Arsip Kategori: artikel

Ashtavakra Gita

BAB I
SANG JATI DIRI SEBAGAI SAKSI DI DALAM SEMUANYA

Janaka berucap :

  1. Ajarilah  daku, wahai Presha (Guru Utama), bagaimana caranya untuk mendapatkan ilmu pengetahuan?  Bagaimana (darimana) datangnya kebebasan (spiritual, dari duniawi ini)?, bagaimana mencapai pemasrahan itu?

Ashtavakra berucap :

  1. Seandainya dikau mendambakan kebebasan, anakku, maka tolaklah kehadiran obyek-obyek indra-indramu dan anggaplah obyek-obyek ini racun, dan mohonlah akan pengampunan, keterus-terangan, kebajikan, keriangan dan kebenaran ibarat nektar (air suci kehidupan yang setelah diteguk akan mengabadikan seseorang).
  2. Dikau ini bukanlah bumi, bukan juga dikau ini Agni, bukan juga Akasa (angkasa), bukan Tirta (air) dan juga bukan Bayu (udara, angin).  Untuk mencapai kebebasan kenalilah Sang Jati Diri sebagai “saksi dari semua ini” …… yang merupakan manifestasi dari Kesadaran Yang  Murni dan Hakiki itu sendiri.
  3. Seandainya dikau menanggalkan dirimu dari raga dan bersemayam (menghadirkan diri) di Kesadaran, dikau akan segera berubah bahagia, damai dan lepas dari keterikatan.
  4. Dikau bukan tergolong dalam kasta Brahmana maupun kasta-kasta lainnya.  Dikau juga tidak tergolong di (Asrama) bentuk-bentuk kehidupan lainnya.  Dikau tak dapat dipengaruhi oleh indra-indra.  Tak melekat, tak berbentuk, dan “saksi dari semuanya” adalah dikau itu sendiri. Barbahagialah.
  5. Kebajikan dan kebatilan, kebahagiaan dan kedukaan adalah atribut-atribut dari sang pikiran, bukan darimu, wahai Yang Maha Hadir di dalam semuanya! Dikau bukanlah “yang melaksanakan” dan juga bukan “yang menikmatinya”.  Sebenarnya, dikau senantiasa bebas merdeka.
  6. Dikau adalah  Yang Maha Bijaksana dan Yang Maha Sadar di dalam semuanya, dan secara amat pasti dikau adalah bebas, sebebas-bebasnya.  Sebenarnya keterikatanmu lebih dikarenakan dikau tidak melihat Dirimu Yang Hakiki, tetapi melihatnya sebagai sesuatu yang lain.
  7. Dikau, yang telah dipagut oleh ular hitam yang besar yang berbentuk rasa egoisme “Akulah  sang Pelaksana”; Tegiklah iman ini :”Aku bukanlah sang pelaksana”, iman ini ibarat nektar, teguk dan berbahagialah.
  8. Setelah membakar habis hutan kebodohan dengan api keyakinan, “Aku adalah Tunggal”, Kesadaran Yang Hakiki dan setelah menanggalkan semua bentuk kekhawatiran,  berbahagialah.
  9. Dikau adalah kesadaran itu, Kebahagiaan Yang Berasal DariNya ——- Kebahagiaan Yang Teramat Agung —- seluruh alam semesta ini terlihat tertunjang olehNya, ibarat ular di dalam ilusi seutas tali.  Hidup berbahagialah sesuai dengan Kesadaran Hakiki ini.  (Di dalam kegelapan, seutas tali di jalan bisa terlihat/terkesan sebagai seekor ular, begitu juga ilusi duniawi).
  10. Barangsiapa merasa dirinya  bebas, ia akan benar-benar bebas, dan barangsiapa merasa dirinya masih terikat, maka ia akan selamanya  terikat. “Seperti yang dipikirkannya, begitu juga ia merubah dirinya”’ demikianlah kata-kata mutiara di dunia ini, yang sebenar-benarnya adalah benar.
  11. Sang Jati Diri adalah Sang Saksi, Hadir di kesemuanya, Sempurna, non-dual, Bebas, Kesadaran, Tak Melakukan  Tindakan, Tidak Terikat, Tidak berkeinginan, Hening. Melalui ilusi Beliau terlihat seakan-akan terserap ke dalam dunia ini.
  12. Setelah melepaskan semua fluktuasi-fluktuasi  eksternal dan internal, dan ilusi :”Aku adalah ego Diriku Yang terefleksi”’ bermeditasilah ke dalam dirimu, yang merupakan Kesadaran Yang  Tak tergoyahkan dan tak bercabang dua.
  13. Wahai putraku yang kusayangi, dikau telah lama terjerat oleh tali kesadaran ragamu. Tebaslah secara tuntas dengan pedang ilmu-pengetahuan :”Aku adalah Kesadaran”’ dan berbahagialah.
  14. Dikau adalah Tak Terikat, Tak Melakukan Segala Tindakan, Bercahaya di dalam Diri Sendiri, Tanpa setitik Noda. Dikau senantiasa bersemadi; ini sebenarnya adalah keterikatanmu.
  15. Dikau menunjang alam-semesta dan alam-semesta ini teranyam semata-mata di dalam diriMu.  Sebenarnya, secara alami, Dikau adalah kesadaran  Murni.  Jangan mengarah ke jalan yang salah.
  16. Dikau tak bersyarat, tak berganti-ganti, padat, penuh dengan intelegensia, hening dan tak terusik oleh apapun juga.  Berhasratlah akan kesadaran semata-mata.
  17. Fahamilah, bahwa sesuatu yang berbentuk adalah palsu dan yang atk berbentuk dan tak berganti-ganti (berubah-ubah).  Melalui petunjuk spiritual ini, dikau akan terbebaskan dari kemungkinan kelahiran kembali.
  18. Ibarat cermin yang menghadirkan refleksi di dalam dan di luarnya, demikian juga Sang Jati Diri Yang Maha Kuasa hadir di dalam maupun di luar raga ini.
  19. Ibarat ruang spasi (kekosongan) yang hadir di dalam dan di luar tempayan, demikan juga Yang Maha Tak Dapat Digerakkan dan Brahman Yang Maha Hadir dimanapun juga, berada di dalam semua makhluk dan benda-benda.selengkapnya silahkan baca di ebooknya

Apakah yang telah anda pahami tentang Weda

( SABDA-SABDA DEWA)

I. SEJARAH WEDA
Weda bukan merupakan wahyu-wahyu yang diterima oleh para nabi ataupun utusan-utusan Tuhan, namun lebih merupakan sabda-sabda Bhagavatham yang diturunkan langsung melalui sabda-sabda dewa kepada para resi melalui persepsi – direct (direct-perception).
Ajaran-ajaran maupun berbagai petunjuk yang terdapat di berbagai weda lebih merupakan pedoman hidup universal dari pada dogma yang menjerat umatnya. Tanpa hadirnya weda – weda ini dapat dibayangkan seperti apakah umat manusia dewasa ini. Karena nampaknya tidak ada budaya, agama, maupun perilaku bangsa apapun di dunia ini yang lepas dari ajaran –ajaran agung ini.
Penyebaran weda telah melalui beberapa jalan, misalkan Afganishtan, Turkeinishtan dan selanjutnya ke Timur-Tengah dan seterusnya. Melalui jalan laut menuju ke Semenanjung Arab, ke Asia Tenggara dan akhirnya melanda ke seluruh Asia. Cina kuno mengirimkan para Budhisatwa mereka untuk mempelajari dharma yang kemudian menjadi sendi-sendi agamis yang berasimilasi dengan ajaran-ajaran leluhur mereka yang juga berpedoman adiluhung. Lahirlah konsep-konsep Kwang – Kong (Yamaraja), Kwam Im (Saraswati,bunda semesta) dan Buddhisme di Cina yang pengaruhnya melanda seluruh Asia.
Yunani kuno tidak pernah menjajah India kuno, namun keduanya terlibat dalam persahabatan antarnegara yang intim, akibatnya konsep weda , Sruti dan Smritipun menjalar ke Yunani kuno maka lahirlah konsep para dewata dan Tuhan di kawasan ini. Misalnya Tuhan mereka Zeus adalah Brahma dalam versi Weda, Isis adalah bunda semesta, Hercules sama dengan Hanoman, dan venus sama dengan Lakshmi dan sebagainya. Mesir konon pernah ditaklukkan oleh Sri Rama dan keturunannya, jadilah raja-raja mereka bernama Ramses (Keturunan Rama) dan merekapun memuja Surya(Tat Savitur, dan sebagainya).
Secara historis Timur-Tengah mendapat kunjungan para nelayan dari India Selatan (di daerah Yaman). Daerah ini asal-muasal wangsa-wangsa Arab. Sedangkan kaum pribumi asli adalah cikal-bakal kaum Yahudi saat ini, yang telah bercampur dengan para candala yang dibuang dari India semenjak masa Rama,Pandawa dan seterusnya. Para Candala ini dibekali dengan berbagai weda , arca-arca hewan ternak dan budaya India kuno.
Tidak mengherankan kalau kemudian nabi agung mereka yaitu Abraham memuja lingga-yoni yang terbesar di dunia yang dikenal dengan nama Ka’bah saat ini, lengkap dengan mandir Shiva-Durga, Ganesha, Subramaniyam dan sebagainya. Subramaniyam (Kumara) identik dengan Nabi Daud (David), yantranya bintang sudut enam dengan dua garis disamping adalah yantra Subramaniyam (dewa dharmanya para dewa). Namun karena mantram yang ada diberbagai sudut bintang tersebut telah dihapus maka turunan Abraham akan berperang terus sampai akhir jaman tanpa kendali. Nama Tuhan Kaum Judea adalah Yehovah, sangat identik dengan Zeus (Yunani) dan Brahma (India). Sifat-sifat Tuhan ini tersirat sangat pedendam dan gemar membalas umatnya yang sesat dengan berbagai bencana.
Kitab-kitab suci mereka disebut Taurat, Zabur dan Injil (Perjanjian lama) adalah ajaran weda dan wedanta yang bukan saja mirip bahkan dalam berbagai versi adalah foto-copy ajaran dan kebiasaan / legenda kaum dharma. Manu dikenal dengan Nuh, Soleman adalah Vikramajit, Genesis adalah Vedanta dan sebagainya. Terus ke Kristus yang pernah mendalami dharma di India, dan John sang pembabtis yang mewisudi Kristus mirip kaum suci di Sungai Gangga, menunjukkan bahwa telah masuk pengaruh Waishnawa, Buddhisme dan Shiwais ke ajaran-ajaran Kristus (sebenarnya ada 50 injil, namun yang hadir sekarang hanya 3 saja).
Lahirnya Islam merupakan evolosi budaya, kultur dan kemajuan spritual di Timur-Tengah, merupakan sebuah akumulasi dari berbagai pengaruh tersebut di atas. Itulah mengapa sebabnya Kanjeng Nabi Besar Muhammad saw sangat menghormati Hindhu dan nabi-nabinya serta mendeklararasikan Ka’bah sebagai kiblatnya umat Muslimin sedunia sesuai dengan wahyu-wahyu yang beliau terima dari Allah swt. (konsep Hindhunya Durga).
Para pengarang buku Hindhuisme,’’ The greatest religion in the world’’ menyatakan bahwa agama-agama di Timur-Tengah adalah penyelewengan ajaran weda. Saya pribadi tidak setuju dengan istilah yang terkesan agak kasar tesebut. Bagi saya pribadi yang telah meneliti berbagai agama selama puluhan tahun melihat ‘’penyelewengan ‘’ ini sebagai improvisasi alami dari weda-weda sesuai dengan evolusi yang dijalaninya di berbagai belahan bumi . Weda adalah pohon dan akar utama, agama-agama lain yang lahir dari-Nya adalah cabang-cabangnya, dan dari cabang-cabang ini lahir berbagai ranting (Shakta, sekte,aliran dan lain-lain). Jadi kalau weda-weda sudah menyebar ke 6 milyar manusia dewasa ini, tentu saja nada-nada, rupa, dan bentukpun telah berimprovisasi secara alami.
Semua ini adalah kehendak-Nya semata, kaum dharmais seharusnya tidak terpengaruh oleh pengotakkan–pengotakkan semacam itu namun harus berbangga karena weda telah menjadi sumber inspirasi , kultur dan sebagainya dari umat manusia sampai dewasa ini. Kebinnekaan adalah wujud-wujud ciptaan-Nya semata yang sudah menjadi kehendak-Nya jua. Kita harus menghormati hak absolut Hyang Maha Esa ini, karena hanya Beliau sendiri yang faham akan segala misteri dan lila Beliau.
Konon Stephen Knapp, salah satu penulis ‘’ Hindhu agama tersebar di dunia’’ pernah berkata bahwasanya yang hakikatnya adalah nama modern untuk filosofi weda, khususnya yang berwujud spiritual yang dihubungkan dengan Indra. Dan mereka-mereka yang mengikuti ajaran-ajaran dan kaidah weda disebut Arya. Arya bukanlah ras manusia tertinggi selama ini yang dikenal umat manusia namun sesungguhnya lebih mengarah sebuah pedoman standar hidup yang ideal(ideal way of life).
Seorang yang bijak, arif dan lurus perilakunya di dalam masyarakat disebut sebagai seorang Arya (gentleman), dalam pengertian Islam di sebut Insan-Kamil. Kata ar berarti putih atau jelas, dan kata ya mengacu ke Yadhu, Tuhan atau Krishna (Baghavatam,Illahi). Arya dapat disebut jalan pencerahan menuju ke arah Bhagavatam. Dan semua pemahaman duniawi maupun spritual ini dijabarkan melalui berbagai ajaran Weda yang kemudian menyebar ke seluruh Tanah Bharata dan melampaui batas-batas negara dan bahkan menyebar sampai ke dunia barat.
Sanatana Dharma resminya adalah Weda plus Hindhuisme, Jainisme, Buddhisme dan Sikhisme, dan sebagainya. Namun secara tidak kita sadari juga adalah ajaran agama-agama besar lainnya karena mereka semua telah terpengaruh bersumber pada Weda, Vedanta, Upanishad, dan sebagainya.

II. KARAKTER DAN BAGIAN-BAGIAN WEDA.
Karakter atau ciri-ciri utama dari berbagai weda adalah:
1.Anadi (tanpa pemula).
2.Apurusha(tanpa pengarang)
3.Sumber akar setiap ciptaan.

Namun lebih jauh dari itu semua, maka nada atau swara, kidung-kidung dan mantra Weda seandainya disuarakan akan mengaktifkan sistem-sistem syaraf halus kita dan sekaligus mempengaruhi lingkungannya, yang berakibat temaram dan shantinya lingkungan, insan dan makhluk yang hadir di lingkungan ini, kondisi ini sangat universal sifatnyanya.
Tidak ada satu agama lain yang sedemikian peduli dengan kehidupan lain seperti ajaran-ajaran Weda (Dharma). Bunda Weda bersabda: “Bukan hanya mahluk yang berkaki dua yang harus sentosa, namun juga mereka-mereka yang berkaki empat, semak belukar, pepohonan, gunung, sungai……….dan seluruh ciptaan-ciptaan ini.”
Teks-teks Weda sarat dengan berbagai makna yang tidak terbatas sifat dan pemahamannya. Sloka-sloka Weda disusun secara puitis dan indah. Weda berisikan kaidah kehidupan yang selaras bagi umat manusia secara menyeluruh, bagi seisi semesta yang tanpa batas ini. Ajaran – ajaran ini tersusun secara sistematis dalam berbagai jalur sosial, filosofi, pengetahuan, sains, agama, ritual, kesehatan dan sebagainya.
Dari permulaan kelahiran sampai akhir hayatnya, manusia dharmais dituntun oleh berbagai ajaran Weda, agar si manusia ini mendapatkan keselamatan dan mencapai hakikat-Nya. Namun lebih dari itu kode etik sosial dan spritual Weda-Weda adalah sebenarnya anak-anak tangga yang menuju ke suatu strata Bhagavatham (Illahi) yang lebih Hakiki. Weda terdiri dari empat bagian yang amat penting: Rig – Yajur – Sama – Atharwa.

A. RIG WEDA SAMHITA
Terdiri dari stanza (sloka) yang pada awalnya disebut “Rik”, yang berati puji-puji. Setiap Rik adalah sebuah mantra yang merupakan pujaan bagi dewa-dewi masing-masing. Kumpulan dari berbagai Rik disebut Sukta.
Rig Weda Samhita memuat lebih dari 10.000 Riks (tepatnya 10.170 Riks). Keseluruhan Samhita dari 4 Weda tersebut di atas berjumlah 20.500 mantra. Rig Weda memuat 1028 Sukta yang terbagi dua kelompok yang terdiri dari 10 Mandala dan 8 Ashtaka. Dimulai dengan Sukta yang memuja Agni dan diakhiri dengan puja-puji ke Agni juga.
Diantara berbagai Weda ini Rig Weda secara menyeluruh memuja-muji para dewata. Namun dari permulaan (Upakarma) sampai ke akhir (Upasamhara) karya ini berbicara tentang Hyang Agni, jadi banyak pemuja kemudian menghubungkannya hal tersebut sebagai pemujaan api kepada Hyang Agni (Agni-Hotra). Padahal yang dimaksud sebenarnya adalah cahaya Bhagavatam (Jyotir,Tat Savitur) yang hadir di dalam kesadaran seorang manusia (Atma Chaitanyam).
Sukta terakhir Rig Weda ke Agni bersifat amat universal : “Semoga setiap insan berfikir dan bersatu dalam suatu pemikiran. Semoga semua hati bersatu dalam bentuk cinta kasih. Semoga tujuan semua manusia selaras hendaknya. Semoga semua makhluk berbahagia dalam suatu kesatuan itikad.” Demikianlah akhir dari Rig Weda yang agung ini.
Kaum bijak sangat menghormati Rig Weda karena sedemikian adiluhung dan sakral isi ajaran-ajarannya, yang kesemuanya ditujukan ke semesta dan segala isinya. Sebagai contoh : ritus pernikahan ditiru dari pernikahan (wiwaha) putri Hyang Surya, umat Khatholik sering mengutip ayat-ayat Weda yang ada di Injil tanpa mereka sadari sewaktu melakukan upacara pernikahan. Terdapat juga dialog-dialog sarat yang amat bernuansa spriritual tinggi antara Purorawas dan Urwasi. Resi Kalidasa gemar sekali menyitir bagian-bagian ini dalam ajaran-ajarannya.
Rig Weda dianggap sebagai yang tertinggi diantara weda-weda lainya, karena kandungan isi dan maknanya amat kaya raya. Darinya juga berasal jalan aksi (karma- yoga) yang tersirat dan terkandung di dalam Yajur Weda, darinya juga terkandung unsur-unsur musik yang terdapat dalam Sama Weda. Di setiap sakha terdapat tiga bagian yang disebut Samhita, Brahmana, dan Aranyaka, kesemuanya disebut Adhyayana. Kata Samhita berarti : “Sesuatu yang telah dikoleksi dan kemudian diatur secara sistematis”.Brahmana berbicara tentang nilai-nilai spiritual, ritual Aranyaka memuat berbagai hal selanjutnya.

B. YAJUR – WEDA
Kata yajur berasal dari kata yaj yang berarti memuja. Kata yajna berasal dari yaj yang bermakna puja-pengorbanan. Kata yajus berarti menerangkan prosedur ritualistik (Yajna). Dengan kata lain berbagai mantra di Rig Weda diwujudkan dalam bentuk puja, ritual, aksi dan sebagainya di dalam Yajur Weda. Kalau Rig Weda melantunkan dan menghaturkan berbagai mantram, konsep dan puja-puji, maka Yajur Weda mengaktualisasikan ritual-ritual tersebut.
Yajur Weda terbagi dalam dua sakha (cabang utama) seperti juga Weda-Weda yang lainnya. Kedua bagian ini adalah sukla Yajur Weda Samhita juga dikenal dengan nama Wijasaneyi Samhita. Kata Wijasaneyi berarti Surya . Konon Resi Yaajnawalkya telah membawa kembali Samhita ini ke dunia, setelah mempelajarinya kembali dari Hyang Surya, oleh karena itu Samhita ini disebut Wijasaneyi Samhita.
Ada sebuah kisah yang menarik yang berhubungan dengan Resi Yaajnawakya ini. Pada mulanya Resi Weda Wyasa membagi Weda ini menjadi empat bagian . Pada jaman tersebut Yajur Weda hanya terdiri dari satu bagian saja. Demikian yang diajarkan dan yang diturunkan Resi Wyasa kepada Resi Waisampayana. Resi Yaajnawalkya juga juga mempelajarinya demikian juga dari sang guru, Waisampayana. Namun pada suatu ketika terjadi kesalah-pahaman sang guru kepada muridnya. Dan sang guru memerintahkan Yaajnawalkya untuk mengembalikan semua ajarannya, karena sang guru sudah tidak berkenan lagi kepada sang murid. Yaajnamalkya setuju akan usul sang guru, kemudian ia memuja kepada Hyang Surya. Dan Hyang Surya berkenan mengangkatnya sebagai murid. Kemudian lahirlah tafsir baru sebagai ajaran Hyang Surya kepada Yaajnawalkya.
Itulah sebabnya kenapa karya ini disebut sebagai Wijasamemi atau Sukla Yajur Weda. Ajaran ini disebut Sukla (putih), sedangkan ajaran Resi Waisampayana disebut hitam (Krishna Yajur Weda). Kedua-duanya lalu menjadi Yajur Weda Samhita. Krishna Yajur Weda terbagi dalam bagian tang disebut Samhita dan Brahmana.
Intisari dari Yajur Weda adalah nilai-nilai baik dari berbagai Karma-Wedik (ritual dan pahala-pahalanya) Taittariya Samhita yang terdapat di Krishna Yajur Weda menerangkan berbagai prosedur secara mendetail Contoh-contoh ritual Yajna seperti Darsa Purnawarsa, Somayasa, Wajapeya, Rajasuya, Asmaweda dan sebagainya.
Kemudian ada mantra-mantra yang tidak tedapat dalam Rig Weda, contohnya Sri Rudram. Pada jaman ini di India, Kaum Hindhu lebih banyak berpedoman pada Yajur Weda. Walaupun demikian ajaran Sukla Yajur Weda sangat dominan di India Selatan. Yajur Weda juga memuat lebih banyak lagi hal mengenai Purusha Sukta yang hadir di Rig Weda.
Yajur Weda sangat penting bagi kaum Adwaitin (penganut filosofi non- dualisme). Taittariya Upanishad terwujd di Krishna Yajur Weda, Brahadaranya Upanishad terwujud di Sukla Yajur Weda. Kedua karya tersebut bersifat mahakarya dari kaum Adwaita (baca berbagai karya Upanishad yang hadir di web-site kami : shantigriya.tripod.com (tanpa www) atau melalui www.tripod.com

C. SAMA WEDA
Kata sama berarti:”Pembawa shanti ke jalan pikiran”. Kata lainnya: “membahagiakan dan mendamaikan jalan pikiran”. Ada empat cara untuk berperang melawan musuh yaitu: Sama, dana, bheda, danda. Sama berarti mengalahkan musuh dengan melalui media wacana dan cinta kasih.
Berbagai Riks di Rig Weda berubah menjadi melodi-melodi pujian di Sama Weda, mantra-mantranya tetap namun melodi-melodinya menjadi lebih lengkap (Sama Gana). Sama Gana adalah dasar dan sumber tujuh nada swara dalm sistem musik India. Dalam Bhagavat Gita Sri Krishna bersabda:” Diantara berbagai Weda, Akulah Sama Weda”. Demikian pentingnya Weda yang satu ini diantara weda-weda yang lainnya.

D. ATHARWA WEDA
Atharwa berarti seorang yang suci, konon memang ada seorang yang bernama Atharwan yang menjabarkan Atharwa Weda ini ke dunia luas. Di Weda yang satu ini menghadirkan berbagai mantram yang dirancang untuk menolak bala, iblis dan menghancurkan para musuh. Di sini terdapat juga berbagai mantra bagi para dewata, kesemuanya ini tidak hadir di berbagai weda lainnya.
Terdapat juga hymn-hymn yang menggambarkan ketakjuban akan alam semesta dan berbagai ciptaan–Nya. Bagian ini disebut “Prithwi Suktam”. Hyang Brahma adalah kebanggaan Weda ini. Tiga Upanishad utama yang terwujud dari Weda ini adalah: Prasna, Mundaka, dan Mandukya Upanishad, yang terakhir berarti jalan moksha seorang pencari kebenaran sejati.
Mantra Gayatri yang paling agung dan suci, yang merupakan pemujaan pertama di dunia kepada Tuhan Yang Serba Maha berasal dari intisari yang hadir di Rig-Yajur-Weda-Sama Weda. Atharwa Weda hadir dengan sebuah mantra lainnya. Mantra ini disebut Atharwa Gayatri. Untuk mempelajari diperlukan inisiasi khusus dengan benang suci (Upanayanam) yang disertai dengan ajaran yang disebut Brahmopadesa. Baru kemudian ajaran ini diturunkan oleh sang guru kepada sang murid.
Di India Utara kaum terpelajar dalam bidang Atharwa Weda ini jumlahnya sangat sedikit, padahal di masa-masa yang lalu tempat ini adalah lumbung ajaran ini. Sedang di India Selatan kaum Athar Wedin tidak murni kwalitasnya. Dan hanya sedikit kaum terpelajar Atharwa Weda yang ada di Gujarat, Sawashtra dan Nepal.
Keempat weda-weda ini terkesan berbeda satu dengan yang lainnya. Weda pertama dan kedua berjarak 4000 tahun, 1000 tahun kemudian lahir weda yang ketiga, dan empat ratus tahun selanjutnya hadir weda yang keempat. Namun esensinya ternyata satu dan sama yaitu kelestarian dan kesentosaan mahluk dijagat raya ini dan menuntun setiap insan ke jalan spritual yang utama.
Uniknya tak satupun weda-weda ini yang menyatakan dirinya sebagai “satu-satunya jalan pencerahan ataupun satu-satunya jalan Tuhan “ seperti yang diklaim agama-agama lain. Sebaliknya semua Weda in menyatakan, setiap jalan atau medium (dewata, malaikat, dan sebagainya) adalah wahana atau jalan ke hakikat yang benar.

Makna Saraswati dalam kehidupan di kali yuga

Menurut ajaran Shastra widhi Hindu Dharma, maka yang disebut Dewi Saraswati adalah shakti (pasangan wanita) dari Sang Pencipta Hyang Brahma. Pada permulaan lahirnya Hindhu Dharma, maka konsep kuno yang berada di Tibet, Nepal, China dan India kuno telah mengenal Sang Dewi sebagai bundanya alam semesta ini. Beliau juga dikenal dengan berbagai nama seperti Aralokiteswara, Kwan-Im,dsb didaerah-daerah tersebut diatas. Mata sipit,tubuh langsing,dan kulit pucat putih konon oleh para ahli dikatakan sebagai asal usul Sang Dewi Saraswati ini pada konsep mula beliau di kawasan Himalaya yang berpenduduk berkulit putih pucat ibarat salju dan bermata sipit.

Konon Hyang Brahma sebagai Pencipta isi jagat raya ini pada awal kehidupan dan penciptaan sangat gelisah karena asal mencipta saja tanpa sentuhan keindahan sama sekali, maka Dewi Saraswatilah yang kemudian mendapatkan tugas memperindah semua ciptaan-ciptaan di semesta raya ini. Bayangkan Sang Bunda Jagat Raya ini selain melahirkan berbagai ciptaan juga harus memoles,mengajarkan dan memperindah bentuk-bentuk ciptaanNya. Sehingga tidak mengherankan kalau beliau dianggap Tuhannya kaum Brahmanas di masa lalu. Konsep Tuhan sebagai wanita juga hadir di Hindu, India,dan Islam pada awal-awalnya. Kita telaah didalam An-Husna berisikan sekitar 70% unsur feminine dlm sebutan-sebutanNya (Baca: Dari Dharma ke Agama).

Kembali ke Bunda Saraswati, maka di Rig-Weda, kata Saraswati berarti “Yang mengalir”,beliau diibaratkan sebuah sungai suci yang senantiasa mengalir tanpa henti, menyuburkan setiap lahan yang beliau lalui, membersihkan kekotoran-kekotoran yang dibuang manusia, memberkahi setiap kandungan wanita,juga menjaga kearifan, bakti dan kesucian para pemuja-pemujaNya. Didalam Hindu Dharma beliau juga disebut Sarada (Sang Pemberi Makna), Wagiswari (Sang Guru yang mengajarkan tutur bahasa, grammar dan etika), Brahmi (Shakti Hyang Brahma), Mahawidya (Ilmu yang maha tinggi), dan berbagai sebutan lainnya (1008 sebutan). Bunda Saraswati adalah personafikasi dari semua bentuk ilmu yang melahirkan seni, budaya, kultur, peradaban,, sains dan teknologi. Semua seniman, pengukir, pematung,penari, ilmu-wan, agamawan, pelajar, guru dst di India memujaNya secara khusus pada hari raya Saraswati juga di Bali, Jawa dsb.

Kalau di India para pemahat, pengukir, seniman dsb ini berwarna brahmana karena berada dibawah naungan Saraswati, maka tidak demikian halnya di Bali, saya menemukan banyak seniman dari berbagai bidang seni rupa ini masih berkasta sudra. Tentu saja pemahaman yang salah ini melecehkan kaidah dari pemujaan ke Saraswati Sang Bunda Brahmi itu sendiri. Sepertinya “ada yang salah” di Bali ini, disatu sisi Saraswati amat diagung-agungkan, tetapi disisi lain para seniman yang berada dibawah warna bunda agung ini malah disudrakan. Sebagian dari para guru dan seniman ini “diperas dan di eksploitasi” demi keuntungan komersil para-wisata oleh “sebagian wangsa Bali yang serakah!”, padahal seharusnya dihormati sekali.

Kulit putihnya Sang Dewi ini bermakna dasar ilmu pengetahuan yang bertujuan putih atau positif dan bertujuan luhur dan suci. Sebaliknya awidya dilambangkan dengan warna hitam (kegelapan). Namun banyak kaum suci di India dan Jawa kerap berbaju hitam, agar menandakan bahwasanya dia adalah seseorang yang bodoh dan belum mampu berbaju putih (seperti halnya seorang Pandita). Sang Dewi dilambangkan duduk bersinggasana diatas bunga teratai, dengan berwahanakan seekor angsa, dengan keempat tangannya, beliau masing-masing memegang Vina (suling), Akshamala (tasbih), Pustaka (buku,kitab,karya shastra dan agama,sains,dst).

Tangan yang satunya ikut bermain Vina, atau sering juga digambarkan sedang bermudra dalam bentuk memberkahi ciptaan-ciptaanNya. Beliau juga sering dilukiskan dengan memegang Pasa (kwas), Ankusa (alat penyuntik), teratai (Padma), Trisula Sankha (alat tiup yang terbuat dari logam), cakra, kecapi, dsb. Kadang-kadang beliau digambarkan berwajah lima dan bertangan delapan, bermata tiga dan berleher biru. Dalam wujud ini beliau disebut Maha Saraswati, yang penuh kedigjayaan unsur inti utama Dewi Durga (Parwati). Beliau juga salah satu dari Maha Gayatri. Angsa tunggangan beliau disebut Hamsa, tetapi ada juga yang menggantikannya dengan seekor burung merak sesuai dengan kewajiban dan posisi beliau pada saat-saat tertentu.

Makna kitab yang dipegangnya adalah semua bentuk ilmu pengetahuan ; Vina melambangkan seni budaya dan sabda nada AUM, tasbih di tangan kanan bermakna rangkuman dari berbagai agama, dan ajaran-ajaran Ketuhanan dan ilmu-ilmu sains, yang seyogyanya dihayati secara penting dan penuh bakti bagi sesama mahluk, atau akan sia-sia saja penghayatan dan pelaksanaannya.

Sering hadir warna merah dalam lukisan Saraswati, yang berarti awidya yang menyesatkan. Angsa sendiri dapat memfilter air keruh dan memisahkannya dari kotoran-kotoran yang melekat pada air tersebut melalui paruhnya. Maknanya pemisahan antara widya dan awidya. Namun harus difahami juga bahwasanya widya dan awidya (Parawidya-iluminasi spiritual) dapat juga mengarahkan kita ke moksha. Seperti yang diutarakan Isawasya – Upanishad “Kita melampaui kelaparan dan dahaga melalui awidya, kemudian meniti melalui widya kearah moksha”. Konon demi penjabaran ajaran ini maka Bunda Saraswati memilih angsa dan merak sebagai wahana penyampaian pesan-pesannya, Kalau disimak dengan nurani yang sadar maka sadarlah umat Hindu akan inti makna ajaran adi – luhung yang menjabarkan betapa luas aspek Tuhan Yang Maha Esa dengan segala karya-karyaNya yang menakjubkan.

Kalau di Hindu (Bali) terdapat satu hari khusus Pemujaan Saraswati , maka di India semenjak masa lalu terdapat 2 hari khusus puja bagi bunda Saraswati. Yang pertama Saraswati Ashtmi dan yang kedua disebut Dipawali (Festival Cahaya). Pada puja yang pertama, maka Pemujaan ke Saraswati diselenggarakan khusus di kuil-kuil Saraswati (tidak begitu banyak), di Universitas-Universitas, sekolah-sekolah dan berbagai lembaga pendidikan dan sejenisnya, di departemen pendidikan, dan di pusat-pusat seni budaya. Pada hari ini semua guru dan siswa sekolah, seniman dan seniwati, dari berbagai bidang seni – budaya dan kaum cendekiawan dari berbagai cabang ilmu dan sains, plus kaum agamawan merayakannya secara khusyuk sambil memohon berkahNya agar pendidikan seseorang dan bangsa tetap jaya dan lestari. Berbagai upacara , upawasa (puasa) dan pertunjukan berlangsung selama beberapa hari.

Kemudian pada hari Dipawali yang adalah tahun baru kaum Hindu India, Saraswati disandingkan disebelah kanan Sri Lakshmi (Dewi Sri dan Kemakmuran), dan Sri Ganeshya di sisi kiri Sri Lakshmi. Maksudnya agar kekayaan, pamor dan kedudukan plus kejayaan seseorang seharusnya didampingi oleh Saraswati (unsur-unsur etika,seni,keindahan,kultur dan budaya yang beradab) dan oleh Ganeshya (unsur-unsur pengetahuan spiritual dan duniawi yang berimbang). Tanpa ketiga unsur vital ini yaitu: Lakshmi (Kama), Saraswati (Dharma), dan Ganeshya (Karma) maka moksha yang diidam-idamkan seseorang tidak akan pernah tercapai baik di dunia ini maupun di dunia sana. Inilah makna inti Saraswati di Kali yuga yang penuh dengan tebar pesona dan pamer kekuasaan, kasta, kedudukan, kekayaan, dsb. Tanpa keseimbangan maka Tuhan dan berbagai agama (Jalan-jalan kearahNya) akan kehilangan maknanya yang sejati, Begitupun ekonomi, politik, pendidikan, akan salah kaprah.

Ketiga unsur Trimurti Kali Yuga ini (Saraswati- Lakshmi- Ganeshya) tidak dipuja secara bersamaan di Indonesia pada era ini, mungkin bhissama-bhissama tentang pemujaan Dipawali tidak pernah sampai ke Nusantara pada masa-masa yang lalu. Namun umat Hindu India yang berdomisili di Indonesia dan dimanapun, selalu merayakan Dipawali ini dengan khusyuk.

Semoga hikmah dari makna Bunda Saraswati dan unsur-unsur dewata lain dapat mengajarkan umat Hindu Dharma di Nusantara untuk lebih menghayati keagungan Tuhan yang kuasa melalui berbagai ciptaan-ciptaanNya di jagat raya ini.

Om Sri Ganeshya Namaha,
Om Sri Lakshmi Namaha,
Om Sri Saraswati Namaha,
Om Sri Parambrahman Namaha,
Om Shanti-Shanti-Shanti Om

mohan m.s di Shanti Griya Ganeshya Pooja Cisarua, 27 Mei 2008.
Diedit oleh : antonina uvi.