Agama agama dari masa ke masa

AGAMA-AGAMA DARI MASA KE MASA

“Yada-yada hi dharmasya glanir bhawati bharata abhutthanam adharmasya tadatmanam Srjamaham”

“Wahai putra keluarga Bharata, ketahuilah bahwasanya pada saat-saat pelaksanaan dharma merosot ke titik paling rendah, dan adharma merajalela, Akupun menjelma ke dunia ini secara pribadi.”
-Bhagawat-Gita-

Raditya, edisi 103, Feb. 2006, hal. 16 menghadirkan sebuah artikel yang ditulis oleh Sdr. I Made Wardana seperti cuplikan berikut ini :
“Dari sloka di atas menunjukkan bahwa Personalitas Tuhan (Personal God) akan langsung turun dari dunia rohani yang kekal (Goloka Vrindawa) atau akan mengirimkan utusan-utusan Bhagawatam (Ilahi) yang diberikan amanat untuk menuntaskan masalah dharma-adharma di bumi-loka ini. Turunnya Sang Personalitas Tuhan itu sendiri disebut Awatara (Rama, Krishna, Buddha, dsb). Para Awatara ini terbagi dalam berbagai kategori seperti Purusha, Lila, Guna, Yuga, Mahawatar, dan Shaktywesa Awatara. Kesemua awatara ini ternyata telah diprediksi kehadirannya secara terperinci di dalam pustaka-pustaka Hindu Dharma kuna seperti Bhagawata-Purana dan Bhawisya-Purana. Berbagai prediksi yang ditulis ribuan tahun yang lalu ternyata kemudian menjadi kenyataan-kenyataan yang menakjubkan pada masa-masa berikutnya. Konon selain Yang Maha Esa hadir juga “Roh-Roh” yang Beliau utus demi tujuan penegakan dharma-dharma itu sendiri dari masa ke masa, dari lokasi ke lokasi sesuai dengan kehendak Yang Maha Esa itu sendiri. Para utusan Ilahi ini mendapatkan “mandat spiritual” penuh disamping itu, merekapun memiliki kesaktian-kesaktian tertentu (disebut Saktywesa)”. Contohnya Srila Wyasadewa, Buddha, Isa (Yesus), Nabi Muhammad S.A.W., Sri Chaitanyamahaprabhu, Shankaracharya, Guru Nanak, Kabir, dst. yang kesemuanya berhasil merubah tatanan adharma kembali ke jalan dharma yang lurus dan lempang (bahasa Timur-Tengah disebut Islam).
Contoh, kehadiran Sri Buddha Gautama dinyatakan :
“Tatah kalau sampravritte sammohaya suradvistham buddo namnanjana-sutah kikateshu bhavishyati” (artinya : Pada zaman Kali, Sang Buddha akan lahir sebagai putra dewi Anjana di Gaya, dst. dst…. Srimad Bhagawatam 1. 3. 24).
Kemudian dalam Bhavisya-Purana (sejarah masa datang), sloka III. 2. 23 disebutkan “….ko bhavaanithi tham praha sahovaacha mudanwitha eshaputram cha maam vidhi kumari garbha sambhavam aham eesa (Isa) masiha nama” (Aku akan lahir sebagai Isa Mahesa (Isa Almasih), Esa putra dari Tuhan dan ibu yang masih perawan, dst. dst”. Setelah tiga ribu tahun berlalu ternyata benar lahir seorang Nabi agung yang disebut Isa (Yeshua Yesus) sebagai putra Tuhan yang lahir dari bunda Maria yang masih perawan. Di dalam Purana yang sama ini juga, di sloka III. 3. 3 tertulis jelas “…. di daerah Meleccha (Timur-Tengah) akan hadir seorang Guru-Rohani (Nabi, Nabe). Kata Meleccha (atau Meccah) menunjuk ke suatu masyarakat di Timur-Tengah, yang pada era tersebut sedang mengalami peradaban adharma yang akut (jahiliyah), yaitu merosotnya moral dan akhlak kaum tersebut, yang jauh dari ajaran-ajaran Weda-weda. “Muhamada akan turun dan hadir dengan membawa panji-panji agama yang baru bagi masyarakat ini”. Kata Muhamada adalah kata Sansekerta untuk kata Muhammad atau Mohammed (muha = maha, mada = utusan Ilahi, nabi, rasul). Pada zaman Kali, sekitar 500 tahun yang lalu (kira-kira tahun 1489), awatara Tuhan kembali ke alam mayapada ini sebagai seorang brahmana muda seperti yang diyakini oleh kaum Waisnawa, yaitu Sri Caitanya Mahaprabu, persis seperti yang diprediksikan di dalam Garuda-Purana : “Kalina dakya manawan paritranaya tanubhrtam janma prathama Sandhyam karisyami dwijatisu”. (Pada awal Kali-Yuga, Aku akan datang sebagai seorang brahmana yang akan menyelamatkan para jiwa-jiwa yang jatuh sebagai akibat buruk zaman Kali). Masih di dalam Purana ini, disebutkan : “Aku akan lahir sebagai putra Sachi di daerah Navadvipa-Mayapur”.
Berbagai purana-purana tersebut konon diyakini oleh umat dharma sebagai ajaran-ajaran dan tulisan-tulisan Sri Wyasa-Dewa, yang telah mencapai moksha (kesempurnaan), yang amat menguasai kejadian-kejadian pada masa lalu, kini dan masa-masa yang akan datang (trikala-Jna).
Bukan itu saja, namun kehadiran utusan agung dharma seperti Shankara-acharyapun telah diprediksi sebelumnya, termasuk kehadiran Nabi Musa, Ratu Victoria (yang menjajah India), dsb. Lebih dari itu juga disebut-sebut akan bangkitnya teknologi dan sains di antara wangsa-wangsa kulit putih yang kemudian akan mengekspor kembali ilmu pengetahuan ini ke tanah Bharata dan ke seluruh dunia (Saat saya menulis ini, Presiden USA baru saja membuat kesepakatan dengan PM Manmohan Singh untuk mengembangkan teknologi nuklir). Konon agama masa depan akan lebih terfokus ke ilmu-pengetahuan dan pada saat yang sama berpijak ke ilmu pengetahuan spiritual juga. Tidak mengherankan kalau di Nusantara, semenjak lama Tuhan dikenal sebagai Sang Hyang Widhi-Wasa, yaitu Tuhan Yang Maha Tahu, Yang menjadi Sumber Ilmu-Pengetahuan. Demikianlah umat Hindu di dunia termasuk di Nusantara semenjak masa silam sudah dipersiapkan untuk masa depan yang akan penuh dengan ilmu-pengetahuan, sains dan teknologi. Toh masih banyak di antara kita yang belum sadar akan hakikat futuristik ini!.
Sementara kaum Hindu sibuk dengan upacara yang tidak-tidak dan ribut dengan sesama umat. Lalu ada sebagian umat Islam yang menyatakan semua agama tidak benar, kecuali Islam, padahal Al-Quran berwacana secara amat universal. Allah di Al-Quran bahkan bersabda seandainya Allah mau maka semua manusia dapat dijadikan Islam, namun Beliau lebih suka kebhinekaan agar manusia dapat saling berkenalan.
Ir. Made Amir, seorang dosen teknik di Universitas Udayana, Denpasar, Bali (Raditya 103/Feb. 2006) menyatakan hal tersebut seharusnya dikaitkan dengan konteks waktu, tempat dan situasi di tanah Arab pada saat itu. Ketika Nabi Muhammad S.A.W. sedang menyebarkan agama Islam maka pada era itu kemerosotan moral dan budaya sedang parah-parahnya, aneka kepercayaan yang tumbuh liar. Kepercayaan-kepercayaan itulah yang dimaksud dengan semua agama salah.
Penulis amat yakin dengan hasil penelitian Made Amir ini, karena bukankah Al-Quran sendiri mengakui ajaran-ajaran dan Nabi-Nabi sebelumnya seperti Isa, Musa, Daud, Ibrahim, dst. Lebih dari itu Nabi Muhammad S.A.W sendiri menganjurkan umatnya untuk mencari ilmu pengetahuan sampai ke negeri Cina. Dan bukankah Cina beragama Tao, Kong Hu Cu, Lao-Tse, dan Buddhisme pada era itu.
Berbagai wahyu-wahyu turun dari-Nya, dari masa-ke masa melalui penalaran yang identik dari satu orang ke orang yang lain, di manapun lokasinya. Jadi agak aneh kalau mengatakan bahwasanya Agama “A” berasal dari wahyu Tuhan, tetapi agama-agama lain berasal dari sesuatu yang lain. Untuk itu umat Dharma harus selalu berbesar hati kalau dihina, dicela sebagai penyembah berhala, atau kafir, dsb. Karena pada hakikatnya seluruh agama-agama di dunia bersumber dari-Nya juga, seperti yang dikukuhkan oleh Al-Quran dan Nabi Muhammad S.A.W itu sendiri.
Saya ingin mengaitkan tulisan Made Amir tersebut di atas dengan sebuah artikel di Newsweek, edisi 28 Juli 2003, yang membikin heboh pada saat itu. Artikel ini berjudul “Challenging The Qur’an”, yang menulis kajian Prof. Christoph Luxemberg, yang menyatakan bahwa teks asli Al-Qur’an tidak berbahasa Arab, melainkan berbahasa Aramaik. Ia juga mengatakan Nabi Muhammad S.A.W datang ke bumi ini untuk bersaksi atas kebenaran ajaran Yahudi dan Kristen, baca majalah Gatra, No. 17. tahun IX, Agustus 2003) yang berjudul “Menggugat Kearaban Quran”, halaman 34 :
“Artikel yang ditulis Stefan Theil itu melansir pendapat pengkaji Al-Quran asal Jerman bernama samaran Christoph Luxemberg. Ia disebutkan sebagai professor bahasa Semit di sebuah Universitas Jerman yang terkemuka. Luxemberg digambarkan sebagai salah seorang dari kelompok ilmuwan di berbagai negara non-muslim yang sedang gandrung mempelajari bahasa dan sejarah Al-Qur’an.
Luxemberg berpendapat bahwa versi Al-Qur’an yang ada saat ini salah salin (miss-transcribed) dan berbeda dengan teks aslinya, teks asli Al-Qur’an dikatakan lebih mirip dengan bahasa Aramaik ketimbang Arab. Naskah asli itu telah dimusnahkan Khalifah ketiga, Usman-bin-Affan”.
“Konsekuensi dari tesis itu, beberapa teks Arab, Al-Qur’an yang dalam versi Aramik dikatakan memiliki makna lain. Misalnya ungkapan Al-Qur’an versi Arab bahwa Muhammad adalah “penutup para nabi”, dalam versi Aramaik menjadi “saksi para nabi”. Artinya saksi atas kebenaran teks Yahudi-Kristen.
Dalam versi Arab, Al-Quran dijelaskan sebagai “Wahyu Allah”. Sedangkan dalam versi Aramaik menjadi “ajaran” dari Injil kuno. Dus, kata Luxemberg, Al-Qur’an asalnya adalah dokumen liturgi Kristen yang kemudian oleh ekspansi imperium Arab diubah menjadi sumber ajaran Islam.
Perintah menjulurkan jilbab pada edisi Arab, dijelaskan menjadi perintah melingkarkan sabuk di punggung pada edisi Aramaik”.
(Tulisan tersebut di atas telah digugat oleh para ahli agama Islam baik di Indonesia maupun di luar negeri, dengan berbagai alasan-alasan sebagai hal yang mendeskritkan agama Islam !).
Gatra selanjutnya menulis di hal. 36 : “Taufik melihat Luxemberg hanya berupaya membaca Al-Qur’an dengan bahasa Syria-Aramaik, biasa disingkat Syirak. Dalam bukunya, Luxemberg menjelaskan, Syirak adalah salah satu dialek dalam bahasa Aramaik yang digunakan penduduk Edessa, sebuah negara-kota di Mesopotamia-atas”.
“Pada masa Nabi Muhammad, Arab belum menjadi bahasa tulis. Fungsi itu diperankan Syirak, sebagai alat komunikasi tulis di kawasan Timur. Dekat sejak abad kedua sampai ke tujuh Masehi. Ketika Edessa menjadi entitas politik, Syirak berfungsi sebagai medium penyebaran Kristianitas menembus Asia, Malabar dan Cina Timur. Syirak kemudian tergantikan oleh bahasa Arab pada abad ke tujuh sampai kesembilan”.
Selanjutnya Gatra menambahkan : “Bahasa Al-Qur’an juga menyerap bahasa, selain Aramaik, ada Yunani, Persia, atau Ibrani”. Namun seorang doktor ilmu Al-Qur’an lulusan Mcgill University, Canada, Yusuf Rahman, menilai upaya Luxemberg itu sebagai karya ilmiah, karena kajian ini didasarkan pada penemuan manuskrip di San’a, Yaman. Seorang pekerja yang sedang merenovasi masjid di San’a menemukan manuskrip Al-Qur’an pra Usman. Namun Yusuf tidak sepakat dengan kesimpulan bahasa asli Al-Qur’an adalah Aramaik”.
Gatra menambahkan, adanya dua peneliti asing lainnya yaitu Geiger dan Rudolf yang memaparkan banyak istilah Al-Qur’an yang dinilai berasal dari Bible (Injil). Sehingga Al-Qur’an dipandang sebagai hanya duplikat dari Bible. Rudolf menyebut 26 istilah Al-Qur’an berasal dari tradisi Yahudi dan 29 dari Kristen.
Gatra, hal. 43, aksara para pedagang.
Pada era itu, bangsa Arab yang dijuluki jahiliyah, semula dianggap buta aksara dan bodoh. Tetapi bukti-bukti arkeologis justru menunjukkan sebaliknya. Seperti yang tertulis dalam buku Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an karya Taufik Adnan Amal; ditemukan sejumlah prasasti dalam bahasa Arab Selatan. Bukti-bukti ini tertanggal jauh sebelum Kristen. Meski di Mekkah, tempat kelahiran Nabi Muhammad S.A.W belum ditemukan prasasti serupa, daerah itu telah lama menjadi tempat perniagaan (Internasional, antar-bangsa) dalam hubungan perdagangan, maka tradisi tulis-menulis sangat dipentingkan.
Berdasarkan penelitian sarjana Barat, maka tulisan Arab berasal dari tulisan Kursif Nabthi yang ditransformasikan ke dalam tulisan Arab pada abad keempat Masehi. Proses ini kemungkinan berlangsung di Madyan atau di kerajaan Gassamid, dan tersebar hingga ke Suriah Utara. Di kalangan sejarahwan Arab, tulisan Arab lebih populer yang berasal dari Hirah, sebuah kota dekat Babilonia, dan Anbar di Eufrat, barat laut Baghdad.
Kala itu ada dua jenis tulisan Arab, pertama, Khat Kufi yang menunjuk ke kota Kufah, tempat yang disempurnakannya kaidah-kaidah penulisan Arab. Bentuk kedua, Khat Naskhi yang bersumber pada bentuk tulisan Nabthi yang dipakai untuk surat-menyurat. Penulisan Al-Quran pada periode awal biasa memakai Khat Kufi. Bentuk hurufnya masih sederhana, tanpa titik dan harakah.
Kesimpulan Luxemberg di atas tentu saja sulit diterima oleh umat Islam, sebabnya Al-Quran disebutkan dalam bahasa wahyu dan yang digunakan adalah hisamul-Arab. Ini identik dengan bahasa syair pra-Islam yang difahami seluruh suku di Jazirah Arab (Gatra hal. 42). Dalam perkembangannya bahasa Arab mengalami penyerapan dari bahasa Ibrani, Persia dan Aramaik. Menurut Abu Bakar al-Wasiti, seorang sufi terkemuka di Iran, dalam bahasa Al-Qur’an terdapat 50 dialek Arab. Namun keragaman ini sudah hampir punah. Sebab telah diseragamkan oleh Khalifah bin Affan pada 30 Hijriah. Waktu itu untuk menghindari pertentangan di antara umat Islam (karena hadirnya berbagai versi Al-Quran), maka Usman menetapkan bacaan Al-Qur’an merujuk pada suatu dialek Quraisy yang dipakai Nabi Muhammad. Jika hal tersebut tidak diatasi oleh Usman, maka bisa menyulut perpecahan (masih berlangsung sampai kini di Timur-Tengah dan negara-negara lain yang menganut faham Islam yang berbeda-beda). Komisi yang dibentuk Khalifah Usman menyimpulkan semua ayat Al Quran yang dimiliki para Wali, perbedaan bacaan kemudian diseragamkan menjadi satu mushaf, yang kemudian dikenal sebagai mushaf Usmani. Mushaf lain seperti yang dimiliki Ali bin Abi Thalib dan Hafsan, putri Umar bin Khatab yang juga adalah janda Rasullulah, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Kaab, dan Abu Musa As’ari dimusnahkan. Naskah Al-Quran ini diperkirakan berjumlah 23 mushaf. Menurut para ahli, Al-Quran mushaf Usman mengandung banyak kekurangan, menghapus keragaman dialek dan bacaan. Jadi perlu disusun edisi kritis.
Sebelumnya pada masa Khalifah pertama Abu Bakar Siddiq, usaha pengumpulan Al-Quran sudah dilakukan namun tugas ini belum tuntas sampai berakhirnya masa kepemimpinan Abu Bakar sekitar 15 bulan. Pekerjaan itu berlanjut hingga Khalifah berikutnya, Umar bin Khattab dan Usman bin Affan. Tetapi hasil kodifikasi resmi Zaid ini, menurut Taufik Adnan Amal terbukti tidak berpengaruh luas. Masyarakat Muslim lebih mengakui mushaf lainnya. Contoh, mushaf Ubay bin Ka’ab punya pengaruh kuat di Suriah, mushaf Ibnu Mas’uf mendominasi Kufah, dan mushaf Abu Musa Asyari lebih diakui di Basra. Isi mushaf ini agak berbeda dengan mushaf Usmani, baik jumlah surat maupun ayatnya. Semula, pemusnahan mushaf non-Usmani ditolak keras. Namun demi persatuan umat, akhirnya diputuskan tidak ditentang. Hingga abad ke 10, salinan mushaf ini masih beredar. Ada pula yang masih bertahan sampai saat ini, antara lain mushaf Ali bin Abi Thalib.
Kumpulan ayat menantu Rasul ini berdasarkan kronologi turunnya wahyu. Hingga saat ini, menurut Hussein Shahab, tersimpan rapi hampir di semua perpustakaan besar di Iran, di antaranya di Perpustakaan Mar’asyi di Qum, dan di Perpustakaan Imam Redho, Marshad. Tapi kaum Syiah tidak memakai mushaf ini, mereka tetap menggunakan mushaf Usmani.
Ali bin Abi Thalib termasuk jajaran para penulis wahyu terkemuka. Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, jika Nabi menerima wahyu, maka ia memanggil mereka untuk menuliskannya, kemudian beliau berkata “Letakkan ayat ini dalam surat yang menyebutkan begini atau begitu”. Penulisan wahyu saat itu masih berserakan. Antara lain ditulis di atas daun lontar, pelepah kurma, kulit dan tulang.
Di Indonesia beberapa pemikir muda Islam seperti Ulil Abshar-Abdalla dan Taufik Adnan Amal, yang tergabung dalam jaringan Islam Liberal, memandang perlu adanya edisi kritis Al-Quran. Alasannya, teks dan bacaan yang saat ini dipakai adalah hasil pikiran para imam. “Kenapa kita tak berusaha menyempurnakannya ?”, kata Taufik. Sebab penulisan teks Al-Quran mengandung ketidak-konsistenan. Selain itu, tulisan Al-Quran saat ini bisa dipersoalkan dari aspek linguistik dan kaidah bahasa Arab. Malah, bacaannya masih menampakkan bias gender dan tidak sejalan dengan nalar rasional (contohnya perbudakan, dsb.). Tapi menurut ahli lain seperti Hussein Shahab, kalangan ulama kebanyakan tidak mau menggugatnya karena “merupakan bagian dari ibadah”, katanya.
Nasarudin Umar, Guru Besar Ilmu Tafsir UIN, Jakarta di Gatra, hal. 44, berkata, “Dengan pendekatan seperti di atas, sulit membayangkan adanya kata sepakat untuk keutuhan dan orisinalitas sebuah teks, apalagi kalau teks itu sudah lebih dari satu milenium umurnya, sebagaimana Al-Quran”.
Pada era itu, istri Nabi, Hafsan membutuhkan ruang sebesar gudang untuk koleksi manuskrip-manuskripnya. Saat ini Al-Quran dapat disimpan di dalam USB sekecil anak jari tangan. Para sahabat Nabi Muhammad saat itu, juga memiliki berbagai catatan dalam berbagai dialek di jazirah tersebut. Seperti halnya di India, maka kultur Arab pada era itu terkenal kuat dengan kultur hafalan-hafalan secara turun-temurun. Namun akibatnya jadi simpang-siur kala akan dikolektifkan, misalnya manuskrip Ibnu Mas’ud – yang terkenal sebagai penulis wahyu – tidak mencantumkan tiga surah terakhir (S. Al-Ikhas, S. Al-Falaq, dan S. Al-Nas). Jadi Goedziker pun menolak ketiga surah tersebut sebagai bagian dari Al-Quran.
Akibatnya, terjadi perdebatan sampai saat ini di kalangan para ulama, peneliti dan cendekiawan Islam maupun dunia. Apalagi orisinalitas itu diukur ketika Al-Quran masih berstatus “Kalam al-dzati” (Ideas of God), bebas dari simbol, atribut, kebahasaan dsb. Atau diukur ketika Al-Quran sudah berstatus “kalam al-lafdhi”, yang diwahyukan ke langit bumi, ditujukan kepada Nabi Muhammad melalui perantaraan Jibril.
Selanjutnya tidak ada masalah dalam “kalam-al-dzati”, tetapi kalau al-lafdhi menghadirkan berbagai perbedaan dan argumentasi, dengan hadirnya tujuh model huruf, dsb. dsb. Kembali ke bahasa asli Al-Quran, Nasarudin Umar, menambahkan “bahasa asli Al-Quran bukan bahasa Arab, tetapi “something like Aramaic”, jadi tidak seharusnya dan sejelas dengan persepsi kita sekarang tentang bahasa Arab. Bahkan pada era tersebut, bangsa dan wilayah Arab itu belum jelas, apalagi mengacu pada geografis, kultur atau bahasa”.
Atas dasar ini, dapat dijelaskan bahwa 150 tahun setelah Nabi Muhammad wafat, baru bahasa Arab menjadi bahasa tulisan (a written language). Demikianlah keunikan penyusunan Al-Quran, yang mirip penyusunan berbagai ajaran-ajaran di India, Israel dan bagian lain di Timur-Tengah. Dari bahasa hafalan ke bahasa tertulis. Nah, pada saat ditulis ini bisa saja terjadi “korupsi” atau penyimpangan yaitu dilebihkan atau dikurangi atau diubah teksnya agar lebih sesuai dengan situasi era tersebut. Hal ini sudah dilakukan oleh para brahmana di India pada masa-masa yang silam, hal yang sama telah terjadi di Injil, dsb. Itulah sebabnya di era ini terdapat ribuan sekte dalam berbagai agama, yang masing-masing mengklaim dirinya benar. Mungkin diperlukan badan mirip PBB, misalnya dengan mendirikan Persatuan Agama-agama di dunia (United World Religion Organization), yang mengatur toleransi universal di antara semua umat dan mencegah terjadinya peperangan antar umat sendiri maupun lainnya.
Pada saat saya menulis ini, maka perang sektarian telah terjadi di Iraq, pemboman atas mesjid-mesjid berlangsung amat sadis dengan puluhan sampai ratusan korban di berbagai pihak, hal yang sama terjadi di Afrika, Indonesia, India, dsb. Kalau dibiarkan terus dunia akan makin kacau, apalagi kalau memakai nama Tuhan. Umat Hindu di Indonesia harus belajar dari semua fakta-fakta sejarah ini. Ketuhanan Yang Maha Esa berdiri di atas segala bentuk awidya dan pemahaman berbagai umat yang mengakui beragama ini dan itu. Yang Maha Kuasa itu, hadir di Weda, Purana, Sruti, Smrti, Taurat, Zabur, Injil, Al-Quran dan kitab-kitab suci umat lainnya, dalam bentuk Ke-Esa-annya. Hal inilah yang harus dijadikan pedoman dan panutan, bukan pemahaman yang “kesana-kemari”. Karena era ini adalah era rasional yang berdasarkan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi yang masih akan berkembang terus. Berbahagialah umat Hindu karena beragama berdasarkan Widya, bahkan para elemen dewatanya seperti Brahma, Saraswati, Ganeshya, dsb. kesemuanya menyandang atribut-atribut ilmu-pengetahuan yang maha luas. Hindu-Dharma adalah bunda dari pengetahuan dan seluruh agama, cikal-bakal bahkan dari peradaban umat manusia yang beradab dan berbudi luhur dan adi-luhung. Jadi seyogyanya kita tidak ikut-ikutan sepak-terjang umat-umat lain namun lebih baik merenung lebih dalam lagi akan fenomena-fenomena Ilahi ini. Interospeksi akan ajaran kita akan membawa kita ke arah kesadaran yang lebih hakiki di mana kita dapat memainkan peranan positif di dunia ini.