Arsip Kategori: Uncategorized

Ashvattha

ASHVATTHA
( Pohon Beringin nan Abadi)

Ashvattha, simbol semesta dengan berbagai keragaman kehidupan adalah simbol pohon beringin, ini yang digambarkan Sri Krishna kepada Arjuna di Bhagawat – Gita. Ashvattha digambarkan berakar ke atas dan cabang-cabangnya menurun. Ke atas di sini lebih berarti ke Sang Pencipta dan ke bawah bermakna dunia dan bumi ini, sebenarnya di antariksa tidak ada atas maupun bawah kecuali “kekosongan” yang menunjang isinya sendiri. Dengan kata lain pohon beringin ilusif ini adalah Prakriti yaitu alam makro – kosmos, madya, dan mikro – kosmos itu sendiri.

Ashvattha bermakna “tidak stabil” atau selalu bergoyah, dunia dan segala isi-isinya ini memang hasil rekayasa Sang Maya, dan maya adalah ilusi yang tidak akan pernah stabil sampai kapanpun. Namun “Ketidak-stabilan” ini nara sumbernya adalah Yang Maha Abadi itu sendiri, dan hal ini disadari oleh kaum yang telah mencapai vairagya (kesadaran) total, kaum awam senantiasa terpesona dan terjebak di dalam perangkap Sang Maya, dan lahir, lahir kembali tanpa henti, tanpa letih dipicu karma-karmanya sendiri.”

Singkatnya akar-akar Ashvattha adalah Sang Maya, pohonnya adalah Prakriti (dunia) dan asal-usulnya adalah Hyang Maha Esa (Purusha). Kalau ingin berlindung maka masukilah Prakriti, selami maya dan berlabuhlah dengan kesadaran di pelabuhannya Yang Maha Esa, namun berteori itu mudah, pelaksanaannya membutuhkan ribuan reinkarnasi, jutaan kesadaran dan satu sentuhanNya yang akan mengakhiri segala ilusi dunia materi ini. Konon kata Bhagawat-Gita, Ashvatta mendapatkan sari-sari kehidupan dari berbagai gunas (sifat-sifat prakriti yang alami), objek-objek indriyas adalah putik-putik bunganya, dan akar-akarnya yang ilusif mencengkram dan mengikat manusya dengan ilusi-ilusinya yang penuh suka (manis) dan duka (pahit). Cabang-cabang pohon ini adalah berbagai jiwa yang dibagi dalam berbagai kategori kesadaran sesuai dengan hasil-hasil karma kita di masa lampau, dan jiwa-jiwa ini lalu ditempatkan pada masing-masing posisi sesuai tugas-tugasnya seperti menjadi dewa, manusya, mahluk-mahluk halus, fauna, flora, reptile, serangga, mahluk-mahluk sel satu, dua, dst.

Namun manusya lebih cenderung menikmati dunia daripada menyadari tugas-tugasnya di alam ini, jadilah kita makin jauh dariNya, dan makin melekat ke vishaya (objek-objek luar). Ada lagi akar-akar Ashvattha yang menjuntai ke bawah yang disebut sebagai vasana (inti nafsu), trishna (cinta) dan raga dresha (pemujaan ego ke diri sendiri) yang menimbulkan karma-karma (aksi-aksi) yang berkelanjutan tanpa ada henti-hentinya inilah kedashyatan vasanas, yang harus “ditebas” dengan kesadaran dan pemasrahan total agar keluar kita dari belukar hidup ini.”

Sayang sekali lagi, semenjak dini kita lebih diajarkan untuk menikmati buah-buahan dari Ashvattha daripada mempelajarinya, jadi rasa manis buah-buahan lalu menjadi tujuan hidup, dan sang pohonpun terlupakan tuk dirawat dan dilestarikan. Akibatnya kita berkelana tanpa henti, tanpa tujuan dan tanpa makna yang berakhir dengan pengrusakan bumi dan diri sendiri, dimana tidak pernah ada kata cukup atau rasa aman dan nyaman, padahal kesadaran itu sederhana saja kata Gita: “Seseorang yang dirinya tidak terikat pada objek-objek luar (eksternal), akan mendapatkan kebahagiaan yang hadir di dalam dirinya sendiri (yaitu Sang Atman). Bagi seseorang yang telah melepaskan dan mengendalikan berbagai nafsu, keinginan dan perilakunya maka iapun akan bebas dari keterikatan, merasa cukup dengan semua anugrah hidup dan langsung mendapatkan ketenangan (kestabilan).

Kebebasan dari ikatan-ikatan materi adalah unsur vital tuk berkenalan dengan Hyang Maha Esa, namun pendekatan kearahNya harus tanpa pamrih, tulus dan tidak dibuat-buat, dirancang-rancang atau direkayasa, ia harus murni kesadarannya. Sang Jiwa di dalam raga kita harus disadarkan dari ilusi-ilusinya. Sang Jiwa harus sadar uang, harta, kesaktian, kemampuan hanya alat-alat penunjang bukan akhir tujuan, demi mencapai atman yang “bersembunyi” di guhayam (relung nurani yang paling dalam).

Jadikan hidup ini sebagai suatu kesempatan langkah tuk dimaknai secara sadar demi dharma-bhakti kita kepada Sang Pencipta, “Aku bukan apa-apa dan sebenarnya bukan siapa-siapa” adalah salah satu anak tangga awal dari kesadaran ini. Cobaan-cobaan terberat bukanlah harta-benda, istri, suami, dsb, tetapi adalah diri kita sendiri, yang tidak mau sadar dan malas belajar! Selama rasa ego masih menjadi panutan maka jauhlah kita dari rasa rasya (instuisi tertinggi), sia-sia saja berkelana telanjang di Himalaya, sia-sia saja bervarna prastha ke hutan-hutan, bertirtha yatra ke lokasi-lokasi suci kalau masih berjubah ego”, karena ego adalah bentuk nafsu dan perilaku yang teramat lincah dan licik kata T.L Vaswani.

Ada sesuatu yang selalu dilupakan oleh manusya, yaitu setiap jiwa di alam ini termasuk jiwa manusya adalah bagian-bagian kecil yang berasal dari Sang Pencipta itu sendiri, seyogyanya kita abadi, suci, bersih dan murni, tetapi lalu mengapa terilusi? Ini konon katanya karena kita cenderung mementingkan buah (pahala) daripada pohon kehidupan itu sendiri, dan Prakriti dengan segala keampuhannya lalu mengatur hidup ini sedemikian rupa agar terbungkus oleh indriyas dan jalan pikiran kita, sang Jiwapun diatur penuh kebebasan untuk kebablasan atau disadarkan, ia direkayasa tuk terbungkus atau menyibak keterikatan-keterikatannya sendiri dan mencapai titik zero di sanubarinya sendiri yaitu kesadaran Atman.

Di masa kini siapa peduli akan Atman? Hampir semua manusya meratap dan mengeluh susah dan menderita, ini akibat roh mereka lebih banyak bersemayam di dalam HP, komputer, TV, Bank, mobil, rumah mewah, posisi, dsb. Akhirnya roh-roh materi inipun “bergentayangan” dalam kepanjangan ilusi tanpa kendali, padahal sang jiwa yang bekerjasama dalam naungan Sang Atman dekat sekali di hati, dan selalu menegur kita dari saat ke saat karena Yang Maha Esa itu sebagai Atman selalu menunjang seluruh ciptaan-ciptaanNya baik dari dalam maupun dari luar, dengan menjadi sumber “api kehidupan’ yang menyatu dengan alunan nafas-nafas yang selaras. Sang Atman ini adalah sumber segala kecerdasan, kemampuan, pengetahuan dan kesadaran, IA-lah yang dimaksud oleh Veda-Veda dan berbagai Upanishad sebagai Sang Tujuan, IA juga sumber energi semesta,dan segala isinya, IA juga semua jalan-jalan ke arahNya, IA adalah DHARMA dan penunjangnya, IA adalah kita, dan kita semua adalah IA yang tidak dapat terjabarkan namun dapat difahami oleh yang berniat memahamiNya.

Ada bentuk-bentuk Tuhan yang ilusif yaitu Sang Purusha (energi) yang dapat binasa dan tidak abadi sifatnya dan Purusha yang disebut Kutastha yang tidak dapat binasa, IA disebut duduk tegar dalam misterinya yang abadi dan terselimuti oleh sang maya yang direkayasaNya sendiri.

Ada lagi Purusha yang Maha Tinggi yang dikenal sebagai Purushottama (Sang Jati Diri Maha Utama Suci dan Agung). IA menunjang bhur,bwah,swah loka dengan segala isi-isinya. IA lah Yang Maha Abadi dan tidak pernah binasa.Uttama Purusha atau Purushottama dengan nama lain Paramatman, Sang Jati Diri yang maha hadir dalam setiap Atman mahluk-mahluknya adalah yang maha menunjang, menghidupi dan menghadirkan alam semesta ini dari waktu ke waktu.

“Seseorang yang telah sadar, yang telah mengenalKu sebagai Purushottama, maka ia akan memujaKu dengan segenap jiwa-raganya, oh Arjuna!” (Bhagawat Gita XV, sloka 19) dan manusya agung ini disebut sebagai yang telah memahami ajaran-ajaran rahasya alam dan Ketuhanan Yang Maha Abadi, manusya agung ini disebut Mahatma (maha-atman), manusya ini telah mencapai penerangan (Nirwana, yaitu titik zero, (nol) dan tugas-tugasnya di dunia selesai sudah, ia telah berhasil menebas habis pohon Ashvattha, melalui non-keterikatannya, tanpa pamrih dan penuh kendali. Om Tat Sat.

mohan m.s
Cisarua 25 Nov 2009

Bibliography : – Bhagawat-Gita by T.L Vaswani
diedit oleh : uvi antonina

Ketuhanan Yang Maha Esa Hindu Dharma

Rig Weda dari Asia Barat dengan Tuhan-tuhan baru seperti Agni, Indra, dan Bayu. Sesuai berbagai evolusi, revolusi dan berbagai manuver-manuver politik, sosial, rasial.dan agama, maka Hindu saat ini mengkategorikan semua “tuhan-tuhan” di atas sebagai golongan dewa-dewi, yang berasal dari suatu zat tertinggi yang disebut Param Brahman. Di bawah ini secara singkat dan rinci Tuhan akan dijabarkan secara sistematis sesuai dengan perkembangan Weda-weda, Upanishad, Shiwa Purana, dsb) yang lalu bersinergi menjadi Bhagawat Gita, Maha Karya tentang Ketuhanan yang tidak ada duanya di dunia ini.Tuhan di dalam Hindu Dharma disebut-sebut sebagai Brahman, Adhyatman, Adhiyagna, Adhibhuta, Adhidaiva, dst. Hukum-hukumnya disebut Hukum Karma dan pelaksanaan pencapaiannya disebut Abhyasa Yoga.

Brahman adalah Zat Yang Maha Agung dan Suci yang tidak terbinasakan, yang dikenal sebagai Tuhan Yang Maha Esa (di Indonesia) di India disebut Mahesya, Beliau ini bisa berwujud sebagai dewa, manusya, dsb (Saguna Brahman atau Maha Tidak Terdefinisikan (= Nirguna Brahman), Brahman berada di atas/asal mula dari weda-weda dan Prakriti (sifat-sifat maya nan alami, ilusi Tuhan).Brahman berada di atas semua materi, benda, dewa, bahkan semesta raya.

KETUHANAN YANG MAHA ESA

Manusia Dharmais yang sering disebut umat Hindu sering-sering bertanya-tanya seperti apakah Tuhannya Hindu itu, apakah beliau sama dengan Tuhannya kaum agama-agama lain, ataukah Ia sejenis dewa yang lebih agung daripada para dewata, ataukah Ia berbentuk manusya karena Tuhannya umat-umat lain cenderung disebut Bapa, dsbnya.

Setelah mempelajari berbagai cabang-cabang weda dan Upanishads maka Tuhan di dalam Hindu Dharma memang ternyata banyak wujud-wujud dan rupa-rupanya. Dari Hyang Brahma sebagai Pita Maha (ayah dan ibu) juga leluhur umat manusya yang menurunkan jajaran manu-manu pertama, sampai sepuluh kali, beliau juga melahirkan wangsa-wangsa lain di berbagai sistem tata-surya. Kemudian ada golongan Waisnawa yang menuhankan Narayana dengan berbagai reinkarnasi-reinkarnasi seperti Wishnu Yang Maha Pengayom, Rama, Krishna dan Buddha, dst.

Golongan Shivais adalah Hindu asli di Tanah Barata, saat itu terkenal dengan kultur Indus, (asal kata Hindu) dan yang dihuni Dravidia pemuja Tuhan dalam bentuk Hyang Shiwa, masuk kemudian di India.

Adhyatman – Dimanakah aku dapat menemui sang Brahman? Temuilah Dia di dalam dirimu sendiri, Ia “bersembunyi” di relung hati nuranimu sendiri yang paling dalam (guhayam), Ialah inti Jiwa kita yang disebut Sang Jati Diri (Atman), Sang Atman hadir di dalam Sang Jiwa, ibarat 2 ekor burung di dalam naungan satu pohon, yang satu dinamis (jiwa), dan mobile, yang satu lagi Atman diam menyaksikan, sabda Upanishad.

Adhiyagna- Berarti sebuah unsur yang teramat mula, kuna, asal-usul dari semua tindakan pengorbanan yang tulus, Raganya adalah pengorbanan kosmos pada awal-awal penciptaan semesta raya dan isinya, dari pengorbanan ini hadirlah seluruh ciptaan-ciptaan baik yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata di semesta (bhur, bwah, swah), Ia hadir di semua ciptaan-ciptaannya secara Abadi, Suci dan Agung, senantiasa menyiratkan pengorbanan-pengorbanan tulus dan menuntun kita penuh cinta-kasih. Kalau saja kita sedikit “bijak” maka akan terfahami betapa sucinya raga-raga manusya ini, ibarat pura atau kuil karena di dalamnya hadir Tuhan itu sendiri sebagai Sang Atman yang menyaksikan, mencatat, dan menuntun setiap individu secara masing-masing. Ia disebut juga Jyotir (Pelita Kehidupan), ia berada di titik fokus meditasi (dhyana) yang terletak di antara kedua alis mata kita.

Adhibhuta- Adalah Sang Adipati yang bermakna Yang Maha Esa, sebagai inti atau dasar segala mahluk yang berjiwa atau tidak berjiwa (padahal penelitian pemenang nobel di Jepang, menunjukkan semua benda berjiwa, dan berunsurkan zat hidup, ini sesuai dengan ajaran akan kehadiran Sang Atman dimana-mana dan di apa saja). Inti kehidupan ini disebut oleh Ishopanishad : “Ishavasyam idam sarvam”, yang bermakna semua yang dapat binasa adalah jubah atau pakaian dariNya semata, semesta dan segala isinya adalah ajang kita tuk belajar memahami dan kemudian kembali kepada hakikatnya semata.

Adhidaiva- Adalah Adipati suatu unsur kekuatan Bhagawatam (Ilahi, Ketuhanan) yang bersinar di dalam dewa-dewa (cahaya), Ia juga Purushanya para dewata (unsur laki-laki yang utama) Ia juga dikenal sebagai Prathama Purusha yang bercahaya di dalam setiap unsur dewa-dewi dan kaum suci. Ia adalah Tuhannya para dewata, yang juga disebut Hiranyagarbha Purusha (Purusha Emas/intan yang berkilau-kilauan. Nabi Muhamad S.A.W menyebutnya Gua Husa, tetapi malah dimaknai secara harafiah sebagai gua beliau mendapatkan wahyu-wahyunya yang pertama.Ia juga disebut Prajapati (pemilik dan penguasa semua jajaran mahluk-mahluk yang bernafas dan tidak termasuk dewata dan manusya.) Ia juga adalah Sutra-Atma yaitu Nafas Agungnya para dewa (Prana Purusha adalah nama lainnya) Para Dewata adalah “bagian-bagian” dari “Tubuhnya”, IA lah sebenarnya Kekuatan Maha Kreatif, Yang Maha Suci, Ia lah semuanya ini yang bercahaya di jagat raya nan tanpa ujung, dan tanpa habis-habisnya ini. Ia menunjang semua, dan semua akan kembali kepadaNya.

Karma- Hadirnya Sang Adhyatman dalam bentuk fragmen-fragmen kecil sang Atman dalam diri manusya dan berbagai mahluk disebut Visarga, yaitu energi murni dariNya semata.Energi ini menjadi proses setiap pelaksanaan para mahluk-mahluk di semesta raya yang penuh dengan berbagai pengorbanan, cinta kasih, melalui proses Sankalpa (memperbanyak dirinya sendiri). Hasil dari Karma Agung Hyang Brahma dengan Swahanya (Aku mengorbankan yang terbaik di dalam Diriku) adalah reinkarnasi alam dan isinya yang tidak kenal waktu dan habis-habisnya. Karma juga adalah mekanisme peraturan hukum-hukum alam dengan berbagai pola-pola aneka ragam yang amat menakjubkan, namun amat sistematis karena tidak ada yang gratis maupun kebetulan di dalam kehidupan ini, semua direkayasa secara apik,rapi dan penuh perhitungan,oleh hukum karma yang tidak terlihat tetapi selalu berwujud sebagai hukum “sebab dan akibat” secara universal.

Karma adalah zat atau energi maha mengagumkan yang bersinergi dengan evolusi alam semesta, karma menciptakan suatu proses kehidupan-kehidupan yang maju secara progresif tetapi juga dapat mundur secara timbal balik secara tegas, “apa yang kau tanam akan kau tuai kembali.” Tetapi pelaksanaannya adalah menabur angin dan menuai badai, karena sebutir gandum yang ditanam maka serumpun padi yang akan panen. Karma berevolusi melalui penderitaan dan kebahagiaan (suka,duka) dan tidak ada sebuah benda maupun mahluk yang dapat lepas dari untaian karma ini. Jadi pengorbanan suci tanpa pamrih adalah kunci bagi stabilnya roda-roda karma, seandainya seorang manusya ingin stabil hidupnya, maka ia harus berkorban dan berkorban terus tanpa henti, ibarat Sang Pencipta dan bumi ini sendiri sampai kini. Saat-saat akhir kematian manusya dapat menentukan reinkarnasi berikutnya, hukum karma ini disebut bhawa (hukum pikiran), agar ia dapat menuju reinkarnasi yang lebih baik dan utama, maka umat Hindu dianjurkan agar sehari-hari selalu memusatkan pikiran dan perilaku, yagna (pengorbanan) kita ke arah dan demi Ia semata, maka pada saat akhir nanti semua pikiran secara otomatis akan terpusat kepadaNya sesuai hadirnya pola kebiasaan ini, dan akhirnya kita akan menyatu denganNya. “Maka seyogyanyalah setiap saat dikau berpikir tentang Aku, dan berjuanglah! Seandainya pikiran dan pemahamanmu terpusat kepadaKu maka dipastikan dikau akan datang kepadaKu” (Bhagawat gita, bab VIII, sloka 7).

Cara mencapaiNya, Yang Maha Berwujud dengan berbagai wujud-wujud dan manifestasiNya (Saguna Aryakta Diwyarupa Brahman) dijelaskan para rsi seperti berikut ini:

“Sang yogi harus selalu mengendalikan jalan pikirannya, (bukan menghentikannya karena pikiran memang tidak dapat dihentikan kecuali oleh kematian!) dan memusatkannya secara konstan ke Tuhan Yang Maha Esa, sang yogi harus mampu merasakan kehadiranNya di mana-mana dan dalam bentuk apa saja.di dalam berbagai suka dan duka semua manusya dan mahluk-mahluk di sekitarnya, dengan demikian seorang pemuja akan pergi ke Tuhan itu sendiri (=jalan tol) dan tidak menumpang kea rah dewa-dewa, asuras, mahluk-mahluk gaib maupun objek-objek sensual, niskala dan skala lain-lainnya (jalan-jalan lain).

Tuhan Yang Maha Kuasa (Paraman Purusham Diryam) juga disebut Swarupa yaitu pemilik 1008 nama-nama dalam ajaran Hindu , tetapi setiap dewa dewi utama seperti Shiwa, Durga, Wisnu, Laksmi, Brahma, Saraswati, Ganeshya, dsb juga memiliki nama hotra 108 s/d 1008 nama. Namun Tuhan Yang Maha Esa hadir di atas semua nama-nama ini, Ia juga disebut Kawi (Kavi) yang bermakna Yang Maha Bijaksana, Sarwagna ( Yang Maha Mengetahui), Pranam (Yang Mula-mula), Sarwa Shaktiwam (Yang Maha Pengatur segala-galaNya) Maha Segalanya dari yang terlembut sampai yang terkasar, dari nol sampai ke yang berwujud, Ia adalah sesuatu yang Tak Dapat Difinisikan atau terjabarkan apalagi digambarkan (Achintya Rupam). Telanjang dan nol dari berbagai nafsu, hasrat dan ego dan “ke-aku-an” Ia juga adalah Aksharam (Tak Terbinasakan), Ia adalah A-U-M (Brahma pencipta), Wishnu pemelihara), dan Maheswara sang pelebur setiap jiwa) Ke semuanya itu mengarah ke Tuhan Yang Zero (Nir,Nol,Nil) yang disebut Nirgunam Param Brahman Banyak wujud-wujud dan nama-namanya (Devashya Dimahi) namun Ia adalah suatu Zat Kesatuan yang dianggap Maha Tunggal! Melalui mekanisme karma, Ia hadir dan mengatur dan menguasai para dewa-dewa dan seluruh loka-loka di semesta beserta isinya, pada saatnya nanti Ia akan melebur kembali kepadaNya tuk dibentuk semesta baru, hal ini disebut Pralaya (jadi tidak sama dengan kiamat yang konotasinya menyeramkan tanpa ada harapan!)

“Sebenarnya lebih tinggi dari yang tidak nyata (Sang Brahma), ini hadir lagi yang TIDAK NYATA, yaitu Yang Suci dan Abadi, Yang Tidak dapat Hancur sewaktu yang lain-lainnya dihancurkan”

“Yang Tidak Nyata (Maha Gaib) ini disebut Yang Tidak Terbinasakan. Ia lah tujuan yang Tertinggi, mereka-mereka yang telah mencapaiNya tidak akan pernah kembali. Itulah tempatKu bersemayam nan maha Agung (Parama Brahma)”
(Bhagawat Gita, hal 8, sloka 20-21).

Mereka-mereka yang tidak berakhir di Jalan Parama Dharma, biasanya berkelana dulu ke pitri loka (Loka-loka para leluhur) lalu mengarah ke Chandra loka, kata lain dari sorga. Di surga yang satu ini manusya yang bijak akan menikmati pahala-pahala baiknya selama di bumi, setelah usai, maka iapun akan kembali ke dunia ini, dan melanjutkan karma-karma barunya lagi.

Bagi seorang yang telah sadar (yogi) maka ia tidak akan galau memilih jalan yang terbaik, ia pun tidak akan terikat pada moha (kasih duniawi) yang memikat (mohan).

Semua weda memang mengajarkan hal-hal yang baik dan positif, namun di atas itu semua hadir pemahaman dan kebijakan yang lebih tinggi sifatnya yang akan membawa kita ke Brahman-Loka. Demikianlah uraian singkat Ketuhanan dan Maha YogaNya, semoga bermanfaat, Om Shanti, Shanti, Shanti Om.

mohan m.s
Cisarua, 15/11/09.
diedit oleh : uvi antonina