

 Seseorang yang sudah lepas dari obyek-obyek sensualnya atau dari tindakan tindakan dan telah mengesampingkan semua sankapa-sankalpanya, maka orang ini dianggap telah bersemayam dalam yoga (yogarudha).

Penjelasan: Sankalpa adalah dasar dari semua aktivitas yang penuh dengan rencana-rencana egoistik, dalam Bab IV/ 10 Sang Krishna bersabda: “Seseorang yang pekerjaannya bebas dari nafsu dan sankalpa disebut seorang suci.” Maka seyogyanyalah seorang yogi yang baik mengesampingkan semua sankalpanya dan tetap bckerja demi kewajibannya yang benar, tanpa nafsu, tanpa rasa egoisme, dan tanpa rasa keterikatan pada dua rasa atau sifat yang berlawanan. Bekerjalah dan terimalah apa saja yang dihasilkan oleh pekerjaan itu sebagai pemberian dari Yang Maha Kuasa. Rantailah ego pribadi dengan memasrahkan diri kepada kehendak Sang Ilahi. Dalam Mahabarata tertulis sebagai berikut: “Oh nafsu, aku tahu akar-akarmu. Engkau lahir dari Sankalpa atau pikiran-pikiran egoistik. Aku tak akan memikirkan engkau. dan kau akan mati karenanya.”

6.5
uddhared ātmanātmānaḿ
nātmānam avasādayet
ātmaiva hy ātmano bandhur
ātmaiva ripur ātmanaḥ

 Sebaiknya seseorang mengangkat dirinya sendiri dengan Dirinya (Sang Atman), dan jangan sampai ia menjatuhkan dirinya. Karena sebenarnya, Dirinya adalah temannya sendiri, dan Dirinya juga adalah musuhnya sendiri.

Penjelasan: Angkatlah dirimu sendiri oleh Diri Mu (Sang Atman), bagaimana caranya? Dengan mengejar atau menjalani ajaran-ajaran spiritual seperti karma-yoga atau gnana-yoga atau bhakti-yoga. Jangan kau jatuhkan dirimu ke dalam nafasu-nafsu duniawi yang gelap. Sekali anda mau memperbaiki dan mengangkat diri sendiri, maka jalan ke arahNya akan terbuka lebar. Sang Atman yang bersemayam dalam diri kita ini dapat menjadi musuh atau pun teman dari ego kita sendiri. Sang Atman jadi sahabat kalau kita menjalin hubungan denganNya dan mengesampingkan semua nafsu-nafsu duniawi kita. Sang Atman yang universal sifatNya ini lalu menjadi sahabat, penuntun, penunjuk jalan dan guru kita (Adhi Guru). Tetapi kalau kita jauh dariNya, maka Sang Atman pun jadi “musuh” dan jauh dari kita. Tanpa tuntunan dan jauh dari kasih-sayangNya, kasih-sayang Sang Atman ini, maka apalah arti kehidupan ini.

6.6
bandhur ātmātmanas tasya
yenātmaivātmanā jitaḥ
anātmanas tu śatrutve
vartetātmaiva śatru-vat

 Diri (Sang Atman), adalah teman bagi seseorang yang dirinya (yang rendah) telah dikalahkan oleh Dirinya (yang Tinggi). Tetapi bagi diri yang belum terkendali, maka Sang Diri (Sang‘Atman) akan bertindak tidak ramah, ibarat seorang musuh.

Penjelasan:Yang disebut diri yang rendah adalah indra-indra dan pikiran kita. Seseorang yang berhasil menaklukkan semua ini telah mencapai tahap kesadaran-diri. Kalau diri kita sudah terkendali dengan baik dan menyatu dan bekerja sebagai alatnya Sang Atman, maka Sang Atman pun menjadi sahabat baik kita, menjadi sumber ilham, inspirasi, intuisi, dan guru kita secara spiritual (guru spiritual) dalam segala hal. Tetapi kalau diri kita tetap saja bersifat egois, sombong dan bertahan pada keinginan-keinginan duniawi, maka Sang Atman tidak akan menjadi sumber inspirasi atau penerangan hidup kita melainkan menimbulkan ketidak-harmonisan dalam diri kita, karena hati nurani akan selalu bertentangan dengan tindak-tanduk Yang tidak baik dan tidak mengikuti dharma atau kewajiban-kewajiban kita di dunia ini.

6.7
jitātmanaḥ praśāntasya
paramātmā samāhitaḥ
śītoṣṇa-sukha-duḥkheṣu
tathā mānāpamānayoḥ

Seseorang yang telah menguasai dirinya (yang rendah) dan telah mencapai ketenangan dalam mengendalikan dirinya, maka Sang Diri Yang Agung yang bersemayam di dalam dirinya akan bersemayam dengan penuh keseimbangan. Ia (orang ini) akan selalu merasa damai baik dalam panas maupun dingin, dalam kesenangan dan penderitaan, dan baik dihormati atau tidak dihormati.

Penjelasan: Orang yang telah dapat mengendalikan dirinya adalah orang yang tenang dan damai jiwanya dalam arti yang sesungg uh – sungguhnya la adalah orang yang sadar bahwa ia hanyalah alat bagiNya dan sebuah alat fungsinya adalah sama saja baik sewaktu dipakai maupun sedang tidak dipergunakan. Bagi suatu atau sebuah alat, panas dan dingin, dihormati atau tidak adalah sama saja, tidak lebih dan tidak kurang karena ia hanya sebuah alat.

6.8
jñāna-vijñāna-tṛptātmā
kūṭa-stho vijitendriyaḥ
yukta ity ucyate yogi
sama-loṣṭrāśma-kāñcanaḥ

 

Seorang yogi, yang jiwanya telah puas dengan kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan (gnana dan vignana) dan tidak terombang-ambing, yang indra indranya telah dikalahkan (terkendali), yang merasa bahwa segumpalan tanah-liat, sebuah batu dan sebongkah emas adalah sama saja nilainya, maka orang ini disebut yukta (seorang yang harmonis pengendalian yoganya).

Penjelasan: Gnana adalah pengetahuan tentang Nirguna, yaitu Yang Tak Terlihat, sedangkan vignana adalah pengetahuan tentang Saguna, yaitu Yang Terlihat. Seseorang yang telah sadar dan penuh dengan kedua ilmu pengetahuan ini (gnana dan vignana), merasa puas dengan kebenaran Sang Brahman sesuai dengan pengalamannya selama ini, sehingga ia tergoyahkan atau terombang-ambing oleh pengalaman ~ pengalaman duniawi yang nampak dan terasa sehari hari. Baginya tanah liat, batu ataupun emas itu sama saja nilainya. Ia sudah mencapai keharmonisan dalam hidupnya. Orang semacam ini disebut yukta.

6.9
suhṛn-mitrāry-udāsīna-
madhya-stha-dveṣya-bandhuṣu
sādhuṣv api ca pāpeṣu
sama-buddhir viśiṣyate

Seseorang yang memandang sama terhadap teman-temannya, sahabat sahabatnya dan terhadap musuh-musuhnya, terhadap orang-orang yang tak dikenalnya dan terhadap pihak-pihak yang netral, terhadap orang-orang asing dan sanak-saudaranya, terhadap orang-orang suci dan terhadap orang-orang yang berdosa orang ini telah mencapai kesempurnaan (kebaikan).

Penjelasan: Orang yang telah mencapai kesempurnaan melihat Satu Pencipta (Tuhan) di dalam setiap benda, mahluk dan manusia. Ia bebas secara total dari rasa diskriminasi karena ia sadar bahwa semua ciptaan Yang Maha Esa sebenarnya adalah alat-alatNya belaka.

6.10
yogī yuñjīta satatam
ātmānaḿ rahasi sthitaḥ
ekākī yata-cittātmā
nirāśīr aparigrahaḥ

 Sebaiknya seorang yogi duduk di suatu tempat yang tenang dan tersendiri. dan secara konstan mengkonsentrasikan pikirannya pada (Jati Dirinya Yang Agung). dan dengan mengendalikan dirinya, lepas dari segala nafsu dan ’rasa memiliki.

Penjelasan: Sang Krishna menerangkan sebagian teknik meditasi kepada Arjuna. Sebenarnya seluruh proses teknik meditasi tak dapat diterangkan dalam bentuk tulisan. Prosesnya berbeda dari satu orang ke orang lain dan sebaiknya dipelajari dari seorang guru yang bijaksana. Ibarat belajar melukis yang tidak dapat dipelajari begitu saja, maka yoga pun tak dapat dipelajari dari buku-buku meditasi saja.

Garis besar atau yang terpenting dalam metode meditasi haruslah disertai dengan kendali atas pikiran kita, sehingga setiap saat pikiran kita dapat diperintahkan untuk diam sesuai kehendak

atau tekad kita. Sangat baik kalau seseorang yang ingin belajar meditasi dapat melakukannya di tempat yang tersendiri dan lepas dari gangguan-gangguan suara dan sebagainya. Ia harus lepas dari pikiran-pikiran egois dan rasa memiliki harta-benda, keluarga dan hal-hal duniawi lainnya, juga ia harus lepas dari keinginan-keinginan indra-indranya. Ia harus secara konstan setiap harinya menyisihkan sejumlah waktu tertentu dan berusaha dengan tekad yang tulus untuk mengkosentrasikan diri dan pikirannya kepada Sang Atman, dan sebaiknya waktu yang disediakan untuk meditasi ini tidak terganggu oleh kesibukan-kesibukan lainnya, agar meditasi berjalan tanpa gangguan secara mental maupun secara psikis, juga tempat bermeditasi haruslah bersih dan tidak terganggu oleh suara, bau busuk dan gangguan nyamuk dan sebagainya.

6.11
śucau deśe pratiṣṭhāpya
sthirām āsanam ātmanaḥ
nāty-ucchritaḿ nāti-nīcaḿ
cailājina-kuśottaram

 Di tempat yang bersih sebaiknya ia duduk secara tetap, tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah, tertutup oleh rumput-rumput kusha, kulit menjangan dan kain, yang satu melapisi yang lainnya.

6.12
tatraikāgraḿ manaḥ kṛtvā
yata-cittendriya-kriyaḥ
upaviśyāsane yuñjyād
yogam ātma-viśuddhaye

 Di situ, duduk secara tegak di tempatnya, mengarahkan pikirannya pada suatu titik dan mengekang pikiran dan indra~indranya, sebaiknya ia berlatih yoga demi pembersihan jiwanya.

Penjelasan: Sang Krishna secara langsung mengajarkan teknik-teknik bermeditasi:

  1. Carilah suatu tempat bermeditasi yang baik dan bersih dari segala kotoran, dan juga hal-hal yang kurang baik. Suatu tempat dekat sungai, di gunung, di pura, di taman bahkan di dalam kamar pribadi yang resik dan tenang suasananya akan amat bermanfaat untuk bermeditasi, karena memberikan suasana yang tenteram dan nyaman dalam hati sanubari kita.
  2. Tempat duduk untuk bermeditasi ini boleh dibuat atau terdiri dari batu yang rata, atau sepotong papan yang rata, atau bantal dan apa saja yang cukup nyaman terlalu rendah, karena kalau terlalu tinggi bisa saja ia terjatuh kalau meditasinya memasuki trans atau tertidur sewaktu melakukan meditasi ini, dan kalau jatuh bisa-bisa melukai dirinya secara serius. Juga diusahakan tidak terlalu rendah agar tidak diganggu oleh serangga yang berbisa, atau nyamuk dan semut. Ini tentu saja berlaku untuk tempat di alam bebas atau di tempat-tempat yang banyak serangganya. Di dalam kamar pribadi yang tenang, sebenarnya semuanya dapat diatur dengan baik.
  3. Kusha adalah sejenis rumput. Kusha, kulit menjangan dan kain diperlukan pada zaman dahulu. Kusha diletakkan terbawah, kemudian di atas dilapisi dengan kulit menjangan, dan kemudian kain diletakkan teratas. Kalau menggunakan kulit harus diperhatikan bahwa kulit ini berasal dari seekor binatang yang meninggal dunia atau mati secara alami dan bukan terbunuh oleh manusia. Semua ini untuk memberikan rasa nyaman di masa-masa yang lalu. Sekarang ini dapat disesuaikan dengan keadaan yang panting sederhana dan jauh dari keperluan duniawi yang serba luks, dan cukup kalau sudah terasa nyaman dan baik. (Contoh: kain yang tebal dan hanya selembar pun sebenamya sudah cukup.)
  4. Pikiran harus tenang dan lepas dari nafsu, ego, dan keserakahan. Bermeditasi sebenarnya berarti masuk ke dalam keheningan diri kita sendiri.

6.13
samaḿ kāya-śiro-grīvaḿ
dhārayann acalaḿ sthiraḥ
samprekṣya nāsikāgraḿ svaḿ
diśaś cānavalokayan

Tegakkanlah tubuh, kepala, leher, dan pandangan dipusatkan pada ujung hidung, tanpa menoleh ke kanan atau ke kiri.

6.14
praśāntātmā vigata-bhīr
brahmacāri-vrate sthitaḥ
manaḥ saḿyamya mac-citto
yukta āsīta mat-paraḥ

 Tenang dan tanpa rasa takut, teguh dan jauh dari perasaan seksual (brahmacharya), dengan mengendalikan diri dan duduk secara harmonis. pikirannya terpusat padaKu dan mencariKu terus.

Penjelasan: Seseorang yang ingin bermeditasi kepadaNya harus duduk tegak, tanpa bergerak dan sebisa mungkin meluruskan kepala dan lehernya secara tegak dengan badannya, dan memusatkan pikirannya seakan-akan memandang ujung hidungnya. Tanpa menoleh ke manapun juga, tanpa rasa takut dan dengan hati yang tenang dan stabil lepas da segala macam pikiran harus memusatkan pikiran dan dirinya kepada Yang Maha Esa tanpa henti-hentinya.

Ia harus lepas dari pikiran seksual pada waktu bermeditasi. Bahkan untuk seorang yang ingin menjadi bramacharya ada kriteria-kriteria tertentu yang harus diikutinya. dan kriteria-kriteria ini telah digariskan oleh Manu (manusia yang pertama di bumi) seperti berikut ini:

Seorang Brahmacari (yang menganut ajaran tidak melakukan hubungan seksual) harus mandi untuk membersihkan dirinya, dan ini harus dilakukannya sccara konstan. Harus pantang memakai perhiasan dan tidak ikut-ikutan dansa-dansi dan pertunjukan musik yang penuh dengan hura-hura. Pantang berjudi dan harus belajar tidur di lantai dan tidak memandang ke arah wanita. Ia harus sederhana cara makannya dan tidak mengenakan baju-baju yang mewah seperti sutra atau kain-kain yang lembut dan halus yang berkesan mahal, dan selalu harus memuja Yang Maha Esa dan hormat kepada para resi dan berdedikasi kepada guru-gurunya. Ia harus pantang berdebat dan berdiskusi dengan siapa saja atau mencampuri urusan orang-orang lain. Ia juga harus selalu berbicara yang jujur dan tidak menghina siapapun. Ia harus menganut ajaran ahimsa (tidak merusak atau membunuh atau melukai siapa dan apapun dengan cara apapun juga). Ia harus mengendalikan dirinya sampai lenyap semua rasa nafsu, ‘amarah dan egonya. Ia harus menjaga agar spermanya tidak terpancar keluar, dan sebisa mungkin tidur seorang diri. Sperma yang terjaga baik di dalam badan seseorang akan menimbulkan sejenis aliran yang misterius di dalam tubuhnya dan cahaya dari aliran ini akan membuat prana dan pikiran orang tersebut itu menjadi stabil, dan akibatnya pikiran pun secara otomatis menjadi terarah dengan baik dan stabil ke arah Yang Maha Esa.

Obyek dan meditasi (dhyana-yoga) adalah meditasi kepadaNya (Yang Maha Pengasih) dan bertujuan mencapai kesatuan denganNya. Dalam melakukan meditasi seseorang harus secara teguh beraspirasi kepadaNya atau bisa-bisa (sering sekali ini terjadi) pikiran kita terbawa oleh ilusi yang aneh-aneh dan menyesatkan. Yang panting adalah menyatukan atau memfokuskan diri pada Sang Atman, “melihat Sang Atman melalui Sang Atman.” Pikiran harus terang, tetapi itu saja tidak cukup. Pikiran juga harus selalu dipusatkan kepadaNya. Dan pemusatan pikiran ini harus tulus dan bersih.

6.15
yuñjann evaḿ sadātmānaḿ
yogī niyata-mānasaḥ
śāntiḿ nirvāṇa-paramāḿ
mat-saḿsthām adhigacchati

 Sang Yogi ini akan selalu harmonis jiwanya, bersatu dengan Sang Atman, dengan pikiran yang terkendali, menuju ke Damai ke Nirvana atau Berkah Yang Agung yang ada di dalam DiriKu.

Penjelasan: Yang disebut Nirvana, atau Kedamaian, atau Berkah (Kebebasan) ini adalah pemberian atau karunia dari Yang Maha Esa untuk seorang yogi yang penuh dedikasi kepadaNya. Tidak ada kesatuan yang dapat dicapai dengan Yang Maha Esa tanpa ada tekad yang kuat dari sang jiwa itu sendiri, dan Yang Maha Kuasa akan datang menolong mereka yang mencariNya dan membawa mereka ke arah Nirvana ini (kedamaian yang suci). Maka seyogyanyalah seseorang terus menerus berusaha dengan kepasrahan total kepadaNya dan dengan penuh disiplin dan dedikasi kearahNya. Dan berkahNya akan turun dan menyatukan diri kita dengan DiriNya, dan kesatuan atau persatuan inilah yang disebut moksha (pembebasan).

6.16
nāty-aśnatas ‘tu yogo ‘sti
na caikāntam anaśnataḥ
na cāti-svapna-śīlasya
jāgrato naiva cārjuna

 Yoga ini sebenarnya bukan untuk seseorang yang makan terlalu banyak, dan juga bukan untuk seseorang yang terlalu menghindari makanan. Yoga ini pun bukan untuk seseorang yang tidur terlalu banyak atau yang tidak terlalu banyak tidur, oh Arjuna!

6.17
yuktāhāra-vihārasya
yukta-ceṣṭasya karmasu
yukta-svapnāvabodhasya
yogo bhavati duḥkha-hā

 Yoga ini menghapuskan semua penderitaan seseorang yang berimbang (temperamen) dalam cara ia makan dan berekreasi, yang terkendali tindakan tindakannya dan teratur bangun-tidurnya.

Penjelasan: Seseorang yang mempunyai kebiasaan bermeditasi harus ingat bahwa ia harus hidup secara teratur dan seimbang dalam segala tindak-tanduknya sehari-hari. Adalah salah kalau ia makan terlalu banyak, karena bukannya ia akan makin kuat karenanya tetapi malahan fungsi pemafasannya dalam meditasi akan menjadi kacau, dan bagi seorang bramacharya kelebihan gizi malahan akan merusak semua usahanya untuk mengekang hasrat-hasrat seksualnya. Terlalu banyak makan dan (atau) kekurangan makan selalu akan menghasilkan kekacauan dalam fungsi-fungsi tubuh kita dan hilanglah keharmonisan dalam raga dan usaha spiritual kita. Semua yang kita lakukan sebaiknya tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit, cukup-cukup sajalah, yang wajar-wajar dan tidak melebihi porsi maupun menguranginya secara drastis. Ini namanya harmonis dalam segala-galanya.

Makanan yang dimakan pun sebaiknya yang sesuai dengan kebutuhan tubuh kita dan cocok dengan pencernaan setiap individu secara masing-masing, tidak ada yang boleh dipaksakan ataupun memakan makanan yang sebenarnya tidak perlu untuk tubuh kita. Juga secara mental dan spiritual harus diperhatikan dengan amat sangat agar tidak memakan sesuatu hasil dari perbuatan tidak baik atau negatif. scperti hasil dari korupsi atau uang haram lainnya, tetapi betul-betul harus hasil keringat yang halal dan suci.

Puasa yang amat berkepanjangan harus dicegah, puasa itu perlu tetapi harus teratur dan tidak merusak tubuh kita, puasa yang teratur akan meningkatkan vitalitas dan tingkat spiritual jiwa dan raga kita. Begitupun dengan rekreasi, ini pun penting untuk kita asal yang sehat dan teratur, untuk pikiran, mental dan raga kita agar segar dan penuh dengan dinamika yang sehat. Rekreasi dalam bentuk olah-raga, perjalanan ke alam bebas seperti ke hutan, gunung, ke sungai dan lain sebagainya ini amat menyehatkan dan sangat menyegarkan tubuh dan pikiran kita, tetapi semua ini harus dilakukan secara teratur dan konstan, sehingga tidak merugikan diri kita maupun lingkungan kita dalam arti yang seluas-luasnya. Cara-cara kehidupan lainnya seperti berdagang, bekerja, berdoa, memuja Yang Maha Esa, berbuat amal, menolong yang harus ditolong, menghormati orang-tua dan yang pantas dihormati, dan lain sebagainya harus dilakukan dalam batas-batas kewajaran dan tidak berlebih-lebihan. Bangun-tidur pun harus diatur yang seimbang, tidur sebaiknya cukup enam jam saja, tetapi dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan usia seseorang. Seorang yang ingin tekun bermeditasi harus selalu jalan ditengah-tengah, maksudnya penuh disiplin dan seimbang dalam segala perbuatannya. Setiap aksi atau perbuatannya sebaiknya tidak berlebihan, terkendali dan wajar-wajar saja. Tidak usah terburu tetapi juga tidak lambat. Ia selalu stabil dan berimbang baik dalam bertutur-kata maupun dalam setiap pekerjaannya. Ia dengan demikian secara lambat-laun akan bebas dari segala penderitaan yang diakibatkan oleh perbuatannya sendiri yang terlalu banyak atau yang terlalu sedikit, dan juga oleh akibat-akibat dari perbuatan itu sendiri seperti rasa kurang puas, marah, kesukaran, ketakutan, keresahan dan banyak lainnya.

6.18
yadā viniyataḿ cittam
ātmany evāvatiṣṭhate
nispṛhaḥ sarva-kāmebhyo
yukta ity ucyate tadā

Sewaktu pikiran yang penuh disiplin dipusatkan pada Jati DiriNya (Sang Atman) sendiri (dan tidak pada hal-hal yang lainnya), bebas dari semua nafsu, maka disebutlah orang ini harmonis dalam yoganya.

Penjelasan : Inilah inti sari dari meditasi, seseorang yang menyerahkan dirinya secara total atau penuh kepada Sang Atman, maka ia akan mengenal Sang Atman secara lebih jelas, dan seperti yang kita ketahui dari Bhagavat Gita maka Sang Atman yang bersemayam di dalam diri kita ini merupakan saksi dari setiap tindakan kita, bahkan dari pikiran dan panca indera kita sendiri. Ia mengetahui semua kejujuran, kepalsuan dan kemunafikan kita, tidak ada yang terhindar dari penglihatanNya, maka dikatakan kalau kita bebas dari segala nafsu-nafsu kita, maka Sang Atman akan nampak lebih jelas dan terasa semua instruksi dan nasehat-nasehatnya untuk kita. Maka disebut. seseorang yang disiplin dengan meditasinya, dan puas dengan dirinya sendiri, dan Pikirannya tidak menerawang pada obyek-obyek indranya yang terdapat di luar dirinya sendiri, maka sekali ia mencapai kestabilan harmonislah meditasi atau Yoganya.

6.19
yathā dīpo nivāta-stho
neńgate sopamā smṛtā
yogino yata-cittasya
yuñjato yogam ātmanaḥ

 Seperti pelita yang terletak di suatu tempat yang tak berangin. tidak berkedip. begitulah juga seorang yogi yang telah mengendalikan pikirannya. bersatu dengan Sang Atman, Sang Jati Dirinya Sendiri.

Penjelasan: Lampu pelita tidak mungkin dapat bertahan dari terjangan angin kalau diletakkan di tempat yang bertiup banyak angin (atau tempat yang terbuka), begitupun pikiran dan hati kita tak akan mungkin stabil kalau setiap saat selalu diterjang oleh angin angin nafsu dan pikiran kita. Maka sebaiknya pelita ini diletakkan jauh dari nafsu nafsu ini agar tidak terganggu pancaran cahayanya. Seseorang yang ingin mantap dan stabil meditasinya harus menjauhi obyek-obyek nafsunya, dan mengendalikan dirinya sesuai dengan kebutuhan-kebutuhannya yang cukup saja, tidak lebih dan tidak kurang jangan mengumbar-umbar nafsu tanpa kendali dan hilang ditelan oleh gelombang-gclombang nafsu ini, yang sifatnya amat dahsyat dan menyesatkan, dan menggelapkan pikiran dan jiwa kita. Bangkitlah ke tingkat intelektual (buddhi) kita dan tinggalkan tingkat yang rendah di mana ego dan nafsu kita meraja-lela tanpa kendali. Dan sekali kita bekerja dengan intelektual kita yang penuh dengan ‘rasio,’ maka meditasi kita akan stabil dan tercapailah persatuan dengan Sang Atman.

6.20
yatroparamate cittaḿ
niruddhaḿ yoga-sevayā
yatra caivātmanātmānaḿ
paśyann ātmani tuṣyati

Sewaktu pikiran yang terkendaii oleh upaya-upaya konsentrasi menjadi stabil, sewaktu seseorang melihat (sadar akan) Dirinya oleh dirinya dan merasa bahagia dengan Dirinya

6.21
sukham ātyantikaḿ yat tad
buddhi-grāhyam atīndriyam
vetti yatra na caivāyaḿ
sthitaś calati tattvataḥ

Sewaktu ia menemukan’kebahagiaan Nan Agung (tak ada taranya) kebahagiaan yang dapat terjangkau oleh buddhi (intelektual) tetapi jauh dari indra-indra sekali tercapai tahap ini. maka seseorang tak akan pergi jauh dari kebenaran ini.

6.22
yaḿ labdhvā cāparaḿ lābhaḿ
manyate nādhikaḿ tataḥ
yasmin sthito na duḥkhena
guruṇāpi vicālyate

 Dan setelah mendapatkan sesuatu yang begitu besar labanya itu, ia berpikir tak ada hal-hal lain yang lebih menguntungkan dari hal tersebut, dan sekali ia merasa mantap, ia tak tergoyahkan oleh kepedihan yang amat sangat sekalipun.

6.23
taḿ vidyād duḥkha-saḿyoga-
viyogaḿ yoga-saḿjñitam

 Dan hal itu disebut yoga, yang memutuskan hubungan dengan kedukaan (penderitaan). Yoga ini harus ditekuni sepenuh hati dan tanpa henti-hentinya (dengan hati yang tak tergoyahkan).

Penjelasan: Melalui meditasi yang berkesinambungan, pikiran akhirnya akan dapat dikendalikan dan teguh tertanam dalam hadirat Yang Maha Esa semata. Sang yogi yang sudah mcncapai tahap seperti ini kemudian tinggal di dunia ini tanpa terpengaruh oleh hal-hal duniawi untuk selama-lamanya. Yang dimilikinya hanyalah satu. yaitu kcbahagiaan yang sadar akan ke Maha EsaanNya. Ia tak memerlukan bentuk-bentuk kebahagiaan duniawi lainnya, baginya Yang Maha Esa adalah semuanya. Kebahagian semacam ini sukar dan tak dapat diterangkan atau berada luar jangkauan indra-indra kita, karena hanya dapat dihubungkan oleh buddhi kita yang telah bersih dan jemih, dan sifatnya ini amat abadi, suci, nyata, dan agung.

Seorang yogi yang telah mencapai kebahagiaan ini akan berpikir bahwa tidak ada keuntungan atau laba yang lebih tinggi nilainya daripada kebahagiaan ini di dunia. Baginya semua bentuk kekayaan duniawi seperti harta, kedudukan, kekuasaan, kehormatan, kebanggaan atau keterkenalan dan lain sebagainya adalah bersifat hanya sementara saja, jauh, tak menentu dan sia-sia saja untuk dipertahankan .. atau dianggap milik pribadi. Bahkan kebahagiaan di svarga-loka pun dianggapnya tidak ada gunanya sama sekali.

Dalam keadaan menderita sekalipun ia tegar seakan batu-karang. Badannya : boleh hancur tetapi jiwanya tak tergoyahkan. Halilintar, panas, hujan dan dingin boleh menyentuh dan merusak raganya, tetapi jiwanya tak akan tersentuh sedikitpun. Kehinaan dan penderitaan bisa saja menyerang dirinya tetapi jiwanya tak akan terganggu atau terusik, rasa damai di dalam jiwanya akan berjalan terus, karena yogi ini telah bangkit jauh dari tubuhnya, dari raga duniawinya. Di dunia ini ia dianggap memiliki raga, tetapi sebenarnya bagi ia sendiri raga itu telah mati dan bersifat spiritual karena digunakannya untuk tujuan-tujuan bersatu denganNya. Tak ada seorangpun atau kekuatan apapun yang dapat mendominasinya, karena ia telah tegar di dalam Yang Maha Esa dan bekerja di dunia ini dalam kehidupan yang bersifat abadi, yaitu semata-mata untuk Yang Maha Esa.

Keadaan semacam ini -yang disebut kebebasan dari semua penderitaan adalah yoga yang sejati, yang merupakan kesadaran akan Yang Maha Kuasa secara nyata. Tetapi kondisi yoga semacam ini tidak mudah dicapai, harus dilalui dengan praktek praktek nyata yang tegar dan tanpa mudah putus asa, atau dengan kata lain tanpa henti-hentinya.

Seorang pemula biasanya selalu patah-semangat kalau tidak langsung melihat hasil meditasinya, dan setelah beberapa hari, beberapa minggu, atau pun beberapa bulan yang penuh meditasi dan disiplin yang ketat ia tak melihat sesuatu hasil, maka ia akan ragu-ragu dan mulai berpikir: “Derita disiplin ini sudah terlalu banyak bagiku, tak kulihat suatu akhir (hasil) dari usaha-usahaku ini. Aku jadi ragu apakah disiplin ini akan menghasilkan sesuatu?” Dan bisa saja pemula itu patah semangat di tengah jalan. Maka sebaiknyalah meditasi dan disiplin yang ketat dihayati, diyakini dan dicintai, dan jangan sekali-kali ada perasaan kalah untuk seorang pemula, sebab jalannya memang panjang dan harus selalu yakin akan petuah-petuah gurunya bahwa akhir jalan memang menghasilkan sesuatu yang menakjubkan. ntuk itu buktinya adalah sang guru atau orang-orang suci lainnya. Suatu hari lambat atau cepat IA Pasti akan mencapai tujuannya, yaitu Yang Maha Esa.

6.24
sa niścayena yoktavyo
yogo ‘nirviṇṇa-cetasā
sańkalpa-prabhavān kāmāḿs
tyaktvā sarvān aśeṣataḥ
manasāivendriya-grāmaḿ
viniyamya samantataḥ

 Menanggalkan semua nafsu (keinginan-keinginan) yang lahir dari sankalpa (tekad atau imajinasi yang penuh dengan keserakahan), mengendalikan semua indra-indranya dari semua segi dengan pikirannya;

6.25
śanaiḥ śanair uparamed
buddhyā dhṛti-gṛhītayā
ātma-saḿsthaḿ manaḥ kṛtvā
na kiñcid api cintayet

 Sedikit demi sedikit, ia mencapai ketenangan dengan bantuan buddhinya yang dikendalikan oleh ketegarannya dan memusatkan pikirannya pada Jati Dirinya, janganlah ia berpikir akan hal-hal yang lainnya.

Penjelasan: Dalam dua sloka di atas terlihat inti sari ajaran Sang Krishna mengenai Sadhana (disiplin) untuk yoga ini:

  1. Menanggalkan semua bentuk nafsu dan keinginan, karena semua ini lahir dari sankalpa dan membuat atau pikiran tidak tenang. Dengan menanggalkan nafsu nafsu ini, kita diajak untuk bertenang-diri.
  2. Pengendalian atau penghentian keinginan-keinginan indra adalah tahap yang berikutnya. Dengan tekad kita, maka pikiran kita harus dicoba untuk menguasai indra-indra kita dari setiap sisi dan sudut.
  3. Dan setelah gelombang-gelombang nafsu atau keinginan kita sudah mereda, maka dengan bantuan buddhi kendalikan lagi gelombang-gelombang ini dengan ketegaran intelektual kita. Dengan kata lain belajar untuk menghilangkan rasa takut. Karena mereka yang telah berhasil mengendalikan indra-indra mereka akan diseran g oleh rasa takut seperti “pikiranku terkendali, dapatkah aku berpikir dengan baik sekarang?”; “indra-indraku terkendali, dapat kah aku bekerja atau berfungsi dengan baik?”; dan lain sebagainya. Semua rasa takut itu akan hilang kalau seorang guru yang baik dan bijaksana ada di sisi anda dan selalu memberikan semangat, wejangan dan berkahnya tanpa bosan-bosannya. Dan di atas semua guru-guru di dunia ini siapa lagi yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui kalau bukan Sang Atman, Sang Adhi Guru sendiri yang bersemayam dalam diri kita ini.
  4. Pikiran kita (mana) harus selalu bersandar pada Sang Atman. Jangan lupa bahwa obyek meditasi adalah Yang Maha Esa, dan sekali duduk bermeditasi kendalikan pikiran-pikiran yang selalu terbang ke obyek-obyek yang lain. Tariklah pikiran yang lari ini ke obyek utama yang semula, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Caranya jadikanlah pikiran itu bersifat menerima dengan sadar kehadiran Yang Maha Esa dalam segala aspek kehidupan kita, dan disiplin ini penting sekali untuk tujuan spiritual. Sekalipun telah tercapai stabilitas dalam pikiran kita bisa saja, pikiran ini melayang lagi ke arah yang lainnya, jadi selalulah berlatih tanpa bosan dan henti, dan dedikasi dan iman yang kuat. Kuasailah sang pikiran ini dan bawalah ia kembali ke jalan Yang Maha Esa.inilah seninya meditasi.
  5. Seorang yogi harus bertindak seperti seorang polisi, dan sang pikiran diibaratkan seperti seorang pelarian. Maka, pekerjaan seorang polisi haruslah selalu mengejar para pelarian ini dan mengembalikan mereka ke jalan yang benar, dan sudah tugas seorang polisi untuk dengan tanpa bosan-bosannya bekerja seumur hidup menangkap para pelarian ini. Ketekunan semacam ini disebut abhyasa dan merupakan suatu tindakan yang amat positif dalam meditasi. Tangkaplah selalu pikiran-pikiranmu dan giringlah mereka ini ke jalan yang satu itu, yaitu jalan ke Jati Diri kita sendiri (Sang Atman). Dengan kata lain abhyasa berarti, “giringlah kembali pikiran itu dari pengembaraannya dan tunjukkanlah jalan ke Sang Atman.”

Abhyasa ini seharusnya dilakukan setiap hari, dan bukan soal satu atau dua jam meditasi yang penting saja, tetapi kesadaran dan pengendalian diri yang dicapai dalam meditasi ini seharusnya terlaksana juga sepanjang hari dalam segala tindak tanduk kita seharian itu, bahkan pada waktu tidur sekalipun. Jagalah baik-baik dan kendalikan diri dan pikiran kita, sehari-hari sama seperti waktu kita mengendalikan pikiran kita sewaktu bermeditasi. Jangan sampai kontrol diri kita lepas, karena lima menit saja kita marah atau kehilangan kesabaran karena sesuatu hal, maka sia sialah satu atau dua jam meditasi kita. Jadi siaga dan siaplah selalu; dengan penuh ketekunan dan dedikasi sadarlah bahwa meditasi itu ibarat sebuah gunung yang tinggi dan penuh dengan tanjakan dan halangan-halangan yang berat dan ibarat sebuah pendakian maka jalan itu masih jauh dan puncaknya sukar untuk ditaklukkan.Tetapi seseorang yang penuh dengan dedikasi dan iman pasti akan mencapainya, karena hukum alam (kosmos) akan berlaku di dalam dunia spiritual ini, yang selalu mendorong usaha seseorang ke tujuanNya, sekali hal itu telah ditetapkan oleh yang bersangkutan. Tak ada usaha yang sia-sia kalau dilakukan demi Yang Maha Kuasa, percayalah dan yakinlah akan hal ini! Yang diperlukan adalah kesabaran yang penuh dcngan iman dan dedikasi!

6.26
yato yato niścalati
manaś cañcalam asthirām
tatas tato niyamyaitad
ātmany eva vaśaḿ nayet

 Semakin sering pikiran yang tidak stabil dan gemar mengembara ini lari jauh, semakin sering jugalah seseorang seharusnya menahan dan menariknya kembali ke arah Jati Dirinya (Sang Atman).

Penjelasan: Tentu saja usaha menarik kembali pikiran kita yang gemar lari kesana-kemari mencari obyek-obyek indranya adalah usaha yang amat sulit dan memerlukan tekad yang amat kuat. Sering sekali seseorang merasa amat letih dan sia-sia saja dan lebih baik menyerah saja. Dan sedikit saja kita lengah dan kalah sang pikiran ini sudah mengatur siasat baru dan bingunglah orang yang sedang berusaha ini. Dan pada saat itulah kita harus berteriak minta tolong pada Sang Adhi Guru, Sang Atman agar dikaruniakan rahmat dan karuniaNya, dan dengan jalan ini seseorang ini akan kembali lagi ke arah dhyana-yoga.

  1. 27
    praśānta-manasāḿ hy enaḿ
    yoginaḿ sukham uttamam
    upaiti śānta-rājā saḿ
    brahma-bhūtam akalmaṣam

Kebahagiaan yang tertinggi (suci dan agung) datang pada seorang yogi yang pikirannya damai. yang nafsu-nafsunya tenang, dan yang telah lepas dari dosa dan telah bersatu dengan Yang Maha Esa.

6.28
yuñjann evaḿ sadātmānaḿ
yogī vigata-kalmaṣaḥ
sukhena brahma-saḿsparśam
atyantaḿ sukham aśnute

 Yogi semacam ini, yang selalu harmonis dengan dirinya, telah menjauhi dosa, dengan mudah ia merasakan Rahmat dan Karunia abadi yang dihasilkan oleh hubungannya dengan Ilahi (Yang Maha Abadi).

Penjelasan : Berbahagialah seorang yogi yang telah mencapai tahap ini, setelah bergulat dengan hidup ini selama bertahun-tahun, bahkan mungkin melalui berbagai kehidupan di masa-masa yang silam, kemudian ia menyatu dengan Yang Maha Esa pada suatu hari dan Bhagavat Gita menyebut hal ini dengan nama brahmasamsparsham, yaitu kontak dengan Ilahi. Baginya Tuhan itu bukan suatu hal yang tak nampak dan abstrak, tetapi baginya tuhan itu adalah suatu kontak yang nyata dan itu berarti sang yogi telah sampai ke suatu titik di mana waktu sudah tidak berarti lagi. Sinar Ilahi telah mekar di dalam dirinya, dan jiwanya telah menyatu dengan kenikmatan Ilahi yang tiada taranya. Di dalam agama Islam salah satu nama Yang Maha Kuasa adalah Azh Zhaahir (Yang Maha Nyata), di dalam keterangan di bawah nama tersebut kami temukan catatan seperti berikut: “Allah SWT‘Nyata Kebenaran, Perbuatan dan Ada-Nya bagi orang-orang yang berakal yang mau merenungkan ciptaan-ciptaanNya.”

6.29
sarva-bhūta-stham ātmānaḿ
sarva-bhūtāni cātmani
īkṣate yoga-yuktātmā
sarvatra sama-darśanaḥ

 Dirinya telah harmonis dalam yoga, ia melihat satu Jati Diri bersemayam dalam semua mahluk dan semua mahluk dalam satu Jati Diri, di mana pun ia melihat yang sama (Satu Jati Diri . . . yang ada dan hadir semenjak masa silam).

Penjelasan:  Ada tiga faktor utama dalam evolusi manusia yang sedang menuju ke arah jalan spiritual:

  1. Sewaktu seseorang mulai berhasrat memasuki hal-hal kebatinan dan mulai mcnyelami dirinya sendiri. Dan setelah beberapa waktu kemudian ia sadar akan hadirnya Sang Atman yang berdiri dan abadi sifatnya.
  2. Dalam tahap kedua ini orang tersebut sadar bahwa Sang Atman tidak saja hadir dalam dirinya sendiri, tetapi juga bersemayam sccara sama rata pada mahluk mahluk lainnya sama halnya seperti dalam dirinya scndiri. Dengan kata lain ia sadar bahwa Sang Atman (Yang Maha Esa atau Sang Krishna) hadir di mana saja dan kapan saja.
  3. Seperti disebut di sloka 29 di atas, maka orang ini sadar bahwa Yang Maha Esa itu adalah Inti dari setiap mahluk dan benda di alam semesta ini. Dengan kata lain Yang Maha Esa (Sang Atman dalam hal ini) hadir dalam setiap jiwa dan benda dan semua itu sebaliknya juga hadir dan ada di dalam Yang Maha Esa.

Tahap kesadaran ini kalau dicapai seseorang secara benar dan tulus, maka ibaratnya adalah seperti baru saja sadar dari suatu mimpi. Ia tiba-tiba sadar bahwa matahari, rembulan, planet bumi, bintang-bintang, siang dan malam, waktu, langit, udara, indra-indra, buddhi, dan lain sebagainya, hanyalah hasil pekerjaan Yang Maha Pencipta. Hanya ialah satu-satuNya Yang Menguasai dan Mengendalikan semua ini sesuai kehendakNya, dariNya dan untukNya semata.

Seseorang yang telah sadar ini akan selalu mendoakan kesejahteraan orang lain dan ia selalu berhasrat untuk membahagiakan orang lain seperti kebahagiaan yang ia dapatkan dari Yang Maha Kuasa untuk dirinya sendiri. Seorang yang berorientasi pada hal-hal keduniawian selalu memuaskan indra-indranya. Berbeda dengan ini, maka seseorang yang telah mencapai samadhrishti (kesadaran) ini sadar bahwa kebahagiaannya tak mungkin tercapai dengan penderitaan pada orang lain.

Tetapi mengapa ajaran Bhagavat Gita yang sederhana ini sukar untuk diikuti atau dipraktekkan? Karena umumnya kita manusia selalu menganut prinsip bahwa ‘ “semua ini milikku,” dan tak mau menganut prinsip bahwa “semua ini bukan milikku” dan bahwa “Satu adalah semua ini dan semua ini adalah Satu.” Dengan membeda bedakan antara “milikku” dan “milik orang lain.” maka Arjuna pun masuk dan terhunjam ke depresi yang maha dahsyat, begitupun kita manusia ini dalam hidup kita sehari-hari. Dan selama hidup kita masih terombang-ambing tanpa kendali, selama itu pula manusia akan merupakan sumber tragedi bagi dirinya sendiri dan juga lingkungannya. Dan untuk menyembuhkan penyakit ini Bhagavat Gita mengajarkan “kekanglah pikiranmu, kendalikanlah pikiranmu, stabilkanlah pikiranmu, pusatkanlah pikiranmu pada Sang Atman! Sadarlah dan lihatlah Sang Atman yang hadir pada setiap mahluk!” Obat dari penyakit manusia ini di mana saja adalah sama, yaitu samadrishti (kesadaran).

6.30
yo māḿ paśyati sarvatra
sarvaḿ ca mayi paśyati
tasyāhaḿ na praṇaśyāmi
sa ca me na praṇaśyati

. Seseorang yang melihatKu di mana pun juga dan melihat setiap hal dalam DiriKu, maka orang itu tak pernah hilang dari DiriKu dan Aku tak pernah hilang darinya.

Penjelasan: Bagi seorang yang telah sadar, setiap mahluk baginya adalah baju atau manifestasi yang beraneka-ragam dari Yang Maha Esa itu sendiri. Semuanya di alam semesta ini tanpa kecuali adalah Ia dan kebesaranNya semata. Sang yogi ini tak sekejab pun akan kehilangan kontak dengan DiriNya, ia selalu dituntun olehNya. Yang Maha Kuasa tak akan hilang sekejab pun dari pandangan, perasaan, pikran Sang Yogi ini. la adalah selalu hadir di dalam dirinya setiap saat, setiap detik. Begitulah besar kasih-sayang “Tuhan kepada diri kita ini sebenarnya, dan semua kebutuhan kita dicukupiNya dengan caraNya sendiri, tanpa perlu kita memintanya lagi. 0m Tat Sat.

6.31
sarva-bhūta-sthitaḿ yo māḿ
bhajaty ekatvām āsthitaḥ
sarvathā vartamāno ‘pi
sa yogī mayi vartate

. Seorang yogi, yang telah tercipta kesatuannya, memujaKu sebagai yang berada dalam setiap ciptaan, ia hidup di dalamKu, betapapun aktifnya ia (bekerja).

Penjelasan: Di manapun ia berada dan apapun jenis pekerjaannya, sang yogi ini telah bersatu dengan Yang Maha Esa dalam segala tindak-tanduknya. Apapun yang nampak dari luar tentang diri

dan pekerjaan maupun kesibukannya tidaklah penting, yang terutama adalah kesatuan yang telah terjalin antara orang ini dengan Sang Penciptanya. Di dalam dirinya telah tumbuh kasih sayang Ilahi yang tanpa batas. Musuh boleh menghina dan menghujam dirinya, sahabat boleh menyanjung dan tersenyum kepadanya, tetapi baginya semua itu adalah tidak lain dan tidak bukan variasi-variasi dari Sang Pencipta yang bersemayam dalam semua bentuk-bentuk ciptaanNya sendiri. Ia melihatNya di mana-mana tanpa kecuali, dan tanpa diskriminasi. Bagi yogi semacam ini pemujaan kepada Yang Maha Esa bukan dalam bentuk upacara upacara atau mantra-mantra suci, tetapi pengorbanan yang tulus dan suci demi dan untuk Yang Maha Esa semata-mata adalah dengan bekerja tanpa pamrih.

6.32
ātmaupamyena sarvatra
samaḿ paśyati yo ‘rjuna
sukhaḿ vā yadi vā duḥkhaḿ
sa yogī paramo mataḥ

 Seorang yogi yang sempurna adalah seseorang yang melihat dengan pendangan yang sama semua benda dan mahluk, seperti terhadap dirinya sendiri, baik dalam suka dan duka. (Contoh: suka dan dukanya mahluk lain juga terasa olehnya sebagai suka dan dukanya).

Penjelasan: Seorang yang telah mencapai tingkat tertinggi selalu akan sedih dan senang setiap ia menjumpai kesedihan atau kesenangan orang lain, bahkan mahluk lain sekalipun, karena ia merasa sebagai satu kesatuan dengan alam semesta ini beserta segala isinya. Dan bagaimana mungkin orang semacam ini melukai atau membunuh tubuh mahluk lain, toh ia mcrasakan semua suka dan duka mahluk lainnya ia merasakan persaudaraan universal di antara sesama mahluk ciptaan Yang Maha Esa.

Berkatalah Arjuna:

6. 33
Arjuna uvāca
yo ‘yaḿ yogas tvayā proktāḥ
sāmyena madhusūdana
etasyāhaḿ na paśyāmi
cañcalatvāt sthitiḿ sthirām


Yoga untuk menenangkan pikiran yang telah Dikau terangkan ini, oh Krishna. di dalamnya tak terlihat fondasi yang stabil, karena pikiran itu penuh dengan keresahan (dan tak menentu).

6.34
cañcalaḿ hi manaḥ kṛṣṇa
pramāthi balavad dṛḍham
tasyāhaḿ nigrahaḿ manye
vāyor iva su-duṣkaram

 Karena pikiran itu sangat mudah berubah-ubah, oh Krishna! Pikiran itu liar, kuat dan keras-kepala. Ku kira pikiran itu sukar dikendalikan ibarat mengendalikan angin.

“Bersabdalah Yang Maha Pengasih:

6.35

śrī-bhagavān uvāca
asaḿśayaḿ mahā-bāho
mano durnigrahaḿ calam
abhyāsena tu kaunteya
vairāgyeṇa ca gṛhyate


Tentu saja, oh Arjuna, pikiran itu sukar untuk dikendalikan dan memang pikiran itu resah sifatnya. Tetapi dengan usaha yang terus-menerus (abhyasa) dan dengan menjauhi godaan-godaan (vairagya) maka pikiran itu dapat dikendalikan.

Penjelasan: Abhyasa, yaitu secara tekun dan terus-menerus berusaha mengendalikan pikiran ke arah yang positif dan tidak ikut-ikutan dengan pikiran-pikiran negatif yang selalu bcrusaha secara licik menjerumuskan kita ke arah yang lain. Abhyasa juga berarti secara berulang-ulang menguatkan diri dengan membaca mantra-mantra suci, mendengarkan dan bergaul dengan para rohaniwan dan orang-orang suci seperti para guru, pendeta, resi dan sebagainya. Juga berarti untuk selalu mempelajari buku-buku dan hal-hal yang bersifat rohani, selalu berdoa dengan tulus dan memanggil namaNya dengan hati yang bersih dan tanpa pamrih sehingga air-mata kita turun tanpa terasa.

Vairagya, melepaskan ikatan-ikatan kita dengan nafsu, indra dan sifat-sifat duniawi kita yang selalu berada dalam cengkeraman sang prakriti dan guna. Dengan selalu melakukan abhyasa secara tekun, maka secara tahap demi tahap segala godaan akan teratasi dan seseorang akan sadar bahwa hal-hal duniawi ini hanya sementara saja-sifatnya dan merupakan pentas penderitaan yang tak kunjung habis-habisnya.

6.36
asaḿyatātmanā yogo
duṣprāpa iti me matiḥ
vaśyātmanā tu yatatā
śakyo ‘vāptum upāyataḥ

Yoga ini sukar tercapai oleh ia yang tak dapat mengendalikan dirinya. Tetapi seseorang yang berjuang dengan jalan yang benar dan penuh kendali diri akan mencapainya. Itulah keputusan Ku.

Penjelasan : Yang Maha Pengasih, Sang Krishna menegaskan di sini bahwa walaupun yoga ini sukar untuk dicapai oleh mereka yang dirinya kurang disiplin, tetapi bagi yang mampu mengendalikan dirinya dengan baik, maka jalan ini tidaklah sukar. dan itu ‘ sudah menjadi keputusanNya yang tidak dapat diganggu-gugat lagi. Ada beberapa cara sadhana (metode-metode disiplin) lagi yang harus diikuti oleh mereka yang telah belajar mengendalikan diri mereka, seperti berikut ini:

  1. Lepaskanlah atau jauhilah semua obyek-obyek kesenangan duniawi, lepaskan juga keinginan-keinginan untuk obyek-obyek ini.
  2. Pusatkan pikiranmu selalu ke arah Yang Maha Esa.
  3. Yakinlah bahwa hanya Satu Tuhan yang memenuhi kita dan alam semesta ini beserta seluruh isinya. Yakinilah bahwa jiwa kita, semua benda dan mahluk di alam semesta ini tersambung dalam satu untaian kesatuan Ilahi yang nyata.
  4. Selalu menyadarkan diri bahwa setiap tindakan diri kita, atau aktivitas pikiran dan indra-indra kita adalah bukan perbuatan Diri kita, tetapi diri kita yang dilakukan oleh guna (sifat-sifat alami), Diri kita sendiri bertindak sebagai saksi.
  5. Tanamkanlah pada diri kita bahwa semua tindakan pikiran dan obyek sifatnya hanya sementara dan selalu tidak abadi. Yang Abadi hanya Yang Maha Esa dan Ia bersemayam dalam diri kita sendiri. Yesus pernah berkata, “Kerajaan Sorga itu ada di dalam dirimu.”
  6. Pilihlah salah satu manifestasi Yang Maha Kuasa dan berkonsentrasilah dengan penuh kepadaNya secara mental. Bagi seorang Hindu misalnya pada Sang Krishna atau Sang Rama atau pada Shiva, Vishnu, Ganesha dan sebagainya. Bagi yang beragama Buddha pada Sang Buddha, dan bagi yang menganut agama Iain masing-masing pada obyek yang seharusnya diperbolehkan oleh agama agama tersebut. Kemudian selalulah berpikir bahwa Yang Maha Kuasa dalam manifestasi yang dipilih ini, selalu hadir sifatNya. Hormatilah Ia dan pujalah Ia dengan cara kita masing-masing sesuai dengan aturan dan hati nurani. Bagi seorang Hindu misalnya memuja dengan mempersembahkan secara tulus kasih sayang kepada sesamanya, mempersembahkan sekuntum bunga atau sehelai daun, atau apa saja yang tulus dan bermanfaat bagi sesamanya dan Yang Maha Esa dalam tindak-tanduk setiap hari.
  7. Adalah perlu dihayati bahwa semua tindakan ini selalu harus bersifat tulus dan murni, dan selalu menjadi kebiasaan dan kenyataan dalam kehidupan kita sehari hari, dan tanpa pamrih. Jangan sekali-kali melakukannya demi kepentingan pribadi sekecil apapun kepentingan itu. Dalam setiap sukses maupun kegagalan selalulah bersifat tcnang tanpa tcrusikjiwanya, dan selalulah berpedoman bahwa kita ini hanya alat belaka ditanguanNya dan setiap tindakan dan pengorbanan kepada semuanya adalah atas kehendakNya sesuai dengan yang Ia kehendaki!

Berkatalah Arjuna:

6.37
Arjuna uvāca
ayatiḥ śraddhayopeto
yogāc calita-mānasaḥ
aprāpya yoga-saḿsiddhiḿ
kāḿ gatiḿ kṛṣṇa gacchati

 Seorang yang dirinya tak dapat dikendalikan, tetapi memiliki shraddha (kepercayaan), yang pikirannya pergi jauh dari yoga dan tak dapat mencapai kesempurnaan yoganya. ke arah manakah ia akan pergi. oh Krishna?

Penjelasan: Pertanyaan Arjuna ini singkat tetapi sangat bermakna. Bukankah itu sebenarnya masaliah kita semua juga, yang sering penuh dengan kepercayaan pada Yang Maha Kuasa, tetapi sering tindak-tanduk kita tak sehat dan tidak terkendali, dan ini berlangsung sampai kita mati suatu saat. Sering pikiran kita menerawang ke soal soal duniawi tanpa kendali padahal pada waktu yang bersamaan kita yakin akan kekuasaan Yang Maha Esa. Lalu ke mana ia akan pcrgi kalau ia mati dalalm perjalanan hidupnya, padahal keyakinanNya pada Yang Maha Esa belum sempuma dan ia masih jauh dari kebijaksanaan spiritual? Bagaimana nasibnya selanjutnya? Pertanyaan-pertanyaan ini amat menarik untuk dipclajari!

6.38
kaccin nobhaya-vibhraṣṭaś
chinnābhram iva naśyati
apratiṣṭho mahā-bāho
vimūḍho brahmaṇaḥ pathi

 Bukankah ia lalu binasa ibarat segumpalan awan yang terpecah-pecah, oh Krishna, kehilangan kedua-duanya, tidak tegar dan kacau jalannya dari Yang Maha Esa.

6.39
etan me saḿśayaḿ kṛṣṇa
chettum arhasy aśeṣataḥ
tvad-anyaḥ saḿśayasyāsya
chettā na hy upapadyate

 Oh Krishna, hilangkanlah secara tuntas keragu-raguanku ini, karena tiada seorangpun yang dapat kucari selain Dikau, yang dapat menghancurkan keragu-raguan ini.

Penjelasan: “Kehilangan kedua-duanya” yang dimaksud Arjuna, bukankah orang semacam itu akan kehilangan dua kesempatan yang amat baik, yaitu kehidupan ini dan kemudian juga

Kchidupan yang abadi, yaitu kesatuan dengan Yang Maha Esa. Pertanyaan Arjuna amat wajar dan merupakan pertanyaan kita semua. Bagaimana ‘ nasib seseorang yang sedang berusaha ke arahNya, dan belum apa-apa sudah mati di tengah jalan, karena memang pendek umurnya atau karena musibah-musibah tertentu. Bukan kah ia lalu ibarat segumpalan awan yang terpecah-pecah tertiup angin, lalu bagaimana nasib selanjutnya dari orang ini? Contoh lain seseorang selama ini ia merasa bekerja tanpa pamrih demi Yang Maha Esa, tetapi pada saat saat kematiannya karena sesuatu dan lain hal maka ia menjadi lemah mentalnya dan terikat pada ikatan-ikatan duniawinya, apakah yang akan terjadi padanya?

Bersabdalah Yang Maha Pengasih:

6.40
śrī-bhagavān uvāca
pārtha naiveha nāmutra
vināśas tasya vidyāte
na hi kalyāṇa-kṛt kaścid
durgatiḿ tāta gacchati

 Oh Arjuna, orang semacam itu tak akan hancur baik di dalam hidup ini maupun di dalam kehidupan yang akan datang; karena seseorang yang bekerja demi kebenaran tak akan mengarah ke jalan penderitaan.

Penjelasan: Sang Krishna menegaskan bahwa seseorang yoga-bhrista (yang mengamalkan yoga atau yang belajar yoga ini) tak akan pernah menuju ke arah yang salah (jalan penderitaan) selama ia bekerja demi dharma (kebenaran demi Yang Maha Esa). Jadi janganlah khawatir karena Yang Maha Esa itu bukanlah seorang Tiran, scbaliknya Ia adalah Maha Pengasih dan Penyayang, dan Ia selalu tahu akan kclemahan. Kelemahan manusia yang IA ciptakan ini; selamanya Ia akan selalu mengarahkan kita ke arah yang benar. Inilah salah satu inti ajaran Bhagavat Gita yang amat penting, bahwa Yang Maha Esa tidak pernah membiarkan pemujaNya atau ciptaan ciptaanNya terjerumus ke lembah dosa secara terus-menerus dan selalu mendorong kita semua dan para mahluk-mahluk lainnya ke arahNya Sendiri.. Pesan-pesan Bhagavat Gita adalah pesan-pesan’yang penuh dengan harapan dan cinta-kasih antara Yang Maha Esa dan kita semuanya. Langkah demi langkah, tetapi pasti seseorang akan diangkatnya dari dosa dan dituntun ke arahNya, jadi selalu berimanlah kepadaNya di kala suka dan duka, selalu bekerja demi Yang Maha Esa dalam segala aspek kehidupan kita. Bergaullah selalu dengan orang-orang yang dianggap suci agar selalu mendapatkan petunjuk-petunjuk ke arahNya. Penting sekali untuk tidak melupakan kehadiranNya setiap saat dalam kehidupan kita.

Apapun cobaan-cobaan yang kita hadapi, kegagalan-kegagalan yang kita rasakan dan jatuh-bangun yang kita alami, jangan sekali-kali kita lupa bahwa yang kita tuju adalah persatuan dengan Yang Maha Esa. Sering sekali terjadi dalam segala kebenaran dan kebaikan yang kita lakukan, bahkan sesudah memujaNya dengan sepenuh hati, dan sudah bergaul dengan orang-orang yang suci, toh ada saja dosa dosa yang kita lakukan dengan atau tanpa sadar. Janganlah lalu ragu-ragu akan dirimu pada saat-saat ini, tetapi bangkitlah lagi dan mohonlah kepadaNya untuk menuntun kita lagi. Ia pasti akan menuntun kita ke arah yang benar. Langkah demi langkah kita akan menjadi bersih sesuai dengan kehendakNya. Selama kita berusaha keras untuk membersihkan diri, maka suatu saat kita pasti akan bersih dan kita akan meningkat ke tahap evolusi spiritual yang berikutnya, yang lebih tinggi sifatnya, sampai kita akan belajar untuk menjadi sadar dan pasrah secara total dan tulus, dan hanya bekerja sesuai dengan bisikan-bisikan Sang Atman yang Maha Pengasih dan Penyayang. Pada tahap ini kita akan mcnyerahkan jiwa-raga kita secara utuh, dan sesudah itu hanya ada jalan yang makin menanjak kc atas dan tak ada jalan turun lagi, dan jalan naik yang discbut tangga evolusi ini banyak ragam dan coraknya. semuanya scsuai kehendakNya semata, yang mungkin bagi setiap individu terasa lain pengalaman-pengalamannya, tetapi bagi Yang Maha Kuasa sama saja sifatnya.

6.41
prāpya puṇya-kṛtāḿ lokān
uṣitvā śāśvatīḥ samaḥ
śucīnāḿ śrīmatāḿ gehe
yoga-bhraṣṭo ‘bhijāyate

 

Setelah mencapai loka-loka di mana hidup orang-orang yang suci dan setelah tinggal di tempat ini bertahun-tahun lamanya maka sang yoga-bhrista ini akan lahir kembali di sebuah keluarga (rumah) yang suci dan makmur.

Penjelasan: Seorang yoga-bhrisra (yang meniti jalan ke Yang Maha Esa) tidak pergi ke neraka sewaktu ia meninggal-dunia, tetapi pergi ke punyakritamlokan, yaitu loka loka di mana hidup orang-orang yang selama ini hidupnya bekerja demi kebenaran. Ia pergi ke tempat yang lebih tinggi “status” nya dibandingkan bumi ini. Dan kemudian setelah menjalani kehidupan selama bertahun-tahun (sesuai dengan karmanya), ia kembali lagi ke bumi ini sebagai manusia yang lahir di suatu tempat yang suci dan makmur, di mana sang yogi ini mendapatkan kesempatan lagi untuk meniti lebih mantap lagi ea rah Yang Maha Esa. (Orang-orang Hindu percaya bahwa bumi ini sebenamya tempat yang paling tepat untuk mcngenal Yang Maha Esa dengan baik, dan adalah tugas manusia untuk mengenalNya di bumi ini. Hidup sebagai manusia dianggap sebagai hidup yang paling sempuma, bahkan para dewa dewa sangat menginginkannya. Bumi ini menyediakan segala sarana untuk kita agar lebih cepat mencapi moksha, seyogyanyalah manusia tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini dan menyesatkan dirinya ke dalam ilusi sang Maya.

6.42

 atha vā yoginām eva
kule bhavati dhīmatām
etad dhi durlabhataraḿ
loke janma yad īdṛśam

Atau ia akan Iahir di sebuah keluarga yang telah menerima kebijaksanaan. Tetapi kelahiran semacam ini amatlah sukar untuk didapatkan di dunia ini.

Penjelasan: Seorang yang lahir dalam keluarga yogi yang bijaksana mempunyai kesempatan yang amat besar untuk meniti jalan evolusinya ke arah Yang Maha Kuasa, karena kesempatan semacam ini tidak didapatkan di sorga maupun di loka-loka lainnya. Seorang yang Iahir di tengah-tengah keluarga yogi akan belajar mengenai Yang Maha Esa secara Iangsung semenjak amat dini.

6.43

tatra taḿ buddhi-saḿyogaḿ
labhate paurva-dehikam
yatate ca tato bhūyaḥ
saḿsiddhau kuru-nandana

Di situ ia mendapatkan penerangan akan (pengetahuan batin tentang kesatuannya dengan Yang Maha Esa) yang telah dicapainya pada kelahiran yang sebelumnya, oh Arjuna, dan ia pun berjuang sekali lagi untuk mencapai kesempurnaan.

 

Penjelasan : Kemajuan di jalan kesempurnaan seseorang manusia itu bisa saja lambat jalannya. Seseorang mungkin saja harus berjuang selama berkali-kali (Iahir berulang ulang) sebelum mencapai kesempurnaan. Tetapi tidak ada usaha yang akan sia-sia sekali kita berjalan menuju Yang Maha Esa. Apapun yang dicapai seseorang ini selama hidupnya tak, akan hilang sewaktu raganya binasa, tetapi malahan sebaliknya akan bertambah frekwensi dan kekuatannya pada kelahiran yang berikutnya. ia akan melaju lebih pesat lagi ke arah Yang Maha Esa.

Seseorang-yang misalnya Iahir diantara keluarga yogi ini, secara otomatis akan’ terbuka penerangan batinnya semenjak ia masih kanak-kanak karena suasana rumah tangga dan kehidupan orang-tuanya yang penuh dengan unsur-unsur kesucian dan pemujaan terhadap Yang Maha Esa; sehingga .tanpa disadarinya terdorong oleh karmanya yang lampau ia akan tambah bersemangat melaju ke arah Yang Maha Esa; otomatis perjuangan dan kemampuan spiritualnya akan berlipat-ganda; jalan ke Yang Maha Esa akan dicapainya dengan lebih cepat dan mudah.

6.44

pūrvābhyāsena tenaiva
hriyate hy avaśo ‘pi saḥ
jijñāsur api yogasya
śabda-brahmātivartate

Karena usaha-usahanya pada kehidupannya yang lalu, maka tanpa dikuasainya lagi ia terus melaju. Seseorang yang mencari pengetahuan yoga bahkan (meiaju) melampaui Shabda Brahman (tata cara dan peraturan~ peraturan Veda).

Penjelasan: Shabda-Brahman adalah tata-cara dan peraturan-peraturan keagamaan Hindu yang tertulis di buku-buku suci Veda. Veda-Veda ini sebenarnya amat penting‘ pada permulaan pelajaran spiritual kita, tetapi setelah seorang yogi mencapai penerangan dan kesatuan dengan Yang Maha Esa, maka Veda-Veda ini ibarat sebuah perahu yang menyeberangkan sang Yogi ini ke sisi lain sebuah sungai. Begitu selesai menyeberang dan mencapai’penerangan maka perahu tersebut sudah tidak dibutuhkan lagi, karena tujuan itu, yaitu Yang Maha Esa, telah tercapai.

6.45

prayatnād yatamānas tu
yogī saḿśuddha-kilbiṣaḥ
aneka-janma-saḿsiddhas
tato yāti parāḿ gatim

Sang Yogi ini yang bekerja dengan tekun, bersih dari dosa, dan telah menyempurnakan dirinya dengan melalui berbagai kehidupan akan mencapai tujuannya yang suci.

 

Penjelasan: Seseorang yang berusaha dan berjuang keras, sambil menyucikan dirinya, secara perlahan tapi pasti akan mencapai kesempumaan setelah melalui berbagai kehidupan dan pengalaman selama perjuangannya dalam hidup ini.

Tujuan yang suci adalah kesadaran dan kesatuan dengan Yang Maha Esa, pencapaian akan Kedamaian yang Abadi. Kalalu dipelajari dan dimengerti dengan baik, maka bukankah sloka-sloka di atas ini menunjukkan betapa agungnya ajaran Sang Krishna dalam Bhagavat Gita, karena setiap mahluk dan manusia betapapun besar dosanya, Ia secara perlahan tetapi pasti ditarik kembali kepada Yang Maha Esa tanpa kecuali. Inilah sebenamya evolusi dalam kehidupan spiritual kita, dengan karuniaNya semua ciptaanNya ditarik kembali kepadaNya.

Pesan suci dalam Bhagavat Gita adalah bahwa walaupun seseorang jatuh 100 kali dalam hidup ini, ia akan dibangkitkan lagi ke arah yang sudah tujuannya. Kegagalan-kcgagalan adalah sementara sifatnya. Ia akan jalan-terus dalam hidup ini, karena yang dinamakan hidup ini sebenarnya amat komplek dan penuh dengan lingkaran kehidupan dan kematian yang berulang-ulang sifatnya,’sampai suatu saat ia ditentukan untuk menuju ke tujuannya yang sejati, yaitu Yang Maha Esa. Raga atau sthula-sarira setiap mahluk dan insan lahir dan binasa, begitupun dengan raganya yang halus yang tak nampak oleh mata, yaitu sukhshama-sarira, tetapi karena sariranya (raga mumi yang menjadi penyebab hidup ini) akan selalu menyertai setiap mahluk atau insan sampai akhimya tercapai moksha atau penyatuan dengan Yang Maha Esa. Di dalam karana-sarira ini terkoleksi (terkumpul) semua usaha dan perbuatan (sansakara) manusia dan mahluk-mahluk ini. Karana-sarira sifatnya tak akan pernah mati, tetapi ia selalu mengumpulkan dan mengcvaluasi semua yang baik dan buruk yang dilakukan oleh sthula-sarira kita. Maka seyogyanyalah kita harus ingat pada karana-sarira ini; setiap pikiran (vichara) dan perbuatan (achara) kita seharusnya bersih dan suci, atau kita harus berjuang lagi dan lagi membersihkan kotoran-kotoran ini dari karana-sarira kita pada kehidupan kehidupan yang mendatang. Jadi jalan mudahnya, adalah pasrahkanlah sccara total kehidupan ini kepada Yang Maha Kuasa, usahakanlah semua ini dengan penuh kesungguhan, ketulusan, kejujuran dan iman yang teguh, dan bekerja demi dan untukNya semata tanpa pamrih. Jadilah saksi atau alatNya scmata dan jauhkanlah kekotoran-kekotoran dari karana-sarira kita, yang akan selalu melaju lebih cepat kc Tujuan yang Abadi, kalau saja kita tanpa noda-noda dalam kehidupan ini.

6.46
tapasvibhyo ‘dhiko yogi
jñānibhyo ‘pi mato ‘dhikaḥ
karmibhyaś cādhiko yogi
tasmād yogī bhavārjuna

Seorang yogi itu lebih agung daripada seorang yang meninggalkan kehidupan duniawi ini secara total; seorang yogi itu lebih agung daripada seorang ahli Veda, dan seorang yogi itu lebih agung daripada seorang yang bekerja sesuai dengan ritus-ritus. Maka seyogyanyalah dikau menjadi seorang yogi, oh Arjuna!

 

6.47
yoginām api sarveṣāḿ
mad-gatenāntar-ātmanā
śraddhāvān bhajate yo māḿ
sa me yuktatamo mataḥ

Dan diantara semua yogi, ia yang memujaKu penuh dengan keyakinan. dengan menyatukan Jati Dirinya dalam DiriKu ialah yang kuanggap sebagai seorang yogi yang amat sempurna keharmonisannya.

 

Penjelasan: Seorang tapasvi (seorang yang mengasingkan dirinya untuk bertapa di hutan hutan atau di gunung-gunung dengan menyiksa dirinya dan melepaskan semua nafsu nafsu dunawinya masih dianggap kurang agung dedikasinya dibandingkan dengan seorang yogi, begitupun halnya dengan seorang ahli Veda: dan seorang yogi itu lebih agung juga dari seseorang yang bekerja dan bertindak sesuai ritus-ritus agama. Inilah nilai yang diberikan langsung oleh Sang Krishna. Maka sebaiknya seseorang menjadi seorang yogi yang tetap hidup di dalam masyarakat, bekerja sesuai dengan kodratnya, dan dengan tanpa pamrih demi Yang Maha Esa semata. Seorang yogi yang terkendali semua indra-indranya, yang tetap berfungsi sebagai seorang manusia yang berguna untuk sesamanya, untuk lingkungannya, untuk negara dan bangsanya itu lebih agung nilainya di mata Yang Maha Esa. Inilah ajaran Bhagavat Gita yang sesungguhnya, bekerja demi Yang Maha Esa tanpa pamrih dan menyatu denganNya, dengan DiriNya sambil berjalan mengarungi hidup ini ke tujuan yang abadi, yaitu Yang Maha Esa itu Sendiri. Dan semua itu tanpa harus menanggalkan kewajiban kita sebagai manusia terhadap keluarga, masyarakat, lingkungan dan Tuhan Yang Maha Esa. ‘Dan diantara semua yogi, yang terbaik menurut Sang Krishna adalah yang menyerahkan dirinya secara total kepadaNya, yang memujaNya penuh kasih, dan keyakinan, bakti dan dedikasi yang tanpa henti-hentinya, tanpa pamrih dan penuh kendali-diri.

Dalam Upanishad Bhagavat Gita, llmu pengetahuan Yang Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Shri Kreshna dan Arjuna, maka karya ini adalah bab keenam, yang disebut:

DYANA YOGA atau yoga mengenai meditasi