Arsip Kategori: 1

Kathopanishad

KATHOPANISHAD

 

Semoga Ia melindungi kami berdua.
Semoga Ia memberkati kami dengan Berkah Ilmu Pengetahuan.
Semoga ilmu pengetahuan ini kami pergunakan bersama-sama.
Semoga apa yang telah kami pelajari akan dipelajari
oleh yang lain-lainnya dengan baik.
Semoga kami tidak bersengketa (bertentangan)
satu dengan lainnya.
 Om Santihi – Santihi – Santihi

BAB  –  I

BAGIAN  –  I

(Kisah mengenai Nachiketas dirumah kematian) 

  1. Pada suatu saat diswargaloka, Usan, putra dari Vajasrava (Gautama), melaksanakan suatu upacara pengorbanan, dengan mengorbankan semua yang dimilikinya. Beliau berputrakan seorang anak laki-laki yang bernama Nachiketas.

 

  1. Sewaktu berbagai hadiah pengorbanan dipersembahkan, kegalauan (akan masa depan ayahnya) mengusik hati sanubari Nachiketas, yang pada saat itu masih seorang bocah kecil, dan iapun berpikir.

Keterangan : Usan putra dari Vajasrava melangsungkan upacara pengorbanan yang disebut Viswajit dimana ia harus menyerahkan semua harta benda yang dimilikinya kepada para resi dan fakir miskin. Upacara ini biasanya dilakukan oleh para raja yang berhasil mengalahkan kerajaan lainnya. Upacara ini juga biasanya dilakukan oleh sang kepala rumah tangga, dalam hal ini sang orang tua yang bersiap-siap ke hutan dan berburu, sambil memasuki kehidupannya sebagai Sang Sanyasi.

Pembicaraan dengan sang cucu, Nachiketas, ini malahan penuh dengan shradha (iman), ia memahami arti upacara yang dilaksanakan oleh ayahnya, Usan.

  1. Sapi-sapi ini telah meneguk air untuk yang terakhir kalinya, menyantap rerumputan untuk yang terakhir kalinya, telah kering seluruh susunya dan telah tua, kurus kering dan lemah. Sia-sia saja (tanpa kebahagiaan) loka-loka yang akan dicapai oleh seseorang yang menghaturkan daksina dengan cara ini demi sebuah yagna (upacara pengorbanan yang bersifat suci).
  2. Ia berkata kepada ayahnya, “Ayahanda, kepada siapa dikau akan mempersembahkan diriku ini?”, ia mengulangi pertanyaannya ini sampai tiga kali, sampai-sampai ayahnya teramat murka dan berkata, “Pada Kematian akan kupersembahkan dirimu”.

Keterangan : Nachiketas yang berkesadaran tinggi paham betul bahwa ayahnya telah melakukan yagna ini secara tidak murni, padahal upacara Viswajit ini bersifat teramat sakral dan merupakan penyerahan total terhadap yang Maha Kuasa akan kehidupan duniawi ini demi mempersiapkan jalan menuju ke Pencapaian Kebenaran. Anak kecil ini sadar bahwa karena ia milik ayahnya, maka seharusnya iapun dikorbankan. Maka ia bertanya dengan lugu sampai tiga kali, tetapi sang ayah yang merasa tersindir oleh anak ini malahan murka dan menyatakan bahwa putranya ini akan dipersembahkan kepada dewa kematian.

  1. Nachiketas berpikir, “Dari kesemuanya yang berjumlah banyak ini aku akan pergi paling awal, dari kesemuanya yang berjumlah banyak ini aku akan pergi ditengah-tengah semuanya ini ; pekerjaan apakah yang akan dilaksanakan oleh Yama, Dewa Kematian, melalui diriku ini, yang telah dipersembahkan oleh ayahku ini?”

Keterangan : Sebenarnya Nachiketas sadar bahwa ucapan ayahnya bernada kesal dan tidak sungguh-sungguh berarti, tetapi anak yang saleh dan penuh dengan Kesadaran akan prinsip-prinsip Sanathana Dharma tahu dan paham bahwasanya apapun yang sudah dikatakan tidak dapat dijilat kembali, sehingga ia yang memang merupakan jenius spiritual langsung saja mempersiapkan jiwa raganya demi yagna ayahnya ini.

Disini sidang pembaca dapat menyimpulkan sendiri tentang hakikat dari Dharma dan adharma, tentang seorang yang tulus dan yang tidak tulus.

Bagi Nachiketas selama ini ia mempelajari bahwa ayahnya adalah sekaligus gurunya, dan seorang guru itu dipercaya tidak akan melakukan hal yang salah.

  1. “Ingat bagaimana leluhur kami bertindak, pertimbangkan juga bagaimana yang lain-lainnya bertindak pada saatnya, ibarat tanaman jagung, matilah manusia-manusia ini, dan ibarat tanaman jagung terlahir (hidup) kembali. “

Keterangan : Sloka ini langsung dialamatkan oleh sang anak kepada ayahnya dan sloka ini penuh dengan intisari kebijaksanaan yang dikandung semua Sruthis dan merupakan pengejawantahan dari Sanathana Dharma itu sendiri. Didalam sloka ini juga tersirat secara nyata sekali akan filosofi kelahiran kembali (reinkarnasi) yang merupakan salah satu sendi iman kita yang paling utama.

Nachiketas yang sadar akan karma, pralabdha dan jalan kehidupannya, pada saat ini sedang memberikan “teguran” kepada ayahnya bahwa kehidupan itu harus terhenti suatu saat, lalu mengapa ayahnya melaksanakan suatu bentuk adharma yang berdasarkan ilusi duniawi, yaitu keserakahan yang sifatnya palsu.

  1. Seorang Brahmin (Brahmana) memasuki sebuah rumah ibarat api. Manusia-manusia mempersembahkan ini agar (sang tamu) ini tenang. Vaisvata! Pergi dan ambillah air.

Keterangan : Diantara sloka 6 dan 7 tercipta keheningan yang dramatis dan terdengar sebuah suara yang tak “berbentuk” membimbing Nachiketas untuk memasuki Istana Kematian. Nachiketas memaksa ayahnya agar ia dipersembahkan kepada Dewa Kematian sesuai dengan ucapan sang ayah, dan sang putra ini meninggalkan rumahnya dan memasuki alam kematian.

Ada banyak teori tentang bagaimana ia sampai kegerbangnya Yama Dewa, singkatnya ia sampai pintu gerbang Istana Kematian tetapi harus menanti tiga hari dan tiga malam karena Dewa Yama sedang tidak berada ditempat. Nachiketas menunggu kedatangan Dewa Yama sambil berpuasa (suatu puasa atau upawasa adalah salah satu bentuk tapa-brata diantara upaya-upaya disiplin yang biasanya diajarkan oleh sang guru kepada muridnya agar jalan spiritual sang murid terbuka lebar).

Tiga hari berlalu dan Dewa Yama pun kembali ke Istananya serta mendapatkan ada seorang Brahmin sejati yang sedang berpuasa dirumahnya. Kata api di sloka mantra diatas berarti seorang Brahmana yang bukan berdasarkan garis keturunannya, tetapi berdasarkan tingkat budhi dan kesadarannya yang tinggi serta suci. Api bersifat sangat murni dan suci. Disini Nachiketas diibaratkan sebagai seorang Brahmin sejati dan suci, dan bagi Dewa Yama kehadiran Nachiketas adalah suatu kehormatan sekaligus beban spiritual yang amat berat. Ia sadar bahwa tamu yang satu ini bukan manusia sembarangan.

  1. “Harapan, hasrat, bersama-sama dengan orang-orang yang berbudi luhur, diskusi-diskusi penuh rasa persahabatan, pengorbanan dan pahala dari pemberian-pemberian yang bersifat suci, putra-putra dan ternak . . . .   semua ini hancur berantakan sekiranya dirumah seorang yang kurang pengetahuan (bodoh) tinggal seorang Brahmin tanpa memakan sesuatu (tanpa disuguhi atau diberi santapan oleh yang empunya rumah tersebut).

Keterangan : Didalam ajaran Sanathana Dharma, seorang tamu yang bersifat Brahmin sejati sangatlah dihormati oleh tuan rumah yang mendapatkan kunjungan seorang guru. Bagi sang empunya rumah dan keluarganya, kunjungan seorang suci dianggap berkah yang amat besar karena kaki sang orang suci ini dianggap menyucikan lantai rumah mereka. Jadi adalah suatu perbuatan yang nista kalau sampai terjadi tamu semacam ini tidak dihormati secara layaknya. Tiba-tiba saja Yama Raja mendapatkan seorang tamu suci dengan sifat-sifat seorang Brahmin sejati dirumahnya dan betapa terkejutnya beliau mengetahui bahwa sang tamu belum mendapatkan suguhan apapun juga selama tiga hari, bahkan sambil menunggu sang tamu malahan berpuasa selama tiga hari. Sruthi menyatakan bahwa seorang yang mengabaikan Brahmin yang sejati disebut apamedhasah (seorang yang alpa, idiot, bodoh sekali). Sanathana Dharma tidak berlaku untuk manusia saja, tetapi aturan-aturan dharma ini juga harus ditaati oleh para dewa dewi, bodhisatwa dan yang lainnya karena mereka adalah panutan dan penuntun manusia.

Didalam konsep Sanathana Dharma seorang tamu disebut sebagai Athihi-Narayana (atau manifestasi dari Tuhan itu sendiri). Memberikan santapan kepada seorang suci yang berkarakter Narayana Bhav dianggap sebagai salah satu dari Pancha Maha Yagna (Lima Pengorbanan Utama). Bagi sidang pembaca harus hati-hati membedakan bahwasanya tidak semua yang berkasta Brahmana harus dihormati, tetapi hanya orang-orang budiman yang menyandang sifat-sifat mulia sajalah yang harusnya dihormati dan dijadikan panutan serta diibaratkan sebagai seorang guru sejati dan insan mulia ini dapat saja berasal dari varna apa saja. Ciri-ciri insan yang agung ini selalu sederhana pembawaannya walaupun ia berasal dari golongan apapun juga, ia selalu penuh wibawa, pesona dan cahaya spiritual.

  1. Yama berucap : “Wahai Brahmana, dikau adalah tamu kami yang terhormat, dan telah tinggal selama tiga malam dirumah kami tanpa menyantap sesuatu apapun juga. Oleh karena itu untuk penggantinya, kami mohon dikau untuk meminta tiga hal yang berkenan dihati kepada kami, wahai Brahmana, kami bersujud dihadapanmu. Semoga Kebajikan beserta denganku senantiasa.”

Keterangan : Suatu hal yang mengejutkan tentunya bagi sidang pembaca untuk mengetahui bahwa Yama Raja yang ditakuti oleh semua mahluk dan bahkan oleh para dewa dan manusia ternyata bersujud dan memohon maaf kepada seorang anak yang baru berusia sembilan tahun. Ada suatu nilai luhur yang telah hilang dibumi kita ini, yaitu menghormati orang lain yang lebih mulia. Umumnya kita yang merasa diri berkasta tinggi harus dihormati dengan bahasa yang khusus, dengan segala tata cara yang feodalistis. Seharusnya kita lebih banyak berintrospeksi dari cara Yama Dewa menghadapi Nachiketas ini. Dewa Kematian yang memegang otoritas tertinggi dijajaran dewa dewi ternyata juga adalah seorang Brahmin sejati.

  1. Nachiketas berucap : “Wahai Kematian! Permintaanku yang pertama agar ayahku (Gautama) bersikap welas asih, bajik dan jauh dari rasa amarah terhadap diriku, dan agar ia mengenalku dan menyambutku, sewaktu aku pulang dari kediamanku ini.”

Keterangan : Sekali lagi Nachiketas memperlihatkan sifat-sifat Brahminnya yang sejati. Tanpa memikirkan dirinya pribadi, yang diminta adalah kebajikan semata-mata bagi ayahnya, suatu contoh kesaputraan yang teramat mulia, walaupun ia telah dikorbankan oleh ayahnya kepada Dewa Kematian.

  1. “Melalui kehendakku, Anddalaki, putra Aruna, akan mengenalmu kembali seperti sebelum ini. Ia akan tidur secara damai dimalam hari, sewaktu ia menyaksikan dikau terlepas dari mulut kematian, ia akan kehilangan amarahnya.”

Keterangan : Di sloka ini Yama Raja langsung saja memenuhi permintaan Nachiketas yang pertama. Ayahanda Nachiketas mempunyai empat nama, yang di Upanishad disebut-sebut sebagai Gautama, Anddalaki, Aruni dan Vajasravasah. Kata Gautama mungkin adalah kata penghormatan baginya.

  1. Di swargaloka tidak terdapat rasa khawatir. Dikau tidak berada disana ; juga disana tidak terdapat kekhawatiran akan hari tua. Setelah menyeberangi rasa lapar dan rasa haus, seseorang di swargaloka berbahagia karena telah berada diatas (melampaui) rasa kesedihan.

Keterangan : Sambil mempersiapkan permintaannya yang kedua, Nachiketas mengagungkan kehidupan di swargaloka yang jauh dari berbagai penderitaan dan kekhawatiran akan hari tua. Manusia mempunyai lima tahap kehidupan yaitu kelahiran, masa kanak-kanak, masa muda, usia tua dan kematian. Sedangkan para dewa di swargaloka hanya memiliki tiga tahap pertama. Pada masa yang silam, yaitu pada jamannya Veda-Veda, Dewa Kematian dianggap sebagai dewa pembimbing seseorang kepintu sorga, pada masa kini Beliau dianggap sebagai dewa yang menakutkan, karena persepsi manusia telah berubah dari petunjuk-petunjuk Veda yang sarat dengan nilai-nilai spiritual yang mulia ke nilai-nilai duniawi yang sarat dengan materi pada saat ini.

  1. “Wahai Kematian, Dikau faham akan api yang menuju kearah swargaloka ; terangkan kepadaku yang penuh dengan rasa keingintahuan yang amat mendalam ini, akan unsur api ini, yang digunakan oleh mereka-mereka yang menginginkan kehidupan yang di sorga, inilah permintaanku yang kedua.”

Keterangan : Banyak manusia didunia ini yang menghabiskan waktu mereka dengan melakukan berbagai upacara, upaya spiritual, dana-punia, dan berbagai bentuk kebajikan agar mendapatkan pahala yang berupa kehidupan yang abadi di swargaloka. Bagi seorang Yogi atau Brahmin seperti Nachiketas, orang-orang ini adalah insan-insan yang bodoh, karena sebenarnya kehidupan disorgapun tidak abadi dan ada masa habisnya ; demi mereka-mereka ini ia memohon suatu petunjuk rahasia yang bersifat teramat mendalam yaitu sesuatu yang berhubungan dengan karma umat manusia. Kita lihat disini bahwa Nachiketas sebenarnya ingin menuntun umat manusia agar keluar dari unsur-unsur untuk mendapatkan pahala secara spiritual ; dan untuk itu ia memohon petunjuk kepada Yama Raja agar diberi ajaran pembebasan secara spiritual dari ilusi duniawi ini (termasuk didalamnya adalah swargaloka itu sendiri) yang sebenarnya bukanlah tujuan sejati kehidupan kita sebagai manusia dibumi ini. Seorang Hindu sejati seharusnya tidak mendambakan swargaloka, tetapi ia seharusnya menyadari akan hakikat dirinya sendiri dahulu sebagai Sang Atman yang berasal dari Yang Maha Atman (Paramatman). Secara tersirat dan hanya dimengerti oleh Yama Raja, sebenarnya Nachiketas melalui permintaannya yang kedua memohon agar diberi pengajaran suatu bentuk ajaran spiritual yang teramat rahasia demi kebebasan umat manusia dari ilusi duniawi dan spiritual ini yang merupakan hambatan kita kepenyatuan dengan Sang Atman dahulu lalu ke Sang Paramatman, yang adalah sebenarnya misi kita yang sejati, yang dilahirkan sebagai manusia yang berbudi (intelek).

  1. “Akan kami terangkan kepada dikau secara baik ; wahai Nachiketas, perhatikanlah ucapan-ucapan kami ini, kami tahu akan api yang menuju ke swargaloka ; pahamilah bahwa api (agni) yang menuju ke swarga ini adalah juga api yang menunjang alam semesta dan yang bersemayam didalam relung hati sanubari.”

Keterangan : Mulailah Yama Raja mengungkapkan rahasia alam yang disebut Agni-Vidya (ilmu pengetahuan atau pemujaan kepada Dewa Agni). Bagi manusia-manusia yang kurang paham akan nilai sesungguhnya, ia akan memuja Dewa Agni dengan berbagai ritual dan mengharapkan berbagai pahala. Bagi yang paham akan rahasia Agni ini secara sesungguhnya akan terbebaskan dari dunia ini. Agni atau api adalah unsur penunjang secara makro-kosmik dialam semesta ini dan dikenal sebagai Virat. Ia juga terletak direlung sanubari manusia yang berarti bahwa api ini adalah budhi (intelek spiritual) kita yang hanya terdapat didalam nurani kita yang paling dalam ibarat sebuah gua yang gelap dan teramat dalam (nihitam guhayam).

Sloka diatas menyadarkan kita bahwa bukan ritual yang penting tetapi penghayatan akan arti dan makna dari sesuatu pengorbanan, itulah yang harus dipahami secara sadar dan benar sebagai jembatan kearah pembebasan yang hakiki sifatnya.

Yama kemudian menerangkan kepadanya mengenai tatacara pengorbanan api ini, sumber dari berbagai loka-loka, batu-batu bata jenis apa yang harus dipergunakan sebagai altar, berapa jumlah dan bagaimana menata batu-batu bata ini dan Nachiketas mengulang kembali semua itu kepada gurunya sama seperti yang dijelaskan oleh sang guru. Kemudian Dewa Yama yang sangat terkesan dan bahagia dengan muridnya berkata lagi.

  1. Yama kemudian menerangkan kepadanya mengenai tatacara pengorbanan api ini, sumber dari berbagai dunia (loka-loka); batubara jenis apa saja yang harus dipergunakan sebagai altar, kemudian berapa jumlah dan cara menata susunan batu-batu bata ini, dan Nachiketas mengulang kembali semua itu kepada gurunya tepat seperti yang dijelaskan oleh Sang Guru. Dewa Yama yang sangat terkesan dan berbahagia dengan sang murid ini, kemudian berkata lagi.

Keterangan : Tidak diterangkan dikarya ini apa saja sebenarnya yang diajarkan oleh Yama Raja kepada Nachiketas, tetapi tentunya sesuatu yang teramat rumit dan memakan waktu agar sang murid gagal mencernakannya, ternyata Nachiketas adalah seorang murid yang jenius dan berbakti secara tulus dan ia mampu menjelaskan kembali semua ajaran Dewa Yama secara tepat dan terperinci. Tentu saja sang guru merasa bangga dan teramat puas serta berbahagia mendapatkan murid berbakat semacam ini, dan langsung saja Yama Raja memberikan sebuah anugerah kepadanya.

Selengkapnya silahkan di ebook