Arsip Tag: Isavasyopanishad

Isavasyopanishad (Vajasaneyi Samhita Upanishad)

ISAVASYOPANISHAD

 Sering sekali seseorang yang sedang meniti jalan spritualnya bertanya-tanya kepada dirinya sendiri atau kepada orang lain “Apakah yang mendorong seseorang untuk mengalami kegalauan spritual padahal banyak insan lain yang tidak mengalaminya sama sekali ?”

Berbagai petunjuk di dalam sastra-sastra Hindu menegaskan bahwa gejala tersebut muncul karena adanya evolusi dan pertumbuhan secara individual; Darwin pernah berteori bahwa manusia masih akan tumbuh terus sampai ke tahap akhir evolusi yang disebutnya supermanhood (manusia super). Tentu saja Darwin menyatakan hal ini berdasarkan penelitiannya akan alam sekelilingnya. Kronologi fossil-fossil yang dipelajarinya menghasilkan kesimpulan bahwa kehidupan tumbuh-tumbuhan itu lebih tinggi sifatnya dibandingkan dengan bebatuan; dan kehidupan fauna lebih tinggi dari pada kehidupan tumbuh-tumbuhan , dan di antara fauna yang paling tinggi tahap evolusi dan potensinya adalah manusia dengan daya intelektualnya. Dan Darwinpun terus berkeyakinan bahwa karena manusia sedang berevolusi secara terus menerus, maka suatu saat nanti manusia akan mencapai tahap kecanggihan yang luar biasa yang disebutnya supermanhood.

Kalau bagi Darwin patokan teorinya berdasarkan kadar intelegensia manusia yang berkembang terus, maka para resi pencetus berbagai Upanishad mendasarkan perkembangan manusia atas kwantitas kesadaran atau (rasa eling) yang termanifestasikan melalui organ-organ mental dan fisik manusia itu sendiri. Dengan kata lain manusia adalah suatu ciptaan supra natural yang berintikan sifat-sifat spritual Ilahi yang selalu berkembang ke arah penemuan Jati Dirinnya sendiri dari mana ia berasal. Dan di antara miliaran manusia di bumi ini sebagian besar bahkan tidak menyadari akan hakikat spritual Ilahi yang terkandung di dalam dirinya, dan mereka ini bisa berperilaku menyerupai binatang. Dari sudut pandang Vendanta, insan-insan semacam ini belum mencapai tahap kemanusiaannya secara utuh oleh karena mereka ini masih memiliki naluri-naluri rendah yang berperikebinatangan. Para guru resi Vedanta di masa-masa silam mengkategorikan insan manusia dalam tiga katagori yaitu:

  1. Manusia yang berperilaku kebinatangan
  2. Manusia yang berperilaku kemanusiaan
  3. Manusia yang canggih (super)

Manusia yang berperilaku binatang ini adalah jenis-jenis manusia yang kadar kesadaran spritualnya teramat rendah dan penuh dengan berbagai nafsu dan berperilaku atheis. Bagi mereka agama dan pengertian / penghayatan akan Yang Maha Esa adalah pemikiran yang sia-sia saja karena tidak disadarinya sama sekali.

Tetapi evolusi manusia secara spritual mampu meningkatkan kategori manusia di atas menjadi manusia yang berperilaku kemanusiaan dan selanjutnya lambat laun meningkat terus ke tahap-tahap yang lebih tinggi. Berbagai sastra menyebut mereka ini sebagai Adhikarin, yang berarti manusia-manusia yang pantas untuk tahap kehidupan spritual.

Dewasa ini ditunjang oleh berbagai kemajuan di dalam bidang teknologi dan pada saat yang sama kehidupan manusiapun terus berkembang, maka setiap insan yang memiliki intelegensia di dalam dirinya berhak untuk mencari dan menemukan jati dirinya sendiri dengan mempelajari semua sastra-sastra suci, dari zaman ke zaman yang dahulunya disimpan rapi untuk golongan tertentu saja.

Hindhu Dharma tanpa ajaran Vedanta sama saja dengan agama mati, kata para ahli. Pada era ini Vedanta dan semua ajaran-ajaran Hindhu Dharma telah terbuka bagi kaum awam, bahkan orang asing dan yang berlainan agamapun bisa mempelajarinya dengan mudah. Bagi umat Hindhu Dharma di Indonesia khususnya di Bali yang selama ini hanya menurut dan nunut saja kepada kaum Brahmana keterbukaan ini sangat menggetarkan dan mengagetkan sekali, dan kaum muda yang kritis segera saja bereaksi dan tidak mau asal ikut-ikutan lagi. Pada masa-masa mendatang di Indonesiapun Hindhu Dharma akan berkembang secara pesat, apalagi semua akses agama Hindhu bisa didapatkan di internet secara mudah sekali.

Di dunia yang penuh dengan kebutuhan materialistik yang makin meningkat ini, manusia terhalang oleh berbagai kebutuhan keluarga, oleh berbagai bentuk hasrat, keinginan dan nafsu disamping kebutuhan status simbol, dan sebagian manusiapun lalu terjerumus ke dalam ilusi duniawi ini yang seharusnya menjadi wahana atau alat malahan menjadi tujuan dan tersesatlah manusia ini dari penemuan jati dirinya untuk apa dia sebenarnya dilahirkan.

Sering juga manusia yang meniti jalan kesadarannya bertanya kepada dirinya sendiri, “Seandainya manusia itu adalah sebagian dari Yang Maha Esa mengapa manusia ini selalu dirundung oleh malapetaka?” Para resi menjawab karena manusia tersebut belum sadar akan hakikat dirinya. Manusia ini sebagian besar tidak sadar akan semua fenomena di sekitarnya apalagi yang ada di dalam jiwa raganya sendiri, sehingga cenderung merusak dirinya dari pada melestarikan dirinya sendiri. Para resi bersabda bahwa kehidupan ini terdiri dari berbagai fragmen atau episode yang terjalin dari waktu ke waktu. Sebenarnya kata mereka, ada tiga faktor utama penunjang kehidupan ini yaitu :

(1) subjek, (2) objek, dan (3) hubungan antara subjek dan objek. Karena kekurangan pengetahuan (vignana) kita maka kita cenderung terbius oleh sifat duniawi ini (dunia luar, dunia yang kasat mata) dan terikatlah kita dengan sang maya (ilusi duniawi, prakriti, pradana) ini dan akibatnya timbulah penderitaan dari jalinan duniawi nafsu, keinginan, kewajibn dan sebagainya yang tak ada habis-habisnya. Bhagavat-Gita mengibaratkan fenomena ini ibarat ranting, daun, cabang dari pohon asvatha yang harus ditebas habis dengan pedang kesadaran. Kalau hanya objek duniawi saja yang dikejar dan dipuja terus maka akan sirnalah cahaya Ilahi yang terkandung di dalam jiwa kita, yang sebenarnya sudah hadir semenjak manusia ini berbentuk janin di dalam rahim ibunya. Kalau Cahaya Yang Maha Esa tersebut kita ibaratkan sebagai subjek kehidupan ini maka seyogyanyalah setiap insan menjalin hubungan yang mesra dan penuh hormat terhadapNya, dan Beliaupun akan hadir menuntun kita ke arahNya dengan penuh cinta kasih yang sulit diutarakan bagi kaum awam. Kasih semacam ini disebut prema.

 

GNANA-YAGNA

Persembahan dalam bentuk ilmu pengetahuan

Semenjak kurun waktu yang teramat silam, jauh sebelum ilmu pengetahuan barat melanda dunia ini, para resi telah mendeklarasikan dharma sebagai ilmu pengetahuan sejati (Science of Truth). Dharma yang berkembang di India ini kemudian dikenal dengan nama Sanatana Dharma, yaitu dharma yang diturunkan secara turun-menurun secara berkesinambungan dari seorang guru resi kepada sishyanya dan begitu seterusnya, dan jadilah semua nama Hindhu (Sanatana) Dharma termasuk ajaran Sidharta Buddha Gautama, Guru Nanak dan Satya Sai Baba dan para guru-guru lainnya dewasa ini. Kita boleh menyimak sendiri apakah makna dan intisari dari dharma ini, kedamaian atau peperangan ? Apakah pencarian akan Tuhan Yang Maha Esa itu suatu bentuk kebodohan ataukah panggilan akan cinta kasihNya ? Apakah kehidupan ini menyesatkan atau menghantarkan kita kepada Yang Maha Hakiki ? Jawaban ada pada para resi di masa-masa silam yang mempersembahkan pengalaman-pengalaman spritual mereka dalam berbagai karya yang disebut Upanishad tanpa mencantumkan hak cipta maupun nama mereka, karena keyakinan mereka bahwa ilmu pengetahuan berasal dariNya dan hanya untukNya semata jua.

Salah satu Upanishad dari keseluruhan 108 Upanishad (disimbolkan dengan 108 butir tasbih ganatri) adalah karya ini yang dikenal dengan nama Isavasya Upanishad yang menyabdakan banyak aspek dan kahikat misteri Yang Maha Esa dan kehidupan ini yang penuh dengan misteri spritual dan duniawi. Apakah di masa-masa mendatang Sanatana Dharma masih akan bertahan dan eksis, sebelum mengambil kesimpulan yang salah baiklah kita mempelajari karya adi-luhung yang satu ini hasil terapan para resi melalui meditasi mereka yang intensif dan penuh bakti.

Karena adanya bantaran waktu yang luas di antara para resi di masa silam dengan kita di masa kini, maka sebaiknya kita cari nilai-nilai universal yang terkandung di dalam karya ini yang masih bisa kita hayati di era ini. Mungkinkah karya ini telah ketinggalan zaman ataukah kita yang telah ketinggalan kereta?

Isavasya upanishad ini sebenarnya merupakan bab terakhir dari Sukla Yajurveda Samhita, sering juga karya ini dikenal dengan nama Samhitopanishad. Sabda-sabda dalam berbagai Upanishad dalam bentuk metrikal disebut mantra, sehingga sering berbagai Upanishad ini disebut juga Mantropanishad dan diantara berbagai Mantropanishad karya ini terkenal sebagai yang terindah dalam bahasa Sansekerta.

Isavasya Upanishad ini terdiri dari dua resensi yaitu Kanva dan Madhyandina, yang pertama terdiri dari 18 stanza atau mantra. Karya siapakah Upanishad yang satu ini ? Tidak seorangpun yang akan tahu, karena para resi di zaman dahulu tidak mengenal sistem hak cipta, bagi mereka semua bentuk ilmu pengetahuan datang atas berkah Yang Maha Esa dan harus didedikasikan demi Ia semata.

¨    Para ahli menafsirkan ada 7 inti ajaran di dalam karya ini. Yang pertama, yaitu para guru pengarang Upanishad ini sebenarnya sedang menunjukkan jalan kebenaran melalui jalur pemasrahan diri dari hal-hal yang bersifat keduniawian.

¨       Yang kedua, adalah jalan aksi (bekerja, berkarya, jalan karma). Jalan ini khusus diperuntukkan bagi mereka-mereka yang tidak mampu menjalani jalan yang pertama.

¨       Jalan ketiga, mengisyaratkan bahwa seseorang yang tidak mengambil jalan yang pertama dan kedua akan hancur total dan tersesat dalam penderitaan dan kegelapan.

¨       Jalan keempat, menunjukkan tujuan dari kehidupan ini yang sebenarnya sudah tersirat di stanza yang pertama, dan bagaimana seseorang yang telah mencapai tujuan tersebut mampu sesudah itu hidup di dalam suatu fenomena yang penuh sarat dengan pengalaman-pengalaman mistik akan kebenaran sejati.

¨       Jalan kelima, terdapat di antara stanza 9 s/d 14 yang menyiratkan bahwa ilmu pengetahuan dan tindakan (meditasi dan pemujaan) harus dilakukan secara bersamaan seandainya seseorang ingin mencapai kemajuan spritual secara maksimum, karena kedua faktor ini sebenarnya saling menunjang satu dengan yang lain sehingga tahap pemahaman akan Sang Jati Diri akan lebih meda dicapai oleh sipelaksana.

¨       Jalan keenam, (stanza 15 – 17) menyiratkan hasrat seseorang manusia (yang pasti akan mati suatu saat) ke arah Yang Tak Dapat Binasa (Sang Jati Diri, Atman), agar Sang Atman sudi kiranya menampakkan DiriNya dalam kenikmatan Ilahi.

¨       Jalan ketujuh, memberikan pemikiran akan pentingnya puja-puji ke Yang Maha Esa agar sang guru dan sang sishya pendaki jalan spritual ini selalu dituntun dan dibantu perkembangannya.

Biasanya dalam setiap Upanishad, sang guru dan sang murid selalu memulai dan mengakhiri suatu wejangan spritual dengan menghaturkan puja-puji kepada Yang Maha Esa yang berintikan kedamaian (shanti). Kekuatan sebuah doa puja-puji yang tulus ke Yang Maha Esa tidak dapat digambarkan kesaktiannya. Pada zaman ini doa puja-puji dengan mudah dijadikan barang dagangan / komoditi. Tetapi dizamannya Upanishad sebuah doa antara seorang guru dan sishyanya adalah sebuah alat penyaring kekotoran di dalam diri mereka sendiri, dan sebuah ajaran dimulai dan diakhiri doa bersama, hasilnya sangat efektif secara spritual.

Selengkapnya di ebook