Arsip Kategori: Agama

Agama agama dari masa ke masa

AGAMA-AGAMA DARI MASA KE MASA

“Yada-yada hi dharmasya glanir bhawati bharata abhutthanam adharmasya tadatmanam Srjamaham”

“Wahai putra keluarga Bharata, ketahuilah bahwasanya pada saat-saat pelaksanaan dharma merosot ke titik paling rendah, dan adharma merajalela, Akupun menjelma ke dunia ini secara pribadi.”
-Bhagawat-Gita-

Raditya, edisi 103, Feb. 2006, hal. 16 menghadirkan sebuah artikel yang ditulis oleh Sdr. I Made Wardana seperti cuplikan berikut ini :
“Dari sloka di atas menunjukkan bahwa Personalitas Tuhan (Personal God) akan langsung turun dari dunia rohani yang kekal (Goloka Vrindawa) atau akan mengirimkan utusan-utusan Bhagawatam (Ilahi) yang diberikan amanat untuk menuntaskan masalah dharma-adharma di bumi-loka ini. Turunnya Sang Personalitas Tuhan itu sendiri disebut Awatara (Rama, Krishna, Buddha, dsb). Para Awatara ini terbagi dalam berbagai kategori seperti Purusha, Lila, Guna, Yuga, Mahawatar, dan Shaktywesa Awatara. Kesemua awatara ini ternyata telah diprediksi kehadirannya secara terperinci di dalam pustaka-pustaka Hindu Dharma kuna seperti Bhagawata-Purana dan Bhawisya-Purana. Berbagai prediksi yang ditulis ribuan tahun yang lalu ternyata kemudian menjadi kenyataan-kenyataan yang menakjubkan pada masa-masa berikutnya. Konon selain Yang Maha Esa hadir juga “Roh-Roh” yang Beliau utus demi tujuan penegakan dharma-dharma itu sendiri dari masa ke masa, dari lokasi ke lokasi sesuai dengan kehendak Yang Maha Esa itu sendiri. Para utusan Ilahi ini mendapatkan “mandat spiritual” penuh disamping itu, merekapun memiliki kesaktian-kesaktian tertentu (disebut Saktywesa)”. Contohnya Srila Wyasadewa, Buddha, Isa (Yesus), Nabi Muhammad S.A.W., Sri Chaitanyamahaprabhu, Shankaracharya, Guru Nanak, Kabir, dst. yang kesemuanya berhasil merubah tatanan adharma kembali ke jalan dharma yang lurus dan lempang (bahasa Timur-Tengah disebut Islam).
Contoh, kehadiran Sri Buddha Gautama dinyatakan :
“Tatah kalau sampravritte sammohaya suradvistham buddo namnanjana-sutah kikateshu bhavishyati” (artinya : Pada zaman Kali, Sang Buddha akan lahir sebagai putra dewi Anjana di Gaya, dst. dst…. Srimad Bhagawatam 1. 3. 24).
Kemudian dalam Bhavisya-Purana (sejarah masa datang), sloka III. 2. 23 disebutkan “….ko bhavaanithi tham praha sahovaacha mudanwitha eshaputram cha maam vidhi kumari garbha sambhavam aham eesa (Isa) masiha nama” (Aku akan lahir sebagai Isa Mahesa (Isa Almasih), Esa putra dari Tuhan dan ibu yang masih perawan, dst. dst”. Setelah tiga ribu tahun berlalu ternyata benar lahir seorang Nabi agung yang disebut Isa (Yeshua Yesus) sebagai putra Tuhan yang lahir dari bunda Maria yang masih perawan. Di dalam Purana yang sama ini juga, di sloka III. 3. 3 tertulis jelas “…. di daerah Meleccha (Timur-Tengah) akan hadir seorang Guru-Rohani (Nabi, Nabe). Kata Meleccha (atau Meccah) menunjuk ke suatu masyarakat di Timur-Tengah, yang pada era tersebut sedang mengalami peradaban adharma yang akut (jahiliyah), yaitu merosotnya moral dan akhlak kaum tersebut, yang jauh dari ajaran-ajaran Weda-weda. “Muhamada akan turun dan hadir dengan membawa panji-panji agama yang baru bagi masyarakat ini”. Kata Muhamada adalah kata Sansekerta untuk kata Muhammad atau Mohammed (muha = maha, mada = utusan Ilahi, nabi, rasul). Pada zaman Kali, sekitar 500 tahun yang lalu (kira-kira tahun 1489), awatara Tuhan kembali ke alam mayapada ini sebagai seorang brahmana muda seperti yang diyakini oleh kaum Waisnawa, yaitu Sri Caitanya Mahaprabu, persis seperti yang diprediksikan di dalam Garuda-Purana : “Kalina dakya manawan paritranaya tanubhrtam janma prathama Sandhyam karisyami dwijatisu”. (Pada awal Kali-Yuga, Aku akan datang sebagai seorang brahmana yang akan menyelamatkan para jiwa-jiwa yang jatuh sebagai akibat buruk zaman Kali). Masih di dalam Purana ini, disebutkan : “Aku akan lahir sebagai putra Sachi di daerah Navadvipa-Mayapur”.
Berbagai purana-purana tersebut konon diyakini oleh umat dharma sebagai ajaran-ajaran dan tulisan-tulisan Sri Wyasa-Dewa, yang telah mencapai moksha (kesempurnaan), yang amat menguasai kejadian-kejadian pada masa lalu, kini dan masa-masa yang akan datang (trikala-Jna).
Bukan itu saja, namun kehadiran utusan agung dharma seperti Shankara-acharyapun telah diprediksi sebelumnya, termasuk kehadiran Nabi Musa, Ratu Victoria (yang menjajah India), dsb. Lebih dari itu juga disebut-sebut akan bangkitnya teknologi dan sains di antara wangsa-wangsa kulit putih yang kemudian akan mengekspor kembali ilmu pengetahuan ini ke tanah Bharata dan ke seluruh dunia (Saat saya menulis ini, Presiden USA baru saja membuat kesepakatan dengan PM Manmohan Singh untuk mengembangkan teknologi nuklir). Konon agama masa depan akan lebih terfokus ke ilmu-pengetahuan dan pada saat yang sama berpijak ke ilmu pengetahuan spiritual juga. Tidak mengherankan kalau di Nusantara, semenjak lama Tuhan dikenal sebagai Sang Hyang Widhi-Wasa, yaitu Tuhan Yang Maha Tahu, Yang menjadi Sumber Ilmu-Pengetahuan. Demikianlah umat Hindu di dunia termasuk di Nusantara semenjak masa silam sudah dipersiapkan untuk masa depan yang akan penuh dengan ilmu-pengetahuan, sains dan teknologi. Toh masih banyak di antara kita yang belum sadar akan hakikat futuristik ini!.
Sementara kaum Hindu sibuk dengan upacara yang tidak-tidak dan ribut dengan sesama umat. Lalu ada sebagian umat Islam yang menyatakan semua agama tidak benar, kecuali Islam, padahal Al-Quran berwacana secara amat universal. Allah di Al-Quran bahkan bersabda seandainya Allah mau maka semua manusia dapat dijadikan Islam, namun Beliau lebih suka kebhinekaan agar manusia dapat saling berkenalan.
Ir. Made Amir, seorang dosen teknik di Universitas Udayana, Denpasar, Bali (Raditya 103/Feb. 2006) menyatakan hal tersebut seharusnya dikaitkan dengan konteks waktu, tempat dan situasi di tanah Arab pada saat itu. Ketika Nabi Muhammad S.A.W. sedang menyebarkan agama Islam maka pada era itu kemerosotan moral dan budaya sedang parah-parahnya, aneka kepercayaan yang tumbuh liar. Kepercayaan-kepercayaan itulah yang dimaksud dengan semua agama salah.
Penulis amat yakin dengan hasil penelitian Made Amir ini, karena bukankah Al-Quran sendiri mengakui ajaran-ajaran dan Nabi-Nabi sebelumnya seperti Isa, Musa, Daud, Ibrahim, dst. Lebih dari itu Nabi Muhammad S.A.W sendiri menganjurkan umatnya untuk mencari ilmu pengetahuan sampai ke negeri Cina. Dan bukankah Cina beragama Tao, Kong Hu Cu, Lao-Tse, dan Buddhisme pada era itu.
Berbagai wahyu-wahyu turun dari-Nya, dari masa-ke masa melalui penalaran yang identik dari satu orang ke orang yang lain, di manapun lokasinya. Jadi agak aneh kalau mengatakan bahwasanya Agama “A” berasal dari wahyu Tuhan, tetapi agama-agama lain berasal dari sesuatu yang lain. Untuk itu umat Dharma harus selalu berbesar hati kalau dihina, dicela sebagai penyembah berhala, atau kafir, dsb. Karena pada hakikatnya seluruh agama-agama di dunia bersumber dari-Nya juga, seperti yang dikukuhkan oleh Al-Quran dan Nabi Muhammad S.A.W itu sendiri.
Saya ingin mengaitkan tulisan Made Amir tersebut di atas dengan sebuah artikel di Newsweek, edisi 28 Juli 2003, yang membikin heboh pada saat itu. Artikel ini berjudul “Challenging The Qur’an”, yang menulis kajian Prof. Christoph Luxemberg, yang menyatakan bahwa teks asli Al-Qur’an tidak berbahasa Arab, melainkan berbahasa Aramaik. Ia juga mengatakan Nabi Muhammad S.A.W datang ke bumi ini untuk bersaksi atas kebenaran ajaran Yahudi dan Kristen, baca majalah Gatra, No. 17. tahun IX, Agustus 2003) yang berjudul “Menggugat Kearaban Quran”, halaman 34 :
“Artikel yang ditulis Stefan Theil itu melansir pendapat pengkaji Al-Quran asal Jerman bernama samaran Christoph Luxemberg. Ia disebutkan sebagai professor bahasa Semit di sebuah Universitas Jerman yang terkemuka. Luxemberg digambarkan sebagai salah seorang dari kelompok ilmuwan di berbagai negara non-muslim yang sedang gandrung mempelajari bahasa dan sejarah Al-Qur’an.
Luxemberg berpendapat bahwa versi Al-Qur’an yang ada saat ini salah salin (miss-transcribed) dan berbeda dengan teks aslinya, teks asli Al-Qur’an dikatakan lebih mirip dengan bahasa Aramaik ketimbang Arab. Naskah asli itu telah dimusnahkan Khalifah ketiga, Usman-bin-Affan”.
“Konsekuensi dari tesis itu, beberapa teks Arab, Al-Qur’an yang dalam versi Aramik dikatakan memiliki makna lain. Misalnya ungkapan Al-Qur’an versi Arab bahwa Muhammad adalah “penutup para nabi”, dalam versi Aramaik menjadi “saksi para nabi”. Artinya saksi atas kebenaran teks Yahudi-Kristen.
Dalam versi Arab, Al-Quran dijelaskan sebagai “Wahyu Allah”. Sedangkan dalam versi Aramaik menjadi “ajaran” dari Injil kuno. Dus, kata Luxemberg, Al-Qur’an asalnya adalah dokumen liturgi Kristen yang kemudian oleh ekspansi imperium Arab diubah menjadi sumber ajaran Islam.
Perintah menjulurkan jilbab pada edisi Arab, dijelaskan menjadi perintah melingkarkan sabuk di punggung pada edisi Aramaik”.
(Tulisan tersebut di atas telah digugat oleh para ahli agama Islam baik di Indonesia maupun di luar negeri, dengan berbagai alasan-alasan sebagai hal yang mendeskritkan agama Islam !).
Gatra selanjutnya menulis di hal. 36 : “Taufik melihat Luxemberg hanya berupaya membaca Al-Qur’an dengan bahasa Syria-Aramaik, biasa disingkat Syirak. Dalam bukunya, Luxemberg menjelaskan, Syirak adalah salah satu dialek dalam bahasa Aramaik yang digunakan penduduk Edessa, sebuah negara-kota di Mesopotamia-atas”.
“Pada masa Nabi Muhammad, Arab belum menjadi bahasa tulis. Fungsi itu diperankan Syirak, sebagai alat komunikasi tulis di kawasan Timur. Dekat sejak abad kedua sampai ke tujuh Masehi. Ketika Edessa menjadi entitas politik, Syirak berfungsi sebagai medium penyebaran Kristianitas menembus Asia, Malabar dan Cina Timur. Syirak kemudian tergantikan oleh bahasa Arab pada abad ke tujuh sampai kesembilan”.
Selanjutnya Gatra menambahkan : “Bahasa Al-Qur’an juga menyerap bahasa, selain Aramaik, ada Yunani, Persia, atau Ibrani”. Namun seorang doktor ilmu Al-Qur’an lulusan Mcgill University, Canada, Yusuf Rahman, menilai upaya Luxemberg itu sebagai karya ilmiah, karena kajian ini didasarkan pada penemuan manuskrip di San’a, Yaman. Seorang pekerja yang sedang merenovasi masjid di San’a menemukan manuskrip Al-Qur’an pra Usman. Namun Yusuf tidak sepakat dengan kesimpulan bahasa asli Al-Qur’an adalah Aramaik”.
Gatra menambahkan, adanya dua peneliti asing lainnya yaitu Geiger dan Rudolf yang memaparkan banyak istilah Al-Qur’an yang dinilai berasal dari Bible (Injil). Sehingga Al-Qur’an dipandang sebagai hanya duplikat dari Bible. Rudolf menyebut 26 istilah Al-Qur’an berasal dari tradisi Yahudi dan 29 dari Kristen.
Gatra, hal. 43, aksara para pedagang.
Pada era itu, bangsa Arab yang dijuluki jahiliyah, semula dianggap buta aksara dan bodoh. Tetapi bukti-bukti arkeologis justru menunjukkan sebaliknya. Seperti yang tertulis dalam buku Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an karya Taufik Adnan Amal; ditemukan sejumlah prasasti dalam bahasa Arab Selatan. Bukti-bukti ini tertanggal jauh sebelum Kristen. Meski di Mekkah, tempat kelahiran Nabi Muhammad S.A.W belum ditemukan prasasti serupa, daerah itu telah lama menjadi tempat perniagaan (Internasional, antar-bangsa) dalam hubungan perdagangan, maka tradisi tulis-menulis sangat dipentingkan.
Berdasarkan penelitian sarjana Barat, maka tulisan Arab berasal dari tulisan Kursif Nabthi yang ditransformasikan ke dalam tulisan Arab pada abad keempat Masehi. Proses ini kemungkinan berlangsung di Madyan atau di kerajaan Gassamid, dan tersebar hingga ke Suriah Utara. Di kalangan sejarahwan Arab, tulisan Arab lebih populer yang berasal dari Hirah, sebuah kota dekat Babilonia, dan Anbar di Eufrat, barat laut Baghdad.
Kala itu ada dua jenis tulisan Arab, pertama, Khat Kufi yang menunjuk ke kota Kufah, tempat yang disempurnakannya kaidah-kaidah penulisan Arab. Bentuk kedua, Khat Naskhi yang bersumber pada bentuk tulisan Nabthi yang dipakai untuk surat-menyurat. Penulisan Al-Quran pada periode awal biasa memakai Khat Kufi. Bentuk hurufnya masih sederhana, tanpa titik dan harakah.
Kesimpulan Luxemberg di atas tentu saja sulit diterima oleh umat Islam, sebabnya Al-Quran disebutkan dalam bahasa wahyu dan yang digunakan adalah hisamul-Arab. Ini identik dengan bahasa syair pra-Islam yang difahami seluruh suku di Jazirah Arab (Gatra hal. 42). Dalam perkembangannya bahasa Arab mengalami penyerapan dari bahasa Ibrani, Persia dan Aramaik. Menurut Abu Bakar al-Wasiti, seorang sufi terkemuka di Iran, dalam bahasa Al-Qur’an terdapat 50 dialek Arab. Namun keragaman ini sudah hampir punah. Sebab telah diseragamkan oleh Khalifah bin Affan pada 30 Hijriah. Waktu itu untuk menghindari pertentangan di antara umat Islam (karena hadirnya berbagai versi Al-Quran), maka Usman menetapkan bacaan Al-Qur’an merujuk pada suatu dialek Quraisy yang dipakai Nabi Muhammad. Jika hal tersebut tidak diatasi oleh Usman, maka bisa menyulut perpecahan (masih berlangsung sampai kini di Timur-Tengah dan negara-negara lain yang menganut faham Islam yang berbeda-beda). Komisi yang dibentuk Khalifah Usman menyimpulkan semua ayat Al Quran yang dimiliki para Wali, perbedaan bacaan kemudian diseragamkan menjadi satu mushaf, yang kemudian dikenal sebagai mushaf Usmani. Mushaf lain seperti yang dimiliki Ali bin Abi Thalib dan Hafsan, putri Umar bin Khatab yang juga adalah janda Rasullulah, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Kaab, dan Abu Musa As’ari dimusnahkan. Naskah Al-Quran ini diperkirakan berjumlah 23 mushaf. Menurut para ahli, Al-Quran mushaf Usman mengandung banyak kekurangan, menghapus keragaman dialek dan bacaan. Jadi perlu disusun edisi kritis.
Sebelumnya pada masa Khalifah pertama Abu Bakar Siddiq, usaha pengumpulan Al-Quran sudah dilakukan namun tugas ini belum tuntas sampai berakhirnya masa kepemimpinan Abu Bakar sekitar 15 bulan. Pekerjaan itu berlanjut hingga Khalifah berikutnya, Umar bin Khattab dan Usman bin Affan. Tetapi hasil kodifikasi resmi Zaid ini, menurut Taufik Adnan Amal terbukti tidak berpengaruh luas. Masyarakat Muslim lebih mengakui mushaf lainnya. Contoh, mushaf Ubay bin Ka’ab punya pengaruh kuat di Suriah, mushaf Ibnu Mas’uf mendominasi Kufah, dan mushaf Abu Musa Asyari lebih diakui di Basra. Isi mushaf ini agak berbeda dengan mushaf Usmani, baik jumlah surat maupun ayatnya. Semula, pemusnahan mushaf non-Usmani ditolak keras. Namun demi persatuan umat, akhirnya diputuskan tidak ditentang. Hingga abad ke 10, salinan mushaf ini masih beredar. Ada pula yang masih bertahan sampai saat ini, antara lain mushaf Ali bin Abi Thalib.
Kumpulan ayat menantu Rasul ini berdasarkan kronologi turunnya wahyu. Hingga saat ini, menurut Hussein Shahab, tersimpan rapi hampir di semua perpustakaan besar di Iran, di antaranya di Perpustakaan Mar’asyi di Qum, dan di Perpustakaan Imam Redho, Marshad. Tapi kaum Syiah tidak memakai mushaf ini, mereka tetap menggunakan mushaf Usmani.
Ali bin Abi Thalib termasuk jajaran para penulis wahyu terkemuka. Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, jika Nabi menerima wahyu, maka ia memanggil mereka untuk menuliskannya, kemudian beliau berkata “Letakkan ayat ini dalam surat yang menyebutkan begini atau begitu”. Penulisan wahyu saat itu masih berserakan. Antara lain ditulis di atas daun lontar, pelepah kurma, kulit dan tulang.
Di Indonesia beberapa pemikir muda Islam seperti Ulil Abshar-Abdalla dan Taufik Adnan Amal, yang tergabung dalam jaringan Islam Liberal, memandang perlu adanya edisi kritis Al-Quran. Alasannya, teks dan bacaan yang saat ini dipakai adalah hasil pikiran para imam. “Kenapa kita tak berusaha menyempurnakannya ?”, kata Taufik. Sebab penulisan teks Al-Quran mengandung ketidak-konsistenan. Selain itu, tulisan Al-Quran saat ini bisa dipersoalkan dari aspek linguistik dan kaidah bahasa Arab. Malah, bacaannya masih menampakkan bias gender dan tidak sejalan dengan nalar rasional (contohnya perbudakan, dsb.). Tapi menurut ahli lain seperti Hussein Shahab, kalangan ulama kebanyakan tidak mau menggugatnya karena “merupakan bagian dari ibadah”, katanya.
Nasarudin Umar, Guru Besar Ilmu Tafsir UIN, Jakarta di Gatra, hal. 44, berkata, “Dengan pendekatan seperti di atas, sulit membayangkan adanya kata sepakat untuk keutuhan dan orisinalitas sebuah teks, apalagi kalau teks itu sudah lebih dari satu milenium umurnya, sebagaimana Al-Quran”.
Pada era itu, istri Nabi, Hafsan membutuhkan ruang sebesar gudang untuk koleksi manuskrip-manuskripnya. Saat ini Al-Quran dapat disimpan di dalam USB sekecil anak jari tangan. Para sahabat Nabi Muhammad saat itu, juga memiliki berbagai catatan dalam berbagai dialek di jazirah tersebut. Seperti halnya di India, maka kultur Arab pada era itu terkenal kuat dengan kultur hafalan-hafalan secara turun-temurun. Namun akibatnya jadi simpang-siur kala akan dikolektifkan, misalnya manuskrip Ibnu Mas’ud – yang terkenal sebagai penulis wahyu – tidak mencantumkan tiga surah terakhir (S. Al-Ikhas, S. Al-Falaq, dan S. Al-Nas). Jadi Goedziker pun menolak ketiga surah tersebut sebagai bagian dari Al-Quran.
Akibatnya, terjadi perdebatan sampai saat ini di kalangan para ulama, peneliti dan cendekiawan Islam maupun dunia. Apalagi orisinalitas itu diukur ketika Al-Quran masih berstatus “Kalam al-dzati” (Ideas of God), bebas dari simbol, atribut, kebahasaan dsb. Atau diukur ketika Al-Quran sudah berstatus “kalam al-lafdhi”, yang diwahyukan ke langit bumi, ditujukan kepada Nabi Muhammad melalui perantaraan Jibril.
Selanjutnya tidak ada masalah dalam “kalam-al-dzati”, tetapi kalau al-lafdhi menghadirkan berbagai perbedaan dan argumentasi, dengan hadirnya tujuh model huruf, dsb. dsb. Kembali ke bahasa asli Al-Quran, Nasarudin Umar, menambahkan “bahasa asli Al-Quran bukan bahasa Arab, tetapi “something like Aramaic”, jadi tidak seharusnya dan sejelas dengan persepsi kita sekarang tentang bahasa Arab. Bahkan pada era tersebut, bangsa dan wilayah Arab itu belum jelas, apalagi mengacu pada geografis, kultur atau bahasa”.
Atas dasar ini, dapat dijelaskan bahwa 150 tahun setelah Nabi Muhammad wafat, baru bahasa Arab menjadi bahasa tulisan (a written language). Demikianlah keunikan penyusunan Al-Quran, yang mirip penyusunan berbagai ajaran-ajaran di India, Israel dan bagian lain di Timur-Tengah. Dari bahasa hafalan ke bahasa tertulis. Nah, pada saat ditulis ini bisa saja terjadi “korupsi” atau penyimpangan yaitu dilebihkan atau dikurangi atau diubah teksnya agar lebih sesuai dengan situasi era tersebut. Hal ini sudah dilakukan oleh para brahmana di India pada masa-masa yang silam, hal yang sama telah terjadi di Injil, dsb. Itulah sebabnya di era ini terdapat ribuan sekte dalam berbagai agama, yang masing-masing mengklaim dirinya benar. Mungkin diperlukan badan mirip PBB, misalnya dengan mendirikan Persatuan Agama-agama di dunia (United World Religion Organization), yang mengatur toleransi universal di antara semua umat dan mencegah terjadinya peperangan antar umat sendiri maupun lainnya.
Pada saat saya menulis ini, maka perang sektarian telah terjadi di Iraq, pemboman atas mesjid-mesjid berlangsung amat sadis dengan puluhan sampai ratusan korban di berbagai pihak, hal yang sama terjadi di Afrika, Indonesia, India, dsb. Kalau dibiarkan terus dunia akan makin kacau, apalagi kalau memakai nama Tuhan. Umat Hindu di Indonesia harus belajar dari semua fakta-fakta sejarah ini. Ketuhanan Yang Maha Esa berdiri di atas segala bentuk awidya dan pemahaman berbagai umat yang mengakui beragama ini dan itu. Yang Maha Kuasa itu, hadir di Weda, Purana, Sruti, Smrti, Taurat, Zabur, Injil, Al-Quran dan kitab-kitab suci umat lainnya, dalam bentuk Ke-Esa-annya. Hal inilah yang harus dijadikan pedoman dan panutan, bukan pemahaman yang “kesana-kemari”. Karena era ini adalah era rasional yang berdasarkan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi yang masih akan berkembang terus. Berbahagialah umat Hindu karena beragama berdasarkan Widya, bahkan para elemen dewatanya seperti Brahma, Saraswati, Ganeshya, dsb. kesemuanya menyandang atribut-atribut ilmu-pengetahuan yang maha luas. Hindu-Dharma adalah bunda dari pengetahuan dan seluruh agama, cikal-bakal bahkan dari peradaban umat manusia yang beradab dan berbudi luhur dan adi-luhung. Jadi seyogyanya kita tidak ikut-ikutan sepak-terjang umat-umat lain namun lebih baik merenung lebih dalam lagi akan fenomena-fenomena Ilahi ini. Interospeksi akan ajaran kita akan membawa kita ke arah kesadaran yang lebih hakiki di mana kita dapat memainkan peranan positif di dunia ini.

Peranan Weda di kehidupan kini

Demikianlah Weda-weda(Sanatana Dharma) ini. Agama agama lain mengklaim hanya mereka masing-masing yang dapat menuntun ke surga. Namun keagungan berbagai weda ternyata terdapat dalam konsep kebinekaan yang adiluhung. Inilah keagungan SanatanaDharma.
Berbahagianya kita insan Indonesia yang juga bernaung di bawah panji Bhinneka Tunggal Ika ini, ternyata keagungan Weda hadir dalam Pancasila dan Garudanya. Pendiri negara ini ternyata lebih memahami Weda dari pada pemimpin-pemimpin masa kini. Inilah keagungan Sanatana Dharma, yang hadir sampai saat ini sebagai satu-satunya sumber agung ke arah Tuhan Yang Maha Esa di dunia ini.Demokrasi ternyata bukan produk barat namun adalah cerminan dan sumbangan berbagai falsafah Weda ke dunia ini.
Hindhu Dharma yang juga disebut jalan abadi atau Sanatana Dharma ini tidak memiliki awal ataupun akhir. Dharma ini tidak pernah diciptakan karena Tuhan Yang Maha Esa Sudah hadir sebelum yang lain-lainnya hadir. Dharma tidak pernah musnah selama kehidupan ini masih eksis. Dharma berpusat kepada Tuhan Yang Maha Esa (God-centric). Pusat Sanatana Dharma itu adalah Tuhan itu sendiri, sedangkan berbagai agama di dunia lebih cenderung berpusat pada nabi-nabi mereka (Prophet-centric).
Weda adalah sabda Tuhan secara langsung dan diturunkan turun temurun, dari Tuhan kepada para dewata, dari para dewata kemudian kepada para manu, selanjutnya manu menurunkan dan mengajarkan kepada para resi. Berbagai agama menyatakan bahwa wahyu-wahyu turun melalui malaikat kepada para nabi,rasul, atau mesiah. Namun kaum Dharmais senantiasa respek dan mengakui serta menghormati semua utusan Tuhan dan berbagai agama ini. Karena merasa semua ini berasal dari satu intisari dari Weda-Weda di India kuno.
Penyebaran Dharma selama ribuan tahun dapat dilihat melalui sejarah, melalui rute Khyber Pass, Silk Route, dan lain-lain. Melalui penelitian ras, genetika, golongan rhesus negatif, cara makan, musik, cara menggunakan busana, adat- istiadat, budaya, transmigarasi dari India ke berbagai sudut Asia secara langsung maupun tidak langsung. Bagi kaum Dharmais utusan Tuhan ini adalah awatara.
Dewasa ini kaum Dharmais di dunia berjumlah sekitar satu setengah milyar atau mungkin dua milyar manusia. Mereka ini merupakan gabungan kaum dan sakta, Seperti kaum Buddhist dan ribuan sekte-sekte besar dan kecil, Kaum Jain, kaum pemuja api di India yang berasal dari Persia, Kaum Sikh, pemuja Dewi Tara, Kwan kong, Kwan Im, Tri Dharma, Kejawen dan sebagainya.
Semuanya berpayung pada satu Omkara. Omkara itu sendiri kalau dibalik mirip kata Allah, ini tentunya bukan suatu kebetulan, karena aksara di Timur-Tengah berasal dari aksara Yahudi, yang bersumber pada aksara Sansekerta dan Pali. Kata Amin, Amen berasal dari Om (Om Tat Sat) berarti apapun yang dilakukan atas nama-Nya pastilah Sat. Sedangkan Om Shanti berarti “ Damai atas kehendak-Nya”. Amen sendiri berarti terjadilah Kehendak-Nya.
Yang lebih menarik lagi ternyata Bunda Smriti dan Gayatri hadir sebagai Dewi Isis di Yunani Kuno. Dewi yang cantik in mempunyai buah dada yang ranum yang tidak habis-habisnya sebagai sumber-sumber kebutuhan manusia. Kristen menghadirkan Bunda Maria, dan Nabi Muhammad s.a.w menyatakan tidak ada yang lebih suci dan mulia dari pada seorang ibu. Beliau amat mensakralkan Bunda Maria (Mariam). Kata “ma” berasal dari kata Mariamman,di India Selatan berarti Dewi Durga, Bunda Semesta. Kata Melayu, Malaya berasal dari kata Malayalam, di India Selatan.
Yang menarik lagi adalah bab mengenai wahyu di Perjanjian Baru ternyata identik dengan kisah Kalikin. Di bab ini Jesus mengatakan bahwa Beliau akan kembali sebagai Pengantin Pria (Krishna) dengan pendamping Pengantin Wanita (Radha). Ternyata konsep Radha-Krishna, Purusha-Prakriti, Tuhan-Sang Maya, hadir dalam Bible ini, tetapi tidak difahami oleh kaum Kristiani secara hakiki.
Jesus disebut Isa, dalam Shiwa Purana Isa berati Shiwa. Dalam pengertian umum kaum Dharmais Isa berati seorang yogi yang telah mencapai penyatuan dengan Tuhan. Sudah menjadi pengetahuan umum kalau Jesus pernah belajar di India dan di babtis oleh John (Yahya) si Pembabtis secara Hindhu di tepi sebuah sungai, mirip pembabtisan kaum Hindhu di India.
Islam mengakui Nabi Ibrahim, Nuh, Isa, dan nabi-nabi lainnya, juga mengakui kitab-kitab Zabur, Taurat, dan Injil. Bahkan Nabi Adam dan Manu (Nabi Nuh) juga diakui, bukankah itu semua berarti pengakuan terhadap ajaran-ajaran Weda, Wedanta, Sruti, dan sebagainya? Namun banyak yang pura-pura tidak tahu akan hal ini.
Bagi kaum Dharmais , kaum Yahudi, Kristen, dan Muslimin adalah saudara-saudara mereka sedharma dengan improvasi yang berbeda, namun sebenarnya tidak jauh berbeda karena tetap mengacu kepada Yang Maha Tunggal dan kebenaran hakiki (absolute truth). Shalatnya kaum Muslim mirip dengan yoganya kaum Dharmais. Ka’bah mirip dengan Lingga-Yoni. Ekaristinya kaum Katholik adalah prasadnya kaum Hindhu. Sang Buddha tidak pernah berganti agama sampai Beliau wafat, dan Nabi Muhammad s.a.w sangat menghormati Hind (India Kuno).
Ternyata sebenarnya umat manusia bersandar ke satu iman, namun avidya membuat kita terkecoh dengan semua improvisasi ini. Semua jalan ini sebenarnya mengarah ke yang satu (Warenyam bhargo devashya dimahi).
Sedikit tambahan: Asal kata Mohammed adalah Mahatma (Maha Atma, Mahamada). Ajaran ahimsa Mahatma Gandhi berdampak hadiah nobel untuk Marthin Luther King. Jr., Nelson Mandela dan Bunda Theresia yang mengabdi untuk kaum miskin di India. Ternyata sedemikian dasyatnya dampak weda di dunia ini. Weda berkonsepkan Tri Murti. Brahma sebagai Pencipta, Wishnu sebagai Pemelihara dan Shiwa sebagai Pendaur Ulang seluruh ciptaan.
Islam berkonsepkan Allah yang berarti Dia dari mana semua ini berasal. Juga berpedoman pada “Innalillahi wainnalillahi rojiun” yang berarti “Dari Dia dan kepada-Nya pula kembali”. Kata “Innalillahi wainnalillahi rojiun” menurut para ahli bahasa Sansekerta berasal dari kata “Lila” yaitu permainan Tuhan.
Konsep Tri Murti menjadi Omkara, “A” sama dengan Brahma Sang Pencipta, “U” sama dengan Wishnu Sang Pemelihara, dan “M” sama dengan Shiwa yang berarti Pendaur Ulang seluruh ciptaan. Kata Aum atau Om kalau dibalik menjadi kata Allah. Ini bukan suatu kebetulan karena konsep ini sudah ada sejak sebelum Nabi Ibrahim hadir (mengacu ke pengakuan Manu /Nuh oleh umat Judea, Kristen dan Islam).
Tulisan Arab adalah jelas singkatan-singkatan dari Bahasa Sansekerta. Namun tulisan Arab lebih banyak mempunyai aksara dari pada Bahasa Hindhi Modern, namun sama dengan Urdu. Jadi kalau kita mau bersikap bijaksana dan mempelajari Ikroqnya, maka kita akan memahami bahwa bangsa-bangsa di Asia mempunyai keterkaitan satu sama lain bukan hanya secara genetika saja tapi juga melalui kultur dan Weda-Weda. Tuhan yang kita pujapun Yang Maha Tunggal, namun kita menamai Beliau dengan sebutan yang berbeda. Kemudian kita mulai mengklaim bahwa hanya Tuhan dan agama kita saja yang benar, yang lain di anggap gentile (kafir) atau chandala.
Ada sedikit tambahan dari Persia Kuno (sekarang Iran). Nabi mereka Zoroaster memuja Api (konsep Rig Weda), kemudian mengacu ke Judea dan Arab, maka kaum Yahudi dan Muslim mengorbankan hewan untuk pemujaan mereka (konsep Weda-Weda juga yang berlaku sampai Aswamedha). Hindhu kemudian berubah dan tidak mau mengorbankan hewan, namun konsep lama Weda tetap berlaku sampai sekarang di Timur-Tengah dan di Bali (Caru).
Di Injil khususnya di perjanjian lama tertulis bahwasanya suatu saat nanti umat manusia akan bersatu memuja Tuhan sewaktu mereka semua berbahasa sama (speak in one tongue). Banyak orang berpikir kalau umat manusia memiliki satu bahasa atau agama secara umum maka kita akan bersatu dan memuja satu Tuhan.
Sebenarnya kaum Hindhu berkata bahwasanya satu bahasa tersebut bermakna satu iman yang dilandasi oleh pemahaman universal akan hadirnya satu Pencipta. Bukankah ini konsep weda yang hakiki dan telah menjadi pengetahuan umum kaum Dharmais?
Kalau saja umat manusia mau duduk bersama-sama, sambil menanggalkan ego kita masing-masing, kemudian membaca sejarah dengan teliti, maka kita akan menemukan “the missing Link (garis yang hilang diantara kita). Dunia terasa semakin sempit dalam era-globalisasi ini. Teknologi informasi telah melampaui batas-batas negara, namun hati kita masih beku di dalam kegelapan juga.
Untuk kaum Dharmais saya anjurkan untuk tidak segan-segan bertata-krama dengan umat lain seperti layaknya kita bersaudara, karena memang kita semua ini bersaudara.
Weda mengakui bunda semesta sebagai bunda lima bangsa utama (ras utama) di bumi ini. Kalaupun ada umat lain bersifat ekstrim, diskriminatik terhadap kita, anggaplah itu wajar-wajar saja. Di dunia ini selalu ada pro dan kontra, bahkan di dalam diri kita sendiri.

Buddha dan Kristus

BUDDHA DAN KRISTUS

Budha
Budha

Ternyata banyak juga kesamaan, kemiripan yang hadir di antara agama Buddha (Buddha Dharma) dan para pengikut Kristus, apalagi dalam ajaran-ajarannya. Buddha pernah mengatakan jadilah ibarat lilin, dari satu lilin menyinari ribuan lilin-lilin yang lain. Di Bible ternyata hadir sabda-sabda serupa. Buddha selama mengembara menghidupkan yang mati, menyembuhkan ribuan orang yang sakit dan yang trance, dsb. Kristus bertindak serupa. Buddha amat sederhana, Kristus pun demikian. Ajaran Buddha amat mirip dengan ajaran kasihnya Sri Kristus. Di antara pengikut mereka hadir juga kebiasaan serupa seperti :
 Mencari makan dengan menerimanya dalam bentuk sedekah dari umat awam.
 Memakai pakaian sisa-sisa buangan orang lain, tanpa dijahit (mirip dengan Ihram).
 Menggunakan tasbih, sebuah tradisi dari Hindu yang disebut Ganatri.
 Tinggal dan belajar di bawah pohon pada waktu-waktu tertentu.
 Menyembuhkan luka dengan terapi air seni sendiri atau air seni sapi (tradisi yoga Hindu).
 Mengembara sambil mengajarkan agama/warta yang baik.
Pada era Buddhisme, agama dan ajaran ini mengalir masuk ke Timur-Tengah melalui Afghan. Banyak sekali terdapat Vihara-Vihara Buddhis sampai ke Iran dan Iraq, kata peneliti Pakistan yang berdomisili di Kanada, yang bernama Mohammed Hideyotollah (sekitar 110 ribu wihara Buddhis). Tidak mengherankan kalau hal ini berdampak juga ke ajaran Kristen dan Islam. Sampai saat ini sebenarnya arca-arca Buddha dan Hindu serta peninggalan arkeologi masih banyak terdapat di jazirah-jazirah ini tetapi lebih suka ditimbun kembali atau dimusnahkan karena khawatir masyarakat akan kembali ke ajaran-ajaran lama seperti sejarah masa lalu yang membuktikan demikian.
Sri Yesus sendiri, seperti halnya Sang Buddha amat menentang sistem kasta, dan seperti juga Sang Buddha, Beliau ini amat populer di kalangan rakyat jelata, baik di India maupun di Israel, musuhnya selalu kaum kasta tertinggi yaitu brahmana di India dan para rabbi di Israel.
Sri Yesus menurut para peneliti Hindu-Buddhis sangat mewakili karakter seorang Awatara atau Boddhistawa, yaitu personifikasi Ilahi. Jauh sebelum Kristus kembali ke Israel, Ia telah diterima dengan baik oleh masyarakat awam di India, Sindh (Pakistan), Kashmir, Tibet, Ladakh, Afghan, dsb sebagai seorang utusan Ilahi yang amat suci. Walaupun di barat ada usaha-usaha memodifikasi Injil seperti saat ini, tetap saja hadir lebih dari seratus ayat-ayat yang jelas-jelas berakarkan ke agama Buddha.

BUDDHA-YESUS SEBUAH ANALISA

Sri Buddha Gautama diyakini oleh umatnya sebagai seorang Boddhisatwa sekaligus Awatara dari Sri Wishnu, demikian juga halnya dengan Sri Rama dan Krishna yang juga awatara Hyang Wishnu pada era-nya masing-masing. Kelahiran berbagai awatara ini amatlah unik, karena senantiasa diikuti oleh berbagai fenomena-fenomena sakral yang penuh dengan mukzizat dan keajaiban yang menakjubkan. Kelahiran Sri Kristus mirip dengan kelahiran Sri Krishna (baca Srimad Bhagawatam dan Injil). Krishna dilahirkan di penjara karena Raja Kansa membantai setiap anak-anak laki yang lahir pada malam itu. Krishna sewaktu dilahirkan disaksikan oleh menjangan, merak dan sapi betina. Kristus dilahirkan di sebuah kandang sapi yang terpencil, karena malam itu Raja Herodes membantai setiap bayi laki-laki yang lahir. Kristus disaksikan oleh domba, kambing, sapi dan tiga orang Majus dari timur yang datang dengan onta-onta berpunuk satu (onta jenis ini hanya ada di Rajasthan(India) pada masa itu). Buddha terlahir sebagai seorang pangeran di Kapilavastu. Saat kelahirannya Ia langsung berjalan di atas daun teratai di kolam kerajaan. Semua kelahiran ini disertai cahaya Ilahi dan nyanyian-nyanyian sorgawi.
Cara mengajar kesemua tokoh ini mirip dengan sistem Upanishad, yaitu di bawah pohon. Buddha dan Kristus sangat mirip dalam banyak hal. Kristus dan Krishna sama-sama pernah menjadi gembala. Kristus adalah gembala domba, Krishna adalah gembala sapi dan kambing (Govinda).
Kata “Kris” pada keduanya berarti cahaya Ilahi. Kesemua awatara ini melakukan hal-hal yang menakjubkan seperti berjalan di atas air, menyembuhkan orang-orang yang mati, menggandakan makanan, dsb untuk umat yang terpesona dengan berbagai mukzizat daripada filosofi kehidupan yang tinggi. Contoh Sai Baba di abad ini, umat berbagai agama ke Beliau untuk mendapat kesembuhan, rezeki dsb. tidak untuk mendapatkan bimbingan spiritual yang agung.
Krishna, Buddha dan Yesus lahir sebagai reformis pada era masing-masing karena manusia setempat terlanda ego dan kebatilan yang tiada taranya. Para pendeta, kaum brahmana korup dan sarat dengan kekotoran mereka, dan menyesatkan umat melalui berbagai ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan Dharma itu sendiri. Upacara pembaptisan Yesus oleh Yahya berasal dari India dan menyimpang dari tradisi Yahudi. Pada masa itu kaum suci Nasrani (asal kata Nazarenes) berpakaian ala kadarnya, dengan rambut yang dibiarkan terurai. Kata Nazarenes (Nazarites) berasal dari kata Sansekerta Nazar = penglihatan bagian dalam (Nazaran). Bahasa India sampai kini masih menyebut nazar sebagai penglihatan. Yesus dianggap mampu melihat ke dalam dirinya sendiri (Nasrani).
Sebenarnya dari kata Nasrani dapat disimpulkan bahwasanya ajaran Sri Yesus seharusnya bersifat spiritual tinggi, namun kenyataannya seperti yang kita lihat selama ini di sekitar kita. Tetapi konon di pulau Agaphos di Yunani, terdapat sebuah biara dengan ratusan biarawan yang selibat dan terlibat dengan metode-metode spiritual yang amat dirahasiakan. Disamping itu, berbagai ritual-ritual umat Katholik terkesan mirip dengan Hinduisme, seperti penggunaan air suci (Tirta), roti (prashadam), dupa (kemenyan), inisiasi, non-perceraian dsb. Agak unik misalnya kalau kita lihat dengan seksama akan adanya kata-kata “sesuatu pernikahan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun juga”. Hal ini amat mirip dengan sabda-sabda yang ada di Rig-Veda khususnya mengenai pernikahan yang begitu sakral bahkan para dewatapun tidak diperkenankan untuk menceraikan pasangan yang menikah itu sampai ajal datang menjelang. Kata-kata seperti Santa (orang suci), pemandian, Ekaristi, dsb. jelas mengarah ke ritual-ritual Hindu, walau tidak mau dikenai oleh kaum Kristiani.
Kembali ke zaman Sri Yesus, terdapat juga penemuan di lembah Qamran yang menjelaskan kehidupan kaum Essenes (yogi-yogi di Timur-Tengah) yang amat mirip dengan kehidupan sederhana Sri Yesus itu sendiri. Kaum ini telah hadir jauh sebelum kelahiran Kristus, dan sering tidak diakui oleh umat Kristiani.
Di dalam Injil, Kristus tidak pernah digambarkan sebagai non-vegetarian kecuali satu kali yaitu setelah bangkit dari kematian-Nya. Bahkan perjamuan kuduspun tidak menghadirkan daging atau ikan. Banyak ahli di India berpendapat Sri Yesus Kristus adalah vagetarian tulen, sesuai dengan penampilan dan ajaran-ajarannya, yang terkesan penuh kasih sayang dan bersifat ahimsa (penuh pengorbanan).
Menurut para peneliti di India, ternyata Sri Yesus tidak mati di salib. Hal ini rupanya juga ditekankan oleh kaum Islam; berdasarkan catatan-catatan historis yang terdapat di Persia, Kashmir, dan Pakistan, dsb. Nabi ini bernama Issa (menurut Al-Quran), sedangkan kata Yesus berasal dari kata Yeshnu (bahasa Syria). Nabi Issa diakui hadir sebelum Nabi Muhammad S.A.W. dan merupakan putra dari Maryam yang melahirkannya melalui Roh Allah yang berbentuk seorang pria sempurna (malaikat Jibril). Beliau dilahirkan secara gaib, bunda Maryam yang melahirkannya tetap berstatus perawan, pada saat itu.
Sebuah narasi kuno agama Hindu adalah berbagai puranas (kisah-kisah suci kuna). Keseluruhan antologi kuno ini terdiri dari 18 jilid, dan ada jilid khusus yang kesembilan-belas yang disebut Bhavishyat Maha Purana, yang berisikan kedatangan Sri Yesus ke India, setelah “kematian-Nya di Salib.” Menurut Holger Kersten dalam bukunya yang berjudul “Jesus lived in India,” maka penjelasan di karya ini begitu terperinci sehingga tidak ada keraguan mengenai hal tersebut, yaitu Yesus memang pernah hadir di India. Purana ini juga mancatat hadirnya wangsa Israel di India. Ayat Puran 17-32, ini bahkan menggambarkan pertemuan cucu Raja Vikramaditya (Sulaeman) yang bernama Shalivan dengan Sri Yesus di sebuah daerah di Himalaya, tepatnya di tanah Hun (Ladakh), bagian dari kerajaan Kushan. Konon dikatakan suatu hari sang raja ini melihat seorang pria duduk di suatu tempat dan memancarkan aura yang amat baik. Pria tersebut berkulit bersih dan menggunakan jubah putih. Sang raja kemudian menanyakan asal-usul dan agamanya. Sang pria ini menjawab “Aku disebut putra Tuhan, lahir dari seorang perawan, pengabdi bagi mereka yang tidak percaya akan Tuhan, dan tanpa henti-hentinya aku berusaha mencari kebenaran. Aku datang dari negeri yang asing, di mana sudah tidak ada lagi kebenaran dan di mana kejahatan sudah tidak mengenal batas lagi. Orang-orang di sana sudah tidak percaya lagi akan kehadiran Tuhan, dan di sana aku hadir sebagai Mesias. Tetapi kaum Hailaf (dasyu) ini memperlakukan aku sebagai seorang kafir dan kehidupanku berakhir dalam kuasa ihamasi (iblis, atau kejahatan).”
Selanjutnya : “wahai raja yang agung, berikanlah telingamu pada agama yang aku bawa ini untuk mereka-mereka yang tidak percaya akan kehadiran Tuhan. Setelah memurnikan batin dan raga yang tidak suci dan setelah berlindung di dalam doa-doa Naigama (Shastra-Widhi), manusia akan berdoa kepada Yang Maha Abadi. Melalui keadilan, kebenaran, meditasi dan kesatuan dalam Roh, orang akan menemukan jalannya pada Isa, sebagai pusat cahaya terang. Tuhan, seteguh mentari, akhirnya akan menyatukan roh dari segala makhluk yang mengembara ke dalam diri-Nya. Dst. dst.”
Sang raja kemudian menerima pria yang bernamakan Isa-Masih dan mengutusnya ke suatu tempat yang tidak mengenal cinta dan kasih. Menurut Prof. Hassnan, maka Raja Shalivan berkuasa pada zamannya dinasti Kushan sekitar 30 AD sampai dengan 50 AD.
Seorang peneliti lainnya, prof Nicholas Roerich, dalam karyanya yang disebut “The Heart of Asia”, yang diterbitkan pada tahun 1930 menulis akan makam Bunda Maria yang terdapat di utara Ladakh dekat wilayah Tibet. Setelah kembalinya dari Israel, konon Sri Yesus mengembara dari suatu wilayah-ke wilayah lainnya. Namun beberapa catatan dan bukti-bukti menunjukkan bahwasanya Beliau selalu berulang kali kembali ke Kashmir. Konon sekitar 60 km tenggara Srinagar, atau sekitar 12 km dari Bijbiraha (Vihara batu Musa) terdapat sebuah makam dari Zainudin Wali, seorang Islam yang suci yang hidup sekitar tahun 1408-1461 pada zaman pemerintahan Sultan Zainul Abidin Badsah. Konon semasa hidupnya sang Wali Suci ini memiliki sebuah tongkat suci yang berasal dari Nabi Musa yang konon kemudian secara estafet diberikan kepada sang wali Islam ini. Tempat makam ini berada di dalam sebuah gua Aish-Muquam (makam Isa). Dalam bahasa setempat muquam atau makam juga dapat berarti tempat peristirahatan. Mungkin saja kata para peneliti, kawasan ini pernah menjadi tempat bermeditasi Sri Yesus. Pada era itu menurut legenda dan catatan setempat dipercayai akan hadirnya seorang Nabi yang disebut “Hazrat Isa (Yang Dimuliakan Isa), semoga Roh Tuhan menyertainya.” Beliau hadir di sekitar daerah Yuz Asaf, dan menghabiskan sisa kehidupannya di lembah yang asri ini. Konon katanya ada sekitar 21 dokumen bersejarah yang memberikan kesaksian akan hadirnya Sri Yesus di Kashmir ini. Dan juga hadir sejumlah nama-nama lokasi yang dapat dijadikan bukti-bukti secara geografis akan hadirnya Beliau di Lembah Kashmir ini, seperti : Arya-Issa, Issa-Brari, Yuzu-dha, Yusu-dhara, Yuzu-gam, Yuzu-hatpura, I-Yes-Issa, Kal-Issa, Yuzu-Kun, Issa-Kush, Yus-Manggala, Yuzu-maidan, Yus-marg, Aish-muquam, Issa-mati, Issa-eil, Yus-Nag, Ram-Issa (Tuhan Yesus), Yuzu-para, Yuzu-raja, Issa-Ta, Yuzu-varman, dan I-Yesth-Issa-Vara, Yusu.
Sebuah teks yang disebut “Rajatarangin”, mengisahkan kehidupan Yesus di Kashmir. Karya ini merupakan sejarah Kashmir yang tertulis dalam versi bahasa Sansekerta oleh Pandit Kalhara, yang ditulis pada abad XII AD. Di karya ini Jesus disebut sebagai orang suci yang bernama “Isana” (kata Isana adalah sebutan Dewi Parwati, Durga shaktinya Shiwa yang juga disebut Bunda semesta).
Konon setelah Issa wafat maka Beliau dikuburkan di Kashmir, tepatnya berada di tengah-tengah daerah yang merupakan kota tua Srinagar, di Anzinar, daerah Khanjar. Bangunan yang mengelilingi kuburan batu ini disebut “Rozabal” (kependekan kata-kata Rauza dan Bala, yang bermakna Kuburan seorang yang saktiwan). Konon pada suatu era kemudian yaitu pada zaman Islam, bertambah sebuah kuburan lagi di kawasan ini, kuburan seorang Muslim yang disucikan yang bernama Nasir-UdDin. Nisan batu besar menunjukkan makam Yuz-Asaf (Nabi Isa) dan batu yang lebih kecil bagi Syed Nasir-Ud-Din. Kuburan batu yang besar mengarah dari timur ke barat, sesuai dengan kebiasaan orang Yahudi yang meninggal dunia dan tidak sesuai dengan kebiasaan Hindu maupun Islam.
Pada kuburan ini, prof. Hassnain menemukan “jejak kaki” dari Yuz-Azaz, yang terilustrasi dengan jelas, yang menunjukkan adanya tanda-tanda kaki kiri yang dipakukan ke kaki kanan. Sebuah naskah kuno menyebut kuburan ini sebagai Isa Roh-n-ilah. Kuburan yang disakralkan ini sampai dewasa ini masih ramai diziarahi oleh umat, Hindu, Muslim, dsb. Dalam bahasa setempat saat ini makam ini disebut “Kubur Hazrat Isa-Sahib.” Sebuah dokumen resmi dari Mufti Rahman Mir (Penguasa Islam setempat) menandakan pelestarian kuburan tua ini. Di dokumen tertulis : “Di sini terbaring Yuz-Asaf, yang membangun kembali kuil Sulaeman pada masa Raja Gopadatta, dan ia kembali sebagai seorang Nabi ke Kashmir. Ia melayani masyarakat, menyatakan kesatuan-Nya dengan Tuhan, Beliau menetapkan hukum bagi masyarakat.”